Happy reading!
Setelah kepalanya terkena pukulan kuat dari tangan ayahnya, kini Caramel merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya terpejam, sesekali saat terbuka, matanya melirik pada jaring laba-laba di sudut kamarnya, jaring itu kecil, namun tercipta ketenangan dan kebahagiaan di dalamnya. Kini, apakah boleh Caramel iri dengan hidup seekor laba-laba?
Lagi-lagi, Caramel terisak tanpa suara. Ia ingin sekali berkeluh kesah, namun pada siapa? Sampai kapan kehidupannya dipenuh dengan keributan? Kepalanya sakit, namun tak sebanding dengan sakit di hatinya. Suara bentakan yang berasal dari pertengkaran orang tuanya terus terngiang, membuatnya mau tak mau meresapi rasa sakit yang kini menghujamnya dari dua asal yang berbeda.
Lova mengintip Caramel yang sedang berbaring dengan posisi memunggunginya. Cukup lama, hingga akhirnya, "Mel, ayo makan."
Suara sang bunda mengalihkan fokus Caramel pada sakit di kepalanya. Caramel sedikit terkejut dibuatnya, bunda nggak marah lagi? Batinnya. Melihat Lova berdiri di depan pintu, dengan cepat Caramel beranjak. Mengikuti langkah Lova menuju ke meja makan, sesekali Caramel meringis tanpa suara, gesekan antara telapak kakinya dengan lantai membuat kepalanya bertambah sakit.
Sampai di sana, Caramel tak melihat Ledi. Inilah kebiasaan ayahnya, selalu pergi ketika sedang bertengkar.
Lova mengambilkan nasi dan beberapa potong tempe goreng untuk Caramel. Apakah kini Lova merasa bersalah?
"Makasih, Bun." Caramel tersenyum simpul menatap sepiring nasi di hadapannya.
Lova mengangguk. "Lauk hari ini tempe goreng aja, Mel. Uang belanja Bunda habis buat bayar SPP kamu," ujarnya memberi tahu.
Caramel berhenti mengunyah nasinya. Ia jadi teringat sesuatu. "Oh iya, Bun. Uang SPPnya dikembaliin lagi sama wali kelas Amel, soalnya ayah tadi pagi udah lebih dulu bayar ke staf TU."
Mendengar penuturan sang anak, Lova mengangguk paham. "Gara-gara ini Ayah sama Bunda ribut."
Caramel melanjutkan makannya dalam diam, tak menimpali ucapan Lova. Kini Caramel tau, ternyata keributan tadi memang benar dirinya lah penyebabnya.
"Bunda minta maaf, ya, Nak."
Spontan Caramel mengalihkan pandangannya pada nasi di piring. Kini ia membalas tatapan Lova, kalau biasanya Lova menatapnya dengan nyalang, kini mata itu menatapnya dengan penuh penyesalan.
Dengan cepat Caramel kembali menundukkan pandangannya. Secepat itu juga air mata yang menggenang di pelupuk matanya menetes. "Nggak apa-apa kok, Bun."
Hati Caramel kembali berdenyut nyeri, bundanya selalu dimarahi karena dirinya. Ia lah yang salah di sini, dengan Lova meminta maaf, itu membuat Caramel merasa ia telah menjadi anak yang tidak tahu diri.
"Harusnya Amel yang minta maaf... Bunda selalu dimarahin Ayah, tapi Amel malah tambah bikin Bunda susah," sambung Caramel setelah beberapa detik terdiam.
Caramel menatap kembali sepasang mata indah milik Lova. "Bunda pasti capek, ya?" Pertanyaan polos itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Caramel.
Kini pertahanan Lova runtuh mendengar pertanyaan Caramel, ia menangis sejadi-jadinya di meja makan itu, sorot mata Caramel menatap Lova dengan begitu tulus, membuat Lova semakin menyesal telah berbuat kasar. Caramel beringsut memeluk Lova. Pelukan keduanya semakin mengerat, seolah menyalurkan segala rasa lewat sana.
"Bunda, jangan nangis..."
Memegang bahu putri sulungnya, Lova meraba bagian punggung Caramel. "Mana yang sakit, Nak?"
Caramel semakin terisak, Lova menanyakan perihal punggungnya yang terkena piring kemarin.
Caramel menggeleng, tangannya menghentikan tangan Lova yang terus mencari letak sakit yang ia rasakan. "Nggak ada, Bun... Udah nggak sakit lagi sekarang."
Perasaan gagal perlahan menggerogoti Lova, gagal mejadi orang tua yang baik, gagal menjadi ibu yang sempurna untuk anaknya, kalau wanita lain menciptakan bahagia untuk anak mereka, maka ia mengakui dirinya yang buruk karena hanya mampu memberi luka. Lagi, dan lagi. Terus terulang.
Lihat? Sekarang siapa yang paling sakit? Caramel yang selalu disuap luka dan rasa kecewa, atau Lova yang dihinggapi penyesalan karena telah berbuat kasar pada anaknya?
Penyesalan memang selalu hadir di bagian akhir, kan?
TBC.
Hai! Part ini memang sengaja pendek. Otakku buntu mau bayangin adegan sedih apa lagi antara mak dan anak itu. Soalnya aku gapernah marahan sama mama, mentok2 mama ngambek ke aku, trs ntr aku pake baju kebalik di dpn mama, caper gtu istilahnya🤣 tr udh negor sndiri wkwk laknat emg👍
Btw, gimana puasanya? Lemes ya bestie? Sama aku jg, hayu semangat demi thr besar dr papa😂
Gimana baju lebaran? Dah beli belom?🤩
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Teen FictionOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...