𝑭𝒍𝒂𝒔𝒉𝒃𝒂𝒄𝒌 𝑰𝑰☼︎

268 61 126
                                    

Bagai langit pagi kehilangan suryanya, bagai langit malam tanpa sinar rembulan, serta bagai rumah-rumah tanpa penerangan. Suram. Segalanya membutuhkan faktor pendukung agar hidup terasa lebih 'hidup' termasuk manusia. Di sebuah ruangan, ada Ledi yang masih dihinggapi kabut duka. Tak mengerti ia bagaimana caranya bangkit, segalanya begitu tiba-tiba dan menimbulkan sesak luar biasa. Berkepanjangan.

Buruk. Ledi dengan segala kehancurannya yang tetap harus berdiri tegak demi anak semata wayangnya, menjalani hari dengan buruk. Bayinya begitu menggemaskan, bahagia dan luka menyertainya. Momen haru mengurus seorang anak ia rasakan sendiri, seharusnya ada Christin yang ikut sibuk terbangun di tengah malam, kan? Atau malah seharusnya ia lah yang ikut-ikutan disibukkan? Fikiran yang terus ia ratapi hingga membuat dadanya kian sesak setiap hari.

Benar kata orang, boleh sedih tapi jangan berlarut-larut. Tapi, hei! Siapa yang mendamba takdir seperti ini? Ia kehilangan wanitanya. Itu sudah cukup menunjukkan sedalam apa luka yang kini ia derita.

Sebuah pisau dapur sudah Ledi posisikan pada nadi di tangannya. Pisau yang biasa wanitanya gunakan untuk mengiris sayuran, tajam bukan main, kalo kudul mah nggak usah susah-susah pakek pisau, sendok juga bisa! Omelnya kala itu.

Tak bisa namun harus bisa, bagai mana ini? Ledi selalu ingin menyerah begitu saja tanpa usaha, namun bagaimana dengan bayinya? Tega kah ia membiarkan Caramel tumbuh dewasa dengan nasib yang sama seperti ibunya? Ah, jangan. Itu terlalu menyakitkan. Ledi buang pisau itu sembarang hingga masuk ke kolong lemari. Entah ini sudah percobaan bunuh diri yang keberapa, dan lagi-lagi gagal seperti sebelumnya.

Beralih ia menatap bayi mungilnya yang menatap Ledi dengan penuh binar dalam sebuah kain yang melilitnya dari tubuh hingga ke kaki.

"Kamu kebahagiaan Ayah satu-satunya, Nak. Jadi, jangan pernah tinggalin Ayah, ya?" Ledi di bulan pertama setelah kepergian Christin.

*****

Huh. Lelah. Ternyata begini rasanya memiliki seorang anak. Setengah tahun sudah Ledi menjadi orang tua tunggal, segalanya ia urus sendiri. Kini Ledi tak lagi mencoba untuk mengakhiri hidupnya, meski hatinya masih terus berduka, tak lagi ia ratapi setiap waktu.

Dari pagi hingga malam ia terus bekerja, menyibukkan diri di restoran tempat ia bekerja sejak jaman bujangan dulu. Atasannya yang terlampau baik hati juga dengan suka rela meminjamkan sebuah kamar khusus untuk bayi mungilnya yang kini sudah mulai aktif. Beginilah kehidupannya, kerja membawa anak, kerja sembari mengurus anak, sungguh nikmat.

Tak lupa ada Lova yang menjelma menjadi sahabat baiknya sejak kepergian Christin. Ia turut berperan dalam menjaga Caramel saat Ledi kerja, meski ia juga bekerja, kadang kala Caramel menangis, sudah lebih dulu Lova yang menenangkan.

Malam itu, Ledi dengan Caramel yang berada dalam gendongannya, pundaknya ia sampirkan tas besar berisi segala kebutuhan Caramel, persis ibu-ibu, tak perduli lagi apa kata dunia mengomentarinya, ia pulang dengan keadaan lelah. Hari ini kondisi Caramel sedang tidak baik, tubuhnya terasa hangat, selama Ledi bekerja ia terus dihantui rasa cemas.

"Caramel butuh seorang ibu, Di," celetuk Lova membuka jalannya pembicaraan.

