Caramel menyusuri sepanjang jalan dari sekolah menuju rumahnya dengan berjalan kaki, motor yang biasa ia gunakan untuk berpergian kini sudah ganti pemilik, digantikan dengan lembaran uang yang kini telah habis digunakan untuk pengobatan Liona yang sedang sakit."Mel, mau bareng?" Salah satu teman Caramel menawarkan.
Caramel tersenyum tulus. "Enggak, duluan aja."
Langkah Caramel yang tadi sempat terhenti kini ia lanjutkan kembali, beberapa hal terus mengganggu pikirannya.
Motornya telah dijual. Beberapa malam ini Caramel selalu menahan rasa pegal dan sakit di bagian lututnya sebab setiap pulang sekolah ia harus berjalan kaki. Hidup memang tentang perjuangan, pengorbanan, dan keikhlasan, bukan? Maka sungguh Caramel ikhlas, yang terpenting adalah adiknya kini telah kembali sehat. Namun, pembayaran SPP sebentar lagi tiba, adakah uang untuk membayarnya?
Masalah yang tidak ada habisnya. Ingatannya berkelana jauh ke masa lalu, menatap kembali satu persatu kejadian dimana dirinya dimarahi. Setiap hari, entah salah dirinya, ataukah Lova yang sedang badmood, ia selalu menjadi sasaran kemarahan Lova, seolah-olah waktu tidak akan berjalan jika dalam satu hari ia belum mendapatkan amukan. Caramel curiga, jangan-jangan memarahi dirinya adalah sebuah kewajiban bagi bundanya.
Karena memikirkan bundanya, kini beban fikiran Caramel bertambah lagi satu, yaitu omongan beberapa tetangganya saat ia hendak membuang sampah beberapa hari yang lalu.
"Motor anaknya si Lova dijual."
"Rumah cakep, tapi ekonomi sulit sampe melilit si Caramel."
"Pantesan baju Lova itu-itu aja, buat berobat anak aja sampe jual motor."
"Ih iya, saya juga merhatiin baju yang dipakai Lova kebanyakan ada jamur bajunya."
"Kasihan Caramel, sekarang dia setiap pulang sekolah selalu jalan kaki loh."
"Kalo kasihan open donatur dong, Mbak."
"Wah keenakan nanti Lova yang makan duitnya, dia kan boros duit."
"HAHAHAHA."
Sialan. Tetangga bermulut jahanam.
Tiba-tiba Caramel teringat postingan seorang wanita saat ia sedang menscroll beranda facebook beberapa hari yang lalu.
"Apa aku kerja aja, ya?"
*****
"Emangnya harus bener nginep ya, Bu?" tanya Caramel sekali lagi.
Riska, wanita yang postingannya Caramel lihat beberapa hari yang lalu kini mengangguk mantap. "Iya, Mbak. Kalo nggak bisa menetap di rumah saya, saya cari yang lain aja," jawabnya finish.
Caramel memilin ujung dasi sekolahnya gugup. Ia sudah berkorban merelakan sisa uang jajannya untuk pergi ke rumah ini dengan menaiki angkot, apa iya setelah ini ia akan mendapatkan lowongan pekerjaan dengan mudah?
Caramel berusaha mencari alasan."Tapi Bu, jarak dari rumah ini ke sekolah saya jauh, uang jajan saya nggak cukup buat naik angkot."
Bu Riska mengangguk mengerti. "Ada motor nggak kepakai di garasi, kamu bisa pakai motor itu."
Caramel melipat bibirnya kedalam. Ia tak menyangka dalam sekejap, dalam sekali langkah, dalam sekali keputusan, kini telah mengantarkannya pada situasi yang mengerikan. Apakah ia mampu hidup jauh dari keluarganya?
"Saya pikirin dulu ya, Bu."
Riska tersenyum ramah. "Pikirin dulu baik-baik, setiap pekerjaan pasti ada kelebihan dan kekurangannya," ujarnya seolah mengerti keraguan dalam diri Caramel.
*****
Caramel menatap tulisan di buku cetak yang ada di hadapannya, niatnya ingin mengerjakan PR, tapi berujung lamunan tentang pekerjaan yang menguasai seluruh fikirannya saat ini.
"Kak Amel, main yuk?" Liona yang sejak tadi bermain game di ponsel Caramel kini bersuara.
Caramel menggeleng sembari mengangkat buku cetak tadi. "Kakak lagi ngerjain PR, main sendiri dulu, ya."
Dengan patuh Liona mengangguk, meski rasa bosan ia tunjukkan melalui raut wajahnya.
"Dek, ayah sama bunda ada di rumah nggak?"
"Ada, lagi nonton tv."
Tanpa kata, Caramel beranjak dari duduknya. Malam hari adalah waktu yang pas untuk mengobrol, dan semoga malam ini ayah dan bundanya akan memberikan izin atas kemauannya.
Dengan langkah pelan serta ragu Caramel menghampiri keduanya. Dapat dilihat, Lova sedang menjahit celana, sedangkan Ledi sedang menikmati secangkir kopi panas tanpa mengalihkan atensinya dari siaran berita yang sedang berlangsung di televisi.
Caramel beringsut menduduki sofa. Lova sempat menatapnya sebentar sebelum akhirnya ia melanjutkan aktivitasnya.
Jari-jari kaki Caramel ia tekankan kedalam dengan kuat, berharap bisa mengurangi bermacam rasa yang kini menyerangnya.
"Ayah, Bunda..."
Keduanya menoleh. Ayo Caramel, anak muda harus banyak berusaha.
"Amel pingin beli sesuatu, tapi harganya lumayan mahal." Caramel berhenti berucap sejenak guna melihat respon kedua orang tuanya.
Tapi... sepertinya Caramel salah, sebab ia tidak langsung berbicara pada intinya.
"Terus maunya apa? Mau duit? Belum bisa cari duit itu jangan banyak tingkah. Cari duit sana!"
Jleb! Entah mengapa, setiap yang diucapkan Lova selalu menciutkan semangatnya.
"Mau beli apa, Nak?"
"Nggak usah ditanya-tanya, Mas, kayak kamu udah kebanyakan duit aja."
"Amel pingin beli pake duit Amel sendiri, jadi... Amel mau kerja."
"boleh," sahut Lova cepat.
"Kerja apa?" tanya Ledi.
"Emm..."
Nafas Caramel tersendat-sendat. "Ya Allah, nafasku kenapa jadi kayak orang kena asma begini?"
"Kerja jadi pembantu dan jagain anak," jawab Caramel pelan.
Caramel mulai mengangkat kepalanya yang sejak tadi ia tundukkan. Kedua orang tuanya menampilkan raut yang berbeda.
"Terserah."
"NGGAK!"
TBC.
Aku udah selesai hiatussssss!
![](https://img.wattpad.com/cover/305442874-288-k94146.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Teen FictionOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...