Happy reading!
"Kamu pembantu baru, ya?"
Dengan gugup Caramel menganggukkan kepalanya. "Iya, kak."
Pemuda yang tidak diketahui namanya itu terus menelisik Caramel yang sedang menghidangkan lima gelas jus alpukat dengan gestur tubuh yang kaku.
Setelah menghidangkan lima gelas berisi jus alpukat, Caramel mengambil bak berisi cuciannya yang sudah kering hari ini untuk disetrika. Hanya sedikit, karena yang lainnya masih belum kering, namun tidak apa-apa dari pada harus menunggu hingga banyak, kan?
Selama menyetrika, samar-samar Caramel mendengar para pemuda itu terus membicarakan dirinya.
"Ih asli dia cantik banget!"
"Iya! Bibirnya juga tebel, pengen gue cipok sampe mampus," timpal yang lainnya.
Jantung Caramel mulai berdetak cepat. Ini pelecehan verbal kan?
"Biasanya mbak dirumah itu bisa diajak buat jadi mbak diranjang juga loh."
"Ayolah usahain! Lumayan bisa buat..." kata seorang dari mereka menggantungkan ucapannya. Entah apa yang diperagakannya namun yang Caramel dengar, ada suara yang berbenturan seperti kepalan tangan yang menumbuk telapak tangan lainnya yang terbuka.
"Hahahaha..."
Kelakar kelimanya menggema.
Cukup. Caramel mencabut kepala kabel yang menyalurkan listrik pada setrika. Sudahi saja pekerjaan ini. Caramel membawa kembali bak berisi baju bersih tadi kedalam kamarnya.
Dengan kesal Caramel membanting tubuhnya ke tempat tidur. Menenggelamkan kuat-kuat wajahnya ke bantal guna meredam raungannya yang kian menjadi seiring dengan rasa sakit yang terus bertambah.
Caramel malu... Tiba-tiba ia merasa pekerjaannya ini hina saat mendengar dirinya menjadi topik pembicaraan Rio, anak majikannya, dan para teman-teman yang ternyata mesum.
"Aku mau pulang..."
Bulir air mata itu terus jatuh bebas tanpa henti, layaknya air yang telah lama disumbat, kini air itu menemukan celahnya untuk mengalir. Marah, kesal, malu. Seolah menggambarkan segala rasa yang sedang hinggap. Maka kini biarkan air itu mengalir bebas, berharap rasa sakit yang beberapa saat datang menyerang dapat hilang bersama tetesan air yang jatuh di permukaan bantal.
*****
"Kemaren ada loh padahal, kok sekarang ilang, ya?" kata Liona heran sembari terus merogoh dompet pensilnya.
Lova menggeleng pelan melihat seluruh peralatan belajar Liona berantakan demi mencari uang koin seribu.
"Yaudah kalo nggak ada nggak apa-apa. Besok-besok juga bisa." Lova meninggalkan kamar Caramel yang kini hanya dihuni oleh Liona.
"Ada loh, Bun. Sabar dulu makanya, Bunda mending duduk dulu deh," titah Liona sebal, bundanya ini tidak sabaran sekali.
Segala usaha telah ia kerahkan untuk mengetahui keberadaan kakaknya, paling tidak Liona bisa mendengar suara Caramel, menanyakan bagaimana kabarnya, dan yang terpenting kapan pulang. Salah satu bentuk usahanya adalah mencari uang koin seribu rupiah untuk menggenapkan uang sang bunda.
Terganggu dengan kebisingan dari kamar sebelah, Ledi terbangun dari tidurnya.
"Lagi ngapain, sih?" tanya Ledi berdiri di depan pintu kamar sang anak.
Menatap ayahnya bagai menemukan secerca cahaya di tengah kegelapan, Liona langsung saja mengadu. "Ayah ada uang nggak? Kalo ada tambahin uang Bunda dong, biar genep. Ona pusing nih nyari-nyari uang seribu yang waktu itu keselip tapi nggak ketemu," keluhnya panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Teen FictionOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...