Lawan bicara Lova termenung, benar kah? Tak nyambung sama sekali Ledi dengan alur yang dibawakan oleh Lova. Ia diamkan saja. Malas.

"Kamu tega liat Caramel sampe gede nanti tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu?"

Benar juga. Terusik. Dua hari Ledi berfikir keras tentang omongan Lova malam itu, ia pertimbangkan dengan matang, pun perihal Lova yang mengatakan dengan gamblang bahwa ia siap menjadi ibu sambung Caramel.

Dua bulan setelahnya, dengan persiapan seadanya, Ledi menikahi Lova. Tak tahu dirinya bahwa Lova tak mendapat restu dari Susi, ibu Lova.

"Kamu boleh nikah sama dia, tapi nggak dengan anak yang terlahir tanpa hubungan itu, Lov. Dia anak haram, hasil perzinaan," tegas Susi.

Setelah resmi menjadi pasangan yang sah di mata tuhan serta negara, Lova menjalani perannya dengan sangat baik, ia abdikan diri untuk suami serta anaknya. Setia serta sabar Lova temani Ledi yang tidak ingin bangkit dari jatuhnya, tidak ingin menghapus kabut dukanya, serta tak membuka mata bahwa kini Lova adalah istrinya.

Tepat saat Caramel berusia satu tahun, keluarga kecil itu pulang ke kota tempat Ledi berasal. Namun, ternyata disambut dengan reaksi tak terduga.

"Jangan kamu langkahin kaki kamu dengan membawa anak haram itu masuk ke dalam rumah ini, Di." Lantang serta nyalang Diana berujar.

Selama mengadu nasib di kota orang, Ledi sempat pulang meski hanya beberapa kali. Terakhir kali Ledi pulang, Diana melihat Ledi memajang foto seorang wanita dengan kalung berliontin salib di atas lemari yang berada di kamarnya. Penasaran, cekatan Diana menelpon adik iparnya yang juga berada di kota perantauan yang sama dengan Ledi, baik serta penuh harap ia bertutur kata menyampaikan segala rasa penasarannya. Kala itu adik ipar Diana memberi tahu, Ledi sudah memiliki kekasih. Terus ia menginformasikan segala yang ia tau kepada Diana, hingga kabar yang tak di inginkan Diana terdengar, Ledi memiliki anak dengan wanita itu. Tanpa adanya ikatan pernikahan.

Harap-harap dapat melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu, ia justru dihadiahi dengan tatapan nyalang sang ibu. Menyendu sorot mata Ledi, ia bawa pulang kembali anak serta istrinya ke kota dimana ia mengadu nasib.

Egonya terluka, jika ia yang tak memiliki salah dapat dibuang begitu saja layaknya sampah, maka Ledi juga dapat melupakan bahwa ia memiliki seorang ibu. Bulat sudah tekad Ledi, inilah keluarganya, Caramel, Christin, dan Lova. Hanya mereka.

Di tahun ke tujuh rumah tangga Ledi dan Lova, hubungan mereka selalu berjalan dengan baik, mulus, tak sekalipun ada bumbu-bumbu kekerasan serta keributan menerpa keluarga mereka. Lova dengan segala perhatiannya, Ledi dengan segala dunia dukanya. Entahlah, kadang kala Lova merasa gagal menjadi seorang istri saat tanpa sengaja memergoki Ledi yang terisak tanpa suara sembari menatap wanita berliontin salib yang menyunggingkan senyum manisnya dalam sebuah foto.

Lova tak berubah, namun situasi yang ia hadapi, tanpa sadar merubah siapa dirinya. Ia mulai uring-uringan, Lova yang lembut menjelma menjadi wanita arogan, ingin mendapat perhatian. Marah ia kepada takdir, ingin ia ledakkan segala amarahnya, namun takdir tak akan bersuara meski ia marah bak ombak menggulung kencang porak poranda. Pada akhirnya, Caramel menjadi tempat ia berkeluh kesah, namun dengan cara yang salah. Lova selalu marah, hingga berekspresi melalui amarah menjadi kebiasaannya.

Tbc.

I'm okay (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang