Malam. Waktunya sunyi, waktunya tenang, waktunya rehat, waktunya mengenang, waktunya menangis, dan lainnya. Satu kata berjuta definisi bagi ribuan makhluk di muka bumi ini.
Terpaan anginnya, remang sinar rembulannya, gelap langit serta alamnya. Benar-benar sad vibes yang sesungguhnya. Padahal malam itu selalu sunyi, tak pernah bertanya, namun kenapa keheningan itu justru mengantarkan jutaan orang pada hal-hal yang seharusnya tak perlu lagi dikenang? Hingga akhirnya kesedihan tercipta, mereka yang hampir berhasil muncul ke permukaan, kembali ditarik kasar oleh kenangan-kenangan.
Sebuah ponsel bergetar. Membuat pemiliknya berdecak kesal, menyesal tak mengakhtifkan mode silent.
"Halo!" Kasar ia menerima panggilan tersebut. Sesuai dengan keadaannya yang kini sangat buruk.
"Ini siapa?" Berubah kali ini suaranya. Melemah, seperti orang mengantuk.
"Mas, ini Lova. Kamu kapan pulang?" Mengalah Lova, malam ini, ia telpon suaminya.
Ledi tatap silaunya layar ponsel dengan pencahayaan yang berlebih. Mengerjap matanya, agak sulit ia membaca nama kontak tersebut.
Benar. Lova. "Ck!"
"Ki—kirain... Christin. Ternyata kamu, nggak like!"
"Kamu mabok, Mas?!"
"Ce re wet. Yang boleh cerewet... cuman Christin. Oh? Kamu... yang tukang selingkuh itu, kan?!!" Sempoyongan Ledi berujar. Agak pening kepalanya hingga ucapannya terdengar sedikit bertele-tele.
"Pulang, Mas. Ngapain kamu mabok?" Dari seberang sana, beberapa pertanyaan terus ditodongkan.
Berkerut dahi Ledi, benarkan ia mabok? Ia tatap tiga bungkus pelastik yang teronggok di samping tempat tidurnya.
"Mabok? Oh! Aku ini bukan mabok. Orang cuman minum tuak tiga liter yang murahan kok. Ngaco kamu!"
"Heh! Kenapa kamu diem? Aku ini kangen banget sama Christin tau." Parah. Hilang sudah kesadaran pria itu, sehingganya ia berkata terlalu jujur atas apa yang ia rasa.
"Mana... " Terdiam beberapa detik lelaki itu. Terlungkup ia meminjat keningnya. "Mana Christin? Eum, maksudnya anakku Amel yang mirip Christin?"
Tak ada sahutan. Di seberang sana, tak bisa lagi Lova berkata-kata. Semuanya sangat menyakitkan, terdiam wanita itu mendengar celotehan suaminya, seolah menusuk menikam dalam-dalam tepat di ulu hati.
Segera ia akhiri panggilan itu.
"Mel!"
"CARAMEL!" Tiba-tiba saja Lova emosi pada gadis itu. Kadang kala ia akui bahwa hidup Caramel adalah sial baginya.
Yang di panggil muncul dari arah dapur, tergopoh-gopoh gadis itu mendatangi bundanya. "Kenapa, Bun?"
Nyalang Lova menatap Caramel. "Sengaja banget kamu nggak nyahut!" tuding Lova.
Terbakar habis sudah sisa-sisa bagian baik dalam dirinya. Bak banteng hampir mengamuk, Lova layangkan tatapan benci pada gadis yang kini tengah kebingungan.
Maju Caramel mendekati Lova. Duduk ia di karpet memepetkan tubuhnya. "Bunda kenapa? Amel dari kamar mandi."
"Kenapa kamu bilang?! Bunda ini capek, Mel! Tiap hari mikirin ayah kamu yang nggak pulang-pulang!"
Terperanjat Caramel. Spontan gadis itu sedikit menjauh, dengan genggaman tangan kanan yang ia jadikan tumpuan tubuh yang sedikit condong ke belakang.
"Amel salah apa, Bun?" Gadis itu bingung. Sekaligus takut.
Mendengus Lova. Ia tatap bengis Caramel yang kini menatapnya seolah tak berdosa.
