Happy reading!
Di atas ranjang yang ukurannya pas untuk satu orang, tubuh Caramel terbungkus rapat oleh selimut sembari tangannya terus menggenggam selimut itu erat, takut bila sewaktu-waktu genggamannya mengendur, angin besar akan datang dan menerobos masuk kedalam selimut, menyapa tubuh Caramel yang saat ini sedang mengigil. Kepalanya sakit, dan rasa sakitnya seperti dipermainkan, bagai dipukul, diberi jeda, lalu dipukul lagi. Begitu terus, berulang-ulang hingga membuat nafas panas Caramel tersengal.
Jam baru menunjukkan pukul delapan malam, waktu masih panjang, tidak mungkin ia habiskan waktu panjang ini hanya untuk membaringkan tubuhnya sedangkan besok adalah hari pertama ia melaksanakan ulangan semester genap. Namun rasanya juga tidak mungkin jika ia memaksakan tubuhnya untuk duduk menghadap buku sedangkan dalam posisi paling enak, berbaring, saja tubuhnya tetap terasa ingin ambruk.
Dalam hati ia terus memaki seluruh manusia yang ada di dalam rumah ini. Keluarga setan. Rumah setan. Kini tubuh Caramel demam tinggi bagai dilempar kedalam neraka. Terbukti kan? Tempat setan di neraka, dan inilah rasanya.
Mungkin jika majikannya kini ada di rumah, masih ada harapan bagi Caramel untuk mendapat perhatian, atau paling tidak teh hangat dan obat pereda rasa nyeri kepala.
Namun satu hal yang baru Caramel ketahui bahwa bu Riska dan suaminya ternyata sedang melakukan perjalanan dinas di luar kota. Kabar itu memperjelas bahwa tidak ada harapan, tidak akan ada bantuan datang, kini ia tidak dapat mengandalkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.
Caramel bangun perlahan. Ia tidak boleh lemah. Meraih tas sekolahnya yang tergeletak di samping bantal, mencari buku pelajaran sesuai dengan jadwal ulangan besok. Matanya menelisik selembaran kertas yang berisikan jadwal mata pelajaran selama seminggu ke depan. Pendidikan agama islam, bahasa indonesia, dan... Tatapannya berubah horor. Pelajaran fisika diikut sertakan pada barisan terakhir di hari senin.
Huh... helaan nafas meluncur dari sang pemilik tubuh. Sudahlah. Tidak usah belajar saja.
Caramel kembali membaringkan tubuhnya. Dalam selimut, tangan Caramel merasakan hawa-hawa panas. Ah! Pasti hawa panas itu berasal dari tubuhnya yang menguap akibat terbungkus oleh selimut. Kalau saja sekarang tubuhnya memeluk erat sebuah balon, dapat dipastikan balon itu akan meledak seketika.
Berlebihan.
Tapi tak apa, kalau bisa bawalah tubuh Caramel meledak bersama balon tersebut. Mungkin itu akan lebih baik ketimbang beratnya hidup yang dijalani kini.
Matanya panas jika dibuka, namun tak ingin di tutup juga. Ia merasa waktunya akan terbuang sia-sia jika sampai ia tertidur saat waktu belum menunjukkan pukul sebelas malam. Buruk. Tapi itulah kebiasaannya.
Namun... Karena berbaring tanpa melakukan apapun, perlahan matanya menutup. Kantuk menyerangnya.
"Ayah! Aku di sini!"
"Bunda sayang sama kamu, Mel... Tapi Bunda..."
"Mana nih gadis kecil Bunda? Bunda bawa es krim loh, yakin nggak mau?"
"Bunda, kenapa Amel nggak mirip sama bunda?"
"Amel janji kalo udah besar nanti bakalan buat Ayah sama Bunda bangga."
"Kenapa bunda nggak pernah cium Amel?"
"Karena kamu bau asem."
"Bunda sayang sama kamu, Mel... Tapi Bunda... Nggak-"
"MBAK! BUKA NGAPA SIH! BUDEK YA DARI TADI DI PANGGILIN NGGAK DENGER?!!"
Caramel terperanjat dari tidurnya. Kepalanya yang pusing kini bertambah pusing karena terkejut, padahal sesaat yang lalu dirinya sudah mulai menyelami dunia ketenangan, mimpi.
Cklek...
"Kenapa?" Caramel menampilkan raut seadanya. Mungkin pucat. Siapa tahu Ira memiliki sedikit simpati kepadanya.
"Ngapain aja sih?! Untung nggak putus tenggorokan gue manggilin elo! Awas ya kalo sampe besok pagi gue radang!" sinisnya sembari mengusap tenggorokannya, seperti iklan dingin sari saja!
"Tidur. Kenapa?"
"Ish! Masih sore udah molor. Buatin Ries Janne susu." Setelah memerintah dengan cara tidak manusiawi bagi orang yang sedang sakit, Ira melenggang kembali ke kamarnya.
Biitin jin simi sitin sisi! Dasar setan.
Ternyata tenaganya untuk mengumpat masih terjaga rapi.
Kepalanya sakit, tubuhnya lemas, bagai mana bisa... Ish! Ya tuhan. Kejam sekali manusia di rumah ini.
Caramel pergi ke gudang, mengambil susu kaleng baru. Lampu di gudang ini sepertinya sengaja dipasang lampu yang harganya murahan, sebab setiap baru di ganti pasti beberapa hari kemudian lampu tersebut putus. Entah kapan, mungkin kemarin atau tadi, tapi kini lampu itu putus kembali. Suasana gelap menyambutnya.
Ada sedikit rasa takut di diri Caramel, kembali ke kamar untuk mengambil ponsel pun malas, Caramel melanjutkan langkahnya. Untungnya ia hapal di mana letak susu kaleng tersebut disimpan. Tangannya meraba gelisah, tadi siang ada di sekitar sini. Lama kelamaan, tangannya bergetar saat kaleng susu itu tak kunjung ia temukan. Takut bila tiba-tiba tangannya memegang rambut, atau tangan lain, atau dirinya di tarik atau... Ah. Ketemu.
Saat ingin keluar gudang, tiba-tiba langkahnya terhenti, tiba-tiba saja kakinya ingin memutar haluan lagi, tubuhnya kembali menghadap pada gudang gelap itu.
Menerawang sekeliling. Kebutuhan pokok disimpan dalam gudang ini, sebagian baju mahal pun disimpan disini, namun kenapa di tempat yang menyimpan banyak barang penting ini justru dibiarkan gelap? Apa karena ruangan ini dijuluki gudang sehingga seolah tidak penting?
Caramel pikir-pikir, mungkinkah hidupnya segelap ruangan ini? Mungkin iya. Tak ada cahaya, kalaupun ada mungkinkah cahaya itu akan dengan suka rela menembus kegelapan dalam hidupnya? menghapus segala hal negatif yang selalu menyerang.
"Mbak Amel, mana susunya?!"
Tbc.
Perasaan overthinking udh kek makanan sehari-harinya para remaja, ya? Apa cuma aku doang si😩
Btw di sini musim nikahan tmn seangkatan, guys😭 mentang2 dh pd lulus, meledak kabar sono sini nikah, IJAZAH BLM KELUAR WOI!😭
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Ficção AdolescenteOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...