"Manusia diciptakan untuk melewati segala cobaan sebagai bentuk nyata, bahwa, hidup akan selalu melewati proses-proses menyakitkan supaya jiwa kita berkembang."
Waktu berjalan dengan cepat, seolah tak mau menunggu mereka yang masih tertinggal di belakang. Beberapa dari mereka berlari memburu waktu, tak ingin ditinggal zaman. Beberapa lagi masih sibuk dengan urusannya, tak ingin perduli meski tertinggal jauh. Hingga beberapa manusia berkomentar, "raganya terus berjalan beriringan dengan waktu, tapi jiwanya tertinggal jauh di masa lalu."
Tak terasa, ini sudah hari ke delapan sejak kepergian Caramel, dan hari ke empat Lova sakit, berawal dari dirinya yang mencari buku kosong untuk Liona di tumpukan buku Caramel, tak sengaja justru ia menemukan buku diary tebal yang baru ditorehkan rangkaian huruf beberapa lembar saja. Entah bagaimana kabarnya, yang jelas kini ada Lova yang perlahan sadar bahwa ia menyayangi Caramel. Sangat sangat sayang.
Tak ada yang bisa ia lakukan. Yang terletak di belakang adalah selalu tentang penyesalan, dan kini Lova sedang berada di masa itu. Masa dimana detik-detik dalam hidupnya terasa hampa, hancur, pedih. Berjalan beriringan dengan dirinya yang mulai kosong. Raganya sakit.
Dan mimpi empat hari yang lalu, rasanya sepertinya nyata, hingga membuatnya demam secara tiba-tiba dan hingga kini tak kunjung reda.
"Kupasin, Bun." Liona sodorkan dua butir telur rebus ke hadapan Lova. Membuat Lova tersentak dari lamunannya.
Delapan hari juga Liona tak sekolah, menjadi teman tunggal Lova di rumah. Meski katanya menjadi teman tunggul, nyatanya Lova lebih banyak diam ketimbang mengajak Liona sharing tentang apa saja layaknya teman pada umumya.
Sudah dikupas, Liona belah menjadi dua bagian satu butir telur tadi, yang satunya biarkan saja. Itu untuk Lova. Sentuhan terakhir, Liona tumpahkan banyak kecap di atas nasi serta telur.
"Ona kalau tanpa Bunda bisa, nggak?" celetuk Lova. Anaknya seketika berhenti mengunyah, lalu menggeleng.
"Nggak bisa, nanti siapa yang rebusin telur buat Ona?" Beberapa butir nasi keluar dari mulutnya.
Meringkuk Lova di atas ranjangnya, ia naikkan kembali kain selimut yang tadi sempat tersingkir. Mulai lagi fikirannya mengembara ke masalalu, pada kenangan-kenangan yang ternyata sangat berharga. Meski tak ada guna, nyatanya, hanya itu yang dapat ia dan beberapa orang lakukan saat mereka berada di fase menyesal. Meratapi, mengenang, menangis.
Tak tahan ia, sungguh tak tahan. Lolos isakan kecil yang perlahan membesar, terlepas dari kontrolnya, membuat punggungnya bergejolak, pun suara rengekan yang kian menjadi. Semuanya terlalu menyakitkan.
Pernah dengar bahwa jika orang tua menangis maka anak juga akan merasakan kesedihannya? Hal itu terjadi pada sebagian besar anak, Liona, salah satunya.
Kontan meluruh air matanya kala menyadari bahwa Bundanya merengek pilu, minta dikembalikan pada masa dimana 'segalanya' masih ada.
"Panggilin kak Amel, Nak..." pinta Lova hampir tak bersuara.
Liona geserkan piring yang isinya sisa telur setengah potong tadi. Ia dekap Lova semampunya. "Gimana caranya, Bun?"
*****
Dering ponsel terus menggema di sebuah ruangan, mengalihkan atensi seorang gadis yang tengah bersiap-siap. Ia terima panggilan masuk itu tanpa mengalihkan pandangannya pada kaus kaki yang baru masuk setengah ke telapak kakinya.
"K-kak Amel... " Aktivitas Caramel terhenti. Cepat-cepat ia aktifkan pengeras suara di ponsel, bergeming ia menunggu sang adik berbicara.
"Bunda sakit, Kak... Badannya panas banget, kata Bunda, Bunda mau kak Amel. Pulang, Kak..." jelas Liona. Nada bicaranya bergetar menandakan dengan jelas bahwa keadaan di sana sedang tak baik-baik saja.