"Bunda capek, Mel... " Lirih, lemah wanita itu berujar. Ia tekan kepalanya dengan jari tangan, harap-harap dapat mengusir segala beban. Wanita dengan rambut diikat satu itu bergerak sedikit maju. Condong pada wajah Caramel. "BUNDA CAPEK!!!"
Terpejam sepenuhnya sepasang mata Caramel. Terngiang-ngiang jeritan Lova meski wanita itu kini tak lagi bersuara. Terbuka kembali sepasang kelopak mata itu, dalam-dalam ia tatap Lova yang kini menatapnya nyalang. Sirat akan kebencian.
Dalam diam, Caramel menghitung, berapa hari sejak mereka mulai berbaikan, tak lagi menghadirkan pertengkaran, bercanda layaknya keluarga bahagia.
"AMEL JUGA CAPEK, BUNDA!" Sungguh. Caramel tak sadar bahwa ia telah berteriak di hadapan Lova.
Yang ia rasakan adalah muak. Apakah dirinya di lahirkan hanya untuk menjadi wadah pelampiasan orang tuanya?
"AMEL JUGA CAPEK DIMARAH TERUS SAMA BUNDA! SETIAP AMEL MAU BERKELUH KESAH, SELALU AMEL DAPETIN WAJAH CAPEK BUNDA. AMEL CAPEK NAHAN INI SEMUA SENDIRIAN!!!"
Meluruh air dari kedua sudut matanya. Sungguh, Caramel tak ingin semuanya berakhir seperti ini. Tapi, ia juga merupakan seseorang yang ingin di dengerkan. Jika Lova lelah, maka ada Caramel yang juga selalu memikul segala rasa sendirian.
Hening, sunyi, sepi. Dengan posisi duduknya, beringsut Lova mendekati Caramel. Lenyap suara keduanya ditelan kegelapan malam yang juga berhasil menggelapkan segala rasa. Caramel ambil ancang-ancang, malam ini, lupakan bahwa ia merupakan seorang anak dan wanita di hadapannya merupakan seorang ibu. Akan Caramel cekik wanita itu, akan ia tarik kuat-kuat rambunya hingga terpisah dari kulit kepala. Akan ia bunuh Lova dengan tangannya sendiri.
"AKU BENCI BUNDA!!!" Jeritnya didepan wajah Lova, persis seperti yang Lova lakukan padanya beberapa detik yang lalu.
Hendak Lova rengkuh tubuh bergetar Caramel yang sedikit lagi sampai pada jangkauannya. Namun... "Akh!"
Ini yang pantas aku dapatkan. Tak apa, meski sudah berusaha menjadi seorang ibu yang baik, nyatanya aku memang hanyalah seorang wanita yang tak pernah belajar dari keadaan. Dan berakhir terus menyalahkan anakku atas segala sakit yang kudapat.
Tak apa, sungguh, tak apa-apa. Ku kira, aku sudah berhasil menjadi ibu yang sempurna dengan setiap hari terus melihatnya tumbuh dan berkembang, tertawa juga berinteraksi, tidur dan terjaga.
Nyatanya, banyak kesempatan berharga yang telah aku lewati hanya untuk memarahinya.
Bukan, bukan aku benci. Tiap kali aku mengatakan itu, jiwaku menolak mentah-mentah. Aku menyayangi putriku yang ditakdirkan tak terlahir dari rahimku.
Tiap kali ia menangis, ingin ku rengkuh tubuh bergetarnya. Tapi, saat menyadari bahwa tangisannya disebabkan olehku, kepercayaan diriku menghilang. Berujung aku memarahinya agar rasa bersalahku lenyap.
Di sela-sela sulitnya ia menikam batang leherku, masih aku usahan tuk merengkuh tubuh gadisku. Gadisku yang semula teduh tatapan matanya, kini menyalang merah dengan linangan air mata. Ku lihat gambaran diriku dalam matanya. Kejam, bengis serta arogan. Penuh kebencian.
Sungguh, aku sangat menyayanginya. Aku hanya tak tahu cara menggambarkan, menjelaskan, serta mengungkapkannya.
Hiduplah dengan lebih baik setelah tanpa Bunda. Kalimat itu tercekat, bersamaan dengan nafasku yang melemah.
Tbc!
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Novela JuvenilOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...