LII

6.3K 938 8
                                    

ఇ ◝‿◜ ఇ

Happy Reading

ఇ ◝‿◜ ఇ

Entah cuaca yang tidak bersahabat atau memang sengaja mendukung salah satu pemakaman yang sedang dilaksanakan. Awan hitam yang siap membasahi bumi dan angin bertiup dengan kencang, menambah hawa yang semakin mencekam.

Terdengar suara isak tangis dari beberapa sanak saudara, terutama seorang laki-laki paruh baya yang ditinggal anaknya pergi. Bunga khas pemakaman pun sudah ditaburkan di atas gundukan tanah. Terdapat suatu nisan berbentuk salib menghiasi nama tersebut.

Dayana Winasari

Jasad Dayana tidak ditemukan dengan utuh di TKP. Namun pihak keluarga memaksa pihak kepolisian untuk menguburnya saja. 

Tak jauh dari makam Dayana, terdapat pohon beringin yang berdiri dengan rindang. Di bawah pohon itu, terlihat lima anak yang masih terdiam memandangi makam Dayana. Pihak keluarga melarang mereka untuk mendekati makam Dayana karena mereka tidak berhasil membujuk Dayana.

Semenjak kejadian itu, Ace menjadi pendiam. Seakan semuanya salah dirinya, padahal ia sudah melakukan semua yang disuruh oleh Dayana. Kai tahu rasanya karena ia juga pernah merasakannya.

Kai menurunkan kacamata hitamnya. "Kita mau sampai kapan disini?" Sudah dua jam mereka berada disana.

"Sampai keluarga Dayana pulang." Ace duduk bersila dengan menopang dagunya dengan tangan.

Kai menghela nafasnya. Ia ikut duduk di samping Ace sambil menepuk bahunya. "Mau sampe kapan lo begini? Ace yang gue kenal kemana? Jangan terlalu larut dengan kesedihan lo."

"Lo pernah di posisi gue. Bisa 'kan maklumin gue?" Ace menoleh. "Gue bakal membaik, cuma butuh waktu. Jangan terlalu memaksa," tegasnya dingin.

Sekalinya Ace, tetaplah Ace. Sikap keras kepalanya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Mau ayahnya sekali pun, Ace tetap tidak bisa dibujuk.

Kai ingin memberinya wejangan lagi, tapi ditahan oleh Aludra. Membiarkan gadis itu yang bicara sekarang dengan Ace.

"Lo butuh waktu? Kita kasih lo waktu dua minggu untuk renungin itu semua." Gadis yang rambutnya diikat itu pun mengalungkan tangannya di leher Ace dari belakang. Menumpu dagunya di bahu Ace. "Kita gak bisa kasih lo banyak waktu. Kita semua butuh lo. Cuma seorang Ace yang bisa menghandle Cassiopeia. Gue gak minta lo untuk gak sedih lagi. Boleh kok, tapi ada waktunya lo sedih. Yang terpenting, lo bisa selamatin dua nyawa. Alden. Sama lo sendiri," ucapnya lembut.

"Rasanya percuma kalo gue selamatin diri, tapi Dayana engga." Ace tertawa miris.

Aludra menggeleng tidak setuju. "Ada alasan kenapa Dayana lebih milih selamatin lo dibanding dirinya sendiri. Lo gak salah apa-apa, gak ada alasan untuk ikut dia kesana. Sedangkan dia, lo gak akan pernah tahu isi kehidupannya sampai milih untuk ambil jalan ini. Mungkin disana, dia ngucapin banyak terima kasih ke lo karena udah berhasil hidup dan tepatin janjinya."

Ace termenung, memikirkan ucapan Aludra kembali.

"Kalo lo mau sedih, jangan di depan kita. Kita gak suka. Kita lebih suka sikap Ace yang tegas, tukang nyuruh-nyuruh, jadi penengah saat kita bertengkar, yang selalu jajanin kita, selalu–"

"Itu mah lo aja yang dijajanin. Gak usah bawa kita bertiga," sindir Rio.

"Padahal lagi gue bujuk biar bukan gue aja yang dijajanin." Aludra mendengkus.

"Gue tarik omongan gue tadi. Lanjutin." Rio mempersilakan Aludra untuk kembali membujuk Ace.

Ace tertawa kecil melihat sedikit pertengkaran di antara mereka.

Cassiopeia ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang