"Makan. Jangan malu-malu." Tegas Diana berucap. Ibu Ledi, biasa Caramel memanggilnya Nenek.
Tak bohong gosip menyebar kepenjuru komplek bahwasannya Ledi berasal dari keluarga kaya raya dan menimbulkan tanda tanya besar mengapa anak dari seorang konglomerat itu justru hidup berbanding terbalik dari orang tuanya.
Kaku, canggung, tak nyaman. "Makasih, Nek."
Seumur hidup, dapat dihitung oleh jari berapa kali Caramel mengunjungi rumah mewah megah bak istana ini. Ia kunyah makanan lezat di hadapannya dalam diam juga kesusahan, pipinya terasa sangat kelu, juga kepalanya yang tak henti terus berdenyut, sedang di sampingnya sang nenek terus memperhatikan.
"Agamamu, apa?"
"Islam, Nek."
Diana mengangguk. Dalam hati ia terus membatin, anak malang. Kehadirannya tak diinginkan oleh semua orang, pahitnya kehidupan sudah terlihat sangat jelas pada garis hidupnya sejak ia menguarkan tangis pertamanya di dunia. Tak menyangka pula Diana, Caramel dapat tumbuh dengan baik. Meski faktanya begitu, tak dapat sedikitpun menghapuskan rasa bencinya pada Caramel. Bagaimana pun, kehadirannya adalah penyebab anak sematawayang pasangan konglomerat itu hidup menderita.
Iba menyeruak pelan dalam hati Diana, ia benci namun kasihan. Ia tak suka, namun tak tega. Ia ingin berpaling, namun ingin sekali merengkuh.
Diana bangkit dari posisi duduknya. "Nenek tinggal dulu, ya."
Tinggal lah kini Caramel duduk seorang diri, meratapi nasibnya di hadapan nasi serta makanan mewah yang sudah Tuhan tetapkan menjadi rezekinya hari ini.
Ribuan pertanyaan bergelayut manja dalam fikirannya. Siapa wanita yang telah melahirkannya? Benarkah ia anak haram? Mengapa ayahnya bisa hidup menderita sedangkan ayahnya berasal dari keluarga berada? Ia kah penyebab dari segala kekacauan ini? Sudah pusing dengan segala kejadian, pusing juga dengan segala fikiran, terisaklah Caramel sembari mengunyah nasinya. Semuanya terlalu sulit untuk ia cerna, lebih sulit lagi sebab hatinya tak dapat mengikhlaskan apapun yang telah terjadi. Segalanya terlalu menyakitkan.
*****
"Selesain masalah kamu sama istri kamu. Waktumu di sini cuma dua hari." Bengis Diana berucap. Tak sudi menampung anak serta cucunya yang tak pernah ia anggap cucu.
Lamunan Ledi buyar. Tak ia sahuti omongan Maminya barusan, matanya menelisik kamar yang sudah ia tinggalkan selama enam belas tahun. Tak ada yang berubah. Bahkan figura besar seorang wanita cantik yang memakai kalung panjang berliontin menonjol di dadanya, ia pajang di atas lemari tak ada yang berani menggeser.
"Dia tetep cantik, ya, Mi." Ledi tertawa sumbang. Ngilu pada ulu hatinya saat menatap wanita cantik dalam figura itu tersenyum manis. Senyum manis itu, sifat lembut, postur wajah, alis, mata. Menjelmalah wanita yang sangat ia cintai itu dalam wujud Caramel, buah cinta mereka.
Diana ikut mendudukkan dirinya di sebelah Ledi, menatap lekat serta lamat figura kusam yang hampir pudar warnanya itu. "Mami nggak nyangka semuanya bakal begini..." lirih. Luruh cairan bening dari sepasang mata indah Diana. Seketika kebengisan pada dirinya hilang saat melihat banyak luka dalam mata anaknya.
Tak kuasa pula Ledi menahan rasa sakit yang ia sembunyikan selama belasan tahun. Ledi tertunduk, ikut terisak seperti Diana, meski malu, pada akhirnya ia ceritakan segala sakit di hadapan sang ibu lewat air matanya. Ia gagal menjadi anak, gagal menjadi lelaki, gagal menjadi ayah, gagal pula menjadi seorang suami.
"Sakit, Mi..." rengek Ledi pada sang Ibu. Lupa sejenak bahwa ia bukan lagi seorang anak remaja. Berharap Diana dapat mengobati sakitnya seperti yang dulu-dulu.
Jika seorang anak merasa sakit, maka ada seorang ibu yang jauh berkali-kali merasakan sakit. Belasan tahun sejak Ledi mengambil keputusan yang bertentangan dengannya, pada akhirnya Ledi mengakui bahwa keputusan yang ia ambil memang tak mudah.
"Obatmu ada pada anak dan istrimu. Pulanglah, Nak." Belasan tahun pula Diana tak lagi menganggap Ledi sebagai anaknya. Namun pada akhirnya ia juga mengakui bahwa semengecewakan apapun seorang anak, ibu adalah manusia yang tak mungkin bisa membenci anaknya.
"Dia selingkuh, Mi..." Ngilu. Ingin Ledi mengeluh pada tuhan saat segala tak sesuai apa yang ia mau. Dadanya kini sesak, kian sesak saat mengingat Lova yang diantar pulang oleh lelaki lain.
Tak kalah ngilu pula gadis remaja di luar kamar yang sedang mendengarkan percakapan ibu dan anak itu. Caramel. Otaknya berputar cepat, teringatlah ia pada setelan baju dinas berwarna keemasan yang tadi pagi masuk kedalam sumur bersama pakaian lainnya. Fakta yang belum siap ia dengar, ternyata bundanya selingkuh.
Diana usap surai lebat anak tunggalnya. Ternyata sudah hilang rambut lembut anaknya semasa bujang yang dulu selalu dibangga-banggakan. "Apa yang membuat kamu masih bertahan dalam hidupmu yang sesakit ini, Nak?"
"Dia nitipin buah cinta kami ke aku, Mi."
"Maka bertahanlah demi Caramel." Ya. Meski ia benci pada anak tak berdosa yang telah menghancurkan hidup anaknya, pada akhirnya orang tua akan selalu mengalah jika menyangkut soal kebahagiaan anak mereka. Enam belas tahun, waktu yang tak sebentar bagi Diana untuk bisa menerima segala kenyataan pahit ini. Lama baginya untuk mencerna, hingga kini ia menyadari, anaknya butuh dukungan untuk bahagia.
"Bawa dia ke makam ibunya."
*****
"Hai, Cantik. Aku bawa anak kita." Senyum bahagia terpahat jelas di wajah Ledi, sebahagia anak remaja yang bertemu kekasih mereka. Ia taruh dua tangkai mawar putih, sedang beberapa tangkai mawar putih lainnya kering.
Caramel diam. Tak menyapa makam di hadapannya seperti yang dilakukan Ledi. Bukan tak ingin, ia hanya ragu, tidakkah ayahnya salah alamat?
"Amel, ini ibu." Ah. Hati anak dan ayah itu seperti diremas secara bersamaan. Sama-sama ngilu. Begitu entengnya Ledi berucap, riang dan bahagia. Di tempat seperti ini kah sebenarnya Ledi temukan bahagianya?
"Kok nisannya salib, Yah?" Caramel membaca nama yang tertera pada nisan berbentuk salib tersebut : Christin
Caramel tatap ayahnya. Ledi terdiam. Ini kah alasan ia disebut anak haram? Lalu ini juga kah alasan mengapa Diana bertanya apa agamanya?
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Teen FictionOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...