𝑾𝒐𝒖𝒏𝒅 𝒇𝒍𝒂𝒌𝒆𝒔☼︎

383 84 183
                                    

Happy reading!

Seorang anak perempuan terduduk di balik pintu kamar. Tangan mungilnya terus mengusap air mata yang tak henti menetes, indra penglihatannya tak sedikitpun mengalihkan pandangan pada adegan yang menurutnya sangat mengerikan di depan sana melalui celah di balik pintu.

"Gimana Allah mau ngasih lebih kalo segini aja kamu nggak bersyukur?"

"Kamu sadar nggak sih, Mas? Anak kita di rumah orang! Gimana kalo disana dia kelaperan? Siapa yang bakal perduli? Bukannya nggak bersyukur, tapi uang segini dapet apa?!" Dapat Liona lihat, mata bundanya memerah, urat-urat dari kepalanya seperti ingin keluar.Dengan geram Lova berteriak lantang.

"Syukur aja nggak cukup Mas, kalo kamu nggak mau berusaha..."

"Setiap hari aku kerja. Apa itu bukan bentuk usaha?" Dengan tangan yang terkepal, ternyata ayahnya juga turut menimpali.

Tubuh Liona bergetar, takut-takut bila ayahnya memukul bundanya lagi seperti yang sudah-sudah.

"Berkali-kali aku bilang, cari kerjaan lain Mas, hasil dari pekerjaanmu yang sekarang ini nggak mencukupi."

Dengan segala yang serba mahal, gaji kecil, bahkan untuk bertahan dari hari ini ke hari esok pun rasanya sulit. Bagai mana dengan masa depan anak-anak mereka yang juga membutuhkan biaya jika untuk makan saja sesulit ini? Ini yang Lova maksud, yang tidak Ledi pahami.

"Cari kerjaan nggak semudah yang kamu bilang, Lov. Apa lagi aku cuman lulusan SMP." Namun Lova juga tak mengerti perihal ini.

"Pulang sana kamu tempet ibumu yang kaya itu! Minta uang yang banyak buat ngasih makan anak kita!"

Tidak melontarkan jawaban lagi, sang ayah pergi dari ruang tamu yang ukurannya tak luas itu. Masuk ke kamar, dari suaranya, ayahnya seperti memutar kunci lemari. Masih dengan mengintip dari celah dibalik pintu kamar, Liona melihat bundanya juga masuk kedalam kemar.

Tak ingin ketinggalan berita keluarganya yang berantakan ini, Liona akhirnya memberanikan diri keluar dari kamar. Kaki mungilnya berdiri tak tegak di samping pintu kamar orang tuanya. Meski pada akhirnya ia tidak dapat berbuat apa-apa, ia harus tetap melihat apapun yang akan terjadi antara kedua orang tuanya.

"Kamu mau pergi, Mas?" Suara Lova terdengar bergetar. Ucapan tadi melukai harga diri Ledi sebagai seorang lelaki.

Bunda jangan nangis... Liona mengusap air matanya. Lagi.

Liona tak mengerti ada apa sebenarnya, ia tak mengerti apapun. Namun bagian dari organ tubuhnya terasa nyeri dan air matanya juga tak berhenti mengalir.

Tak lama kemudian, ayahnya keluar dengan tas di punggungnya. Dalam isak tangisnya yang tertahan, Liona berfikir keras. Bagai mana ini? Apa kedepannya ia akan hidup tanpa seorang ayah?

Matanya yang penuh dengan linangan air mata itu terus menatap kaki jenjang sang ayah yang perlahan mendekati pintu keluar.

Jika ayahnya pergi, apakah ada jaminan untuk Ledi kembali lagi? Tak ada cara lain. Liona tak ingin kehilangan keluarganya. Dengan suara paraunya yang nyaris tak terdengar, Liona memanggil. "Ayah..." Seketika Ledi membalikkan seluruh tubuhnya.

Sehancur apa perasaan Ledi saat melihat putri kecilnya berdiri menyandar pada tembok sembari menatapnya penuh harap?

"J-jangan pergi..." sambung Liona sembari menggeleng. Setelahnya, tangan mungi itu membekap mulutnya sendiri guna meredam isakan.

*****

Siang ini hujan deras, sangat deras hingga menciptakan hawa dingin meski setengah jam yang lalu matahari masih memancarkan sinar teriknya.

I'm okay (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang