Gemercik hujan masih terus terdengar hingga subuh meski sejak semalam langit sudah menumpahkan airnya. Menciptakan udara dingin yang dinginnya seolah dapat menembus tulang, seperti yang dirasakan Caramel saat ini. Meski dingin seolah membuat tulang-tulang Caramel ngilu dan nyut-nyutan, pekerjaan tetaplah pekerjaan yang harus di laksanakan. Apa lagi ia bekerja di dalam rumah hingga tak ada alasan untuknya menunda pekerjaan meski di luar sedang hujan badai angin ribut sekalipun.
Hari minggu dan hujan di pagi hari, perpaduan yang sempurna.
Pagi ini, pukul 05.44 di hari ke 26 Caramel bekerja, ia telah menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Kecuali memandikan dan memberi makan dua bocah setan itu tentunya. Mengingat kedua bocah itu membuat Caramel loyo seketika, mereka itu kecil namun sukses menciptakan bayang-bayang mengerikan.
Pusing mendadak menyerang saat Caramel memikirkan siasat apa yang dapat menjinakkan Janne dan Ries. Biarlah itu ia pikirkan sembari kakinya melangkah ke ujung komplek untuk membuang sampang sekantong penuh, tangan sebelahnya lagi ia gunakan untuk memegang payung berwarna biru gelap.
"Rumahnya di mana, Dek?" Caramel terperanjat. Ia mendongak lalu menatap wanita di hadapannya yang kini sedang membuang sampah juga.
"Kalo rumah saya aslinya jauh, Bu. Tapi saya kerja di situ loh." Caramel menunjuk rumah Siska.
Wanita di hadapannya terlihat manggut-manggut. "Jadi kamu mbak baru di rumahnya Siska?"
Caramel membalas pertanyaan itu dengan seulas senyuman serta anggukan kepala, tangannya sibuk menekan sampah yang sedang ia buang agar masuk kedalam tong sampah dengan benar. Tak tega bila nanti mobil pengangkut sampah datang tukang sampah akan kerepotan memunguti sampah yang tidak masuk pada tempatnya, selain menyebalkan, Caramel fikir itu pasti akan mengulur waktu dan membuat kesal orang bekerja di pagi hari.
Setelahnya, Caramel lihat wanita tadi masih berdiri tak jauh darinya, menunggunya kah?
"Kalo Ibu rumahnya di mana?"
Wanita tersebut ikut menunjuk letak rumahnya. "Nomor tiga dari rumah Siska."
"Apa alasan kamu mau kerja di rumah Siska, dek?"
Kening Caramel mengerut. "Butuh duit, Bu."
"Kalau ibu liat-liat, kamu ini kayaknya nggak tau apa-apa, deh. Besok lagi di mana pun kamu mau kerja, sebelum kerja kamu harus cari tau dulu latar belakang pekerjaan kamu. Ibu duluan, ya."
Wanita itu berjalan lebih cepat, seolah tak ingin Caramel bertanya lebih dalam padanya. Caramel mengangkat bahunya acuh, orang yang lebih tua memang suka memberi nasehat kan?
Caramel memasuki pekarangan rumah tempatnya bekerja, melepas sandal hitam yang ia kenakan, menapaki keramik yang melapisi lantai, melangkah masuk dan disambut oleh tawa hangat keluarga yang menggema di rumah itu.
"Eh Amel, sini makan soto." Siska menggeser semangkuk soto, sepertinya memang sudah disiapkan untuk Caramel.
Melangkah Caramel mendekati sekelompok keluarga itu, mengambil mangkuk yang barusan di geser lalu membawanya ke belakang.
Melihat Caramel hendak membawa semangkuk soto miliknya, dengan cepat Siska berujar, "Duduk aja Mel, gabung. Anggep aja keluarga sendiri."
Meski tak nyaman, akhirnya Caramel mendudukkan bokongnya di sebelah Siska yang bersebelahan dengan Hendri suaminya, pasangan suami istri itu sibuk menyaksikan tayangan seputar selebriti di televisi.
Makannya makin tak nyaman saat menyadari bahwa Rio terus memperhatikannya. Adik majikan lelakinya pun turut curi-curi pandang terhadap Caramel. Mengikuti arah pandang kedua bujangan tersebut, ternyata baju depan Caramel terlalu turun ke bawah hingga menampilkan bagian atas payudaranya.
![](https://img.wattpad.com/cover/305442874-288-k94146.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Teen FictionOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...