Song recomendation : Tip-x, Selamat jalan.
Happy reading!♡
Caramel menatap air sumur yang kian hari kian menyurut, dalam, juga gelap. Dari tempatnya menilik, samar-samar terlihat ombak-ombak kecil, terlihat tenang, meski entah makhluk jenis apa saja yang menghuni air di sana.
Rasanya sudah lama sekali sejak peristiwa bodoh yang mengakibatkan 'ledakan' besar dalam rumah mereka terjadi. Namun, yang namanya luka masih tetap ada, jika luka yang diobati saja lama sembuhnya, bagaimana dengan luka yang tak mendapatkan penanganan? Pun dengan luka Caramel yang masih menganga, entah karena tak diobati, atau terlalu banyak luka yang tercipta hingga mustahil untuk sembuh.
Mengingat-ingat perihal luka, ingatannya jadi berkelana pada masa-masa di mana luka datang menghampirinya, satu-satu, hingga kini rasanya ia mengoleksi berbagai jenis luka hampir beribu.
Mungkin terdengar biasa pertengkaran dalam rumah tangga, namun tak ada seorang anak pun yang baik-baik saja saat menyaksikannya.
Mendadak sesak serta ngilu berpadu pada ulu hati Caramel, sakit bukan main saat mengingat segalanya. Apalagi saat sisi egois dalam dirinya membanding-bandingkan nasibnya dengan nasib teman-temannya.
Sesungguhnya dunia bukan tempat mengadu nasib, sebab nasib setiap manusia sudah tertakar. Namun, manusia juga makhluk perasa, kan?
Caramel sudah berusaha menjadi anak yang baik, berperan bijak dalam menyikapi setiap petengkaran. Namun, ia juga bisa lelah. Sebab, sejatinya Caramel hanyalah anak remaja yang seharusnya berada di fase bahagia bersama teman-teman layaknya remaja lain.
Ribuan kali ia mengatakan pada tuhan bahwa ia membenci takdirnya. Ia benci ayah dan bundanya, ia benci mereka yang hanya sibuk mengurus pertengkaran serta selalu berusaha menang layaknya seorang petarung yang mendapat imbalan besar jika meraih kejuaran. Kejuaraan kehancuran.
"Kak Amel kenapa nangis?" Jari yang setiap ruasnya berisi, mengusap permukaan pipi basah Caramel.
Ah. Caramel lupa. Ada Liona yang sejak tadi berdiri di sampingnya, ikut-ikutan menatap air sumur yang dalam.
"Udah dibilang jangan ikut-ikutan!" Caramel menarik belakang baju Liona. Terlalu condong wajah bocah itu. Kalau jatuh bagaimana?
Mendengus kecil anak berusia delapan tahun itu. "Makanya! Kek banyak utang aja."
Duduk adik dan kakak itu pada akhirnya di atas tanah tanpa alas. Masih di sekitar sumur. Meski memiliki adik yang dapat menjadi temannya, nyatanya hal itu tak membuat fikiran berkecamuknya hilang.
Jadi, apakah sekarang ia masih menyandang status kakak saat kenyataan akhirnya memberitahu bahwa mereka tak terlahir dari rahim yang sama?
"Ona udah makan?"
Decakan sebal masuk kedalam indra pendengaran Caramel. "Kan tadi kak Amel yang nyuapin. Gimana, sih!" Sensi sekali.
"Temen Ona di sekolah baik-baik nggak?"
Mengangguk semangat bocah kecil itu. Topik yang pas. "Iya, dong! Kak Amel tau Iqbal, kan? Dia itu baikkk banget," ucap Liona semangat. Tak lupa ia tekankan kata 'baik'. Ia rapihkan sedikit anak rambutnya, serta menggeser sedikit bokongnya agar lebih dekat dengan Caramel. Matanya berbinar-binar.
"Sampe-sampe Ona kemarin di kasih ciken. Cikennya besar tau Kak! Nah terus, dia juga ngasih Ona susu kotak. Ada di tas. Bentar ya, Ona ambilin." Cepat-cepat Liona berdiri.
Caramel menahan tangan Liona. "Nanti aja."
"Kak Amel nggak mau susu, tah?"
"Enggak, ah. Duluan kak Amel hidup dari pada kamu. Jadi udah bosen." Caramel dengan nada sombongnya. Mencebik bibirnya, menciptakan mimik angkuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Ficção AdolescenteOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...