Caramel lepas kembali kaus kakinya, cepat-cepat ia tarik dasi yang sudah terbentuk rapi di kerah baju putihnya. "Iya ... Nanti kakak pulang. Ona tenang dulu, ya. Jangan nangis, jangan panik, suapin bunda makan."
Lihai Caramel tarik sabuk berlogo osis dengan latar warna kuning yang telah melekat sempurnya di pinggang roknya.
"Ona kangen ayah juga..." lirih Liona. Seperti takut-takut salah bicara.
Caramel buka lemari berisi beberapa lembar bajunya. Sembarang ia menarik lipatan baju. "Iya. Nanti kak Amel pulang sama ayah."
*****
"Amel nggak jadi sekolah?" tanya Ledi saat melihat Caramel menuruni anak tangga dengan pakaian biasa.
"Bunda sakit, Yah. Ayo kita pulang."
Terhenti kegiatan sarapan pagi Ledi dan Diana saat Caramel menyelesaikan ucapannya. Melengos Ledi, ia suapkan lagi sesendok nasi ke mulutnya.
"Bunda yang mana?" tanyanya setelah menenggak segelas air putih. "Bunda yang udah nyiksa kamu terus-terusan?"
Berdecak kesal Caramel. "Yah ... Bunda sakit. Ayo pulang."
"Caramel, sini duduk saparan dulu." Mengambil alih. Diana arahkan Caramel untuk sarapan terlebih dahulu, meski dalam keadaan mendesak yang namanya rezeki harus dihargai.
Melangkah Caramel ke meja makan.
"Kamu nggak bisa biarin anak dan istri kamu terlantar terlalu lama, Di. Selesai sarapan, kalian pulang." Mutlak.
*****
Berdebar jantung Caramel. Keringat dingin tipis-tipis membasahi leher dan telapak tangannya. Ia gesekkan jempol kakinya ke jari telunjuk kakinya guna meringankan kegugupan.
Masuk ia bersama Ledi ke dalam rumah yang sudah delapan hari ia tinggalkan. Teringat kembali kenangan buruk terakhir yang menjadi alasan ia dibawa pergi. Memelan langkahnya. Masih sesak, masih menyakitkan.
Langkahnya melewati garis pintu, sepi bagai tak berpenghuni. Namun, samar-samar Caramel mendengar lirihan Liona.
"Bunda jangan nangis lagi... Kak Amel bentar lagi pulang..."
Masuk Caramel ke kamar. Ia tatap wajah Lova yang memucat serta tubuhnya yang dibungkus rapat oleh selimut. Sering Caramel fikirkan, mengapa tuhan sangat senang menciptakan rasa nyeri dalam hatinya?
"Bunda..." Mata sayu Lova terbuka sempurna. Menatap Caramel dengan genangan air di pelupuknya.
"Ayo makan. Amel bawain bekal." Lupakan soal kejadian buruk terakhir sebelum mereka berpisah, seburuk-buruknya orang tua, mereka tetap mulia bagi anaknya.
Mendekat. Caramel bantu Lova duduk, ia usap genangan air yang terus mengalir dari kedua sudut mata Lova. Kian gencar tetesan air itu keluar kala melihat sang anak bersikap seolah tak pernah disakiti. Ia rengkuh tubuh Caramel. Pecah tangisnya dalam isak tanpa suara, pun dengan Caramel yang diam-diam meneteskan air mata. Keduanya sama-sama sakit. Lebih menyakitkan bagi Lova sebab anak yang ia sakiti akhirnya tetap berjalan ke arahnya tanpa ragu.
Masih dengan posisi saling mendekap. "Maafin Bunda, Nak..."
Terlalu banyak penyesalan yang ia tuai selama delapan hari di tinggal pergi, hingga tak ada kalimat yang bisa Lova lontarkan.
"Nggak apa-apa. Kan, marah tandanya sayang." Caramel dengan segala rasa sakit yang telah ia cerna apa penyebabnya. Ia ikhlas. Rasa sakit yang Lova berikan untuknya telah hilang.
Tbc.
Ya kali aku bikin Caramel mati. Mati nggak semudah itu. Hidup bakalan melulu soal perjuangan, jadi, untuk terus hidup, ya harus terus berjuang.
![](https://img.wattpad.com/cover/305442874-288-k94146.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Novela JuvenilOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...