Happy reading!
Setelah memaksa otaknya untuk merangkai kalimat yang akan ia lontarkan kepada orang tuanya, kini Caramel harus memutar otaknya kembali, dari mana ia harus mendapatkan uang.
Caramel menatap Liona yang kini masih sesenggukan dalam dekapannya.
"Bunda itu nggak jahat, dek..." kata Caramel sembari mengusap peluh di kening Liona.
Dalam dekapan kakaknya, Liona menggeleng. "Kakak pasti sakit dipukul bunda." Kini isak tangisnya terdengar lagi.
Caramel tertawa pelan, lalu menggeleng. "Enggak sakit, buktinya Kakak ketawa, nih."
"Beneran nggak sakit?" tanya Liona polos.
Caramel mengangguk sembari tersenyum miris. Liona tentu tidak mengerti maksud dari senyuman kakaknya, yang ia tau, kakaknya tersenyum dan mengangguk, itu sudah cukup baginya. Padahal, senyum Caramel adalah senyum untuk menutup segala luka, agar terlihat baik-baik saja.
"Enggak, dong. Jadi jangan anggep bunda jahat, ya? Bunda marah-marah karena lagi pusing."
Liona menatap Caramel tak faham. "Kepala Ona juga pusing, tapi nggak marah-marah, tuh."
"Ya Ona, kan, pusing karena habis nangis, kalo bunda pusing karena nggak punya uang."
"Ona juga nggak punya uang," balasnya. Sifat Ledi, ayah mereka, sangat menempel pada Liona.
Caramel dibuat mati kutu oleh anak berusia tujuh tahun. Kini, tak ada lagi jawaban yang Caramel lontarkan. Tak lama kemudian, deru nafas yang teratur membuat Caramel menghela nafas lega.
*****
"Jadi anak saya udah bisa ikut PTS, kan, Bu?" tanya Ledi sekali lagi untuk memastikan.
"Iya, Pak. Ini bukti pembayarannya." Guru di hadapan Ledi mengulas senyum ramah sembari menyerahkan selembar kuitansi kepada Ledi.
Tadi, saat dalam perjalanan menuju tempat kerjanya, Ledi dihubungi oleh salah satu staff TU sekolah Caramel, bahwa PTS akan dilaksanakan tiga hari lagi dan SPP Caramel pada semester kedua ini belum dibayar, oleh karena itu, pagi ini Ledi datang kesekolah Caramel.
Satu jam dari kepergian Ledi, kini Lova datang ke sekolah Caramel dengan tujuan yang sama, melunasi SPP Caramel pada semester dua ini.
Kini, Lova tengah duduk di ruang guru, menunggu wali kelas Caramel datang. Tak lama kemudian, seorang guru muda tersenyum hangat sembari berjalan kearahnya. Itu dia.
"Wali muridnya Caramel?" tanya guru tersebut sembari duduk di hadapan Lova.
"Iya, Bu, saya bundanya Amel. Jadi, maksud kedatangan saya kesini mau melunaskan SPP Amel selama semester dua ini."
*****
Pagi berganti siang, cahaya matahari pagi yang menyegarkan, kini berubah menjadi cahaya yang panas menyengat. Terdengar suara mesin motor berhenti di depan rumah, dengan cepat Lova membukakan pintu. Itu pasti suaminya!
"Lauknya cuma tempe goreng, Lov?" tanya Ledi ketika membuka tudung saji.
Lova mengangguk cepat. "Uangnya abis, Mas, buat bayar SPP Amel."
Ledi menatap Lova heran, jelas-jelas sampai tadi pagi, tidak ada yang membayar sumbangan pendidikan anaknya, kecuali dirinya sendiri yang datang ke sekolah.
"Kamu kalau lagi butuh uang, bilang ke aku, jangan bohong kayak gini," ujar Ledi menatap Lova lembut. Ia harap istrinya akan jujur, dikemanakan uang belanjaan itu sehingga makan siang hanya ada lauk tempe goreng.
Kening Lova mengerut mendengar ucapan Ledi. "Aku beneran bayarin SPP Amel, Mas." Nada bicara Lova sedikit meninggi. Ucapan Ledi barusan membuatnya kesal.
"Bohong."
"Bohong gimana, Mas?!" Lova berdesis marah.
"Kalau kamu udah bayarin SPP Amel, nggak mungkin aku sampe ditelpon staf TU sekolah Amel. Aku yang bayarin SPP Amel tadi pagi!"
Lova mengeram marah. Lagi-lagi masalah uang. Lagi-lagi Caramel. Salah apa dirinya di masa lalu hingga kini rumah tangganya selalu dipenuhi dengan keributan setiap harinya.
Prang!
Lova membanting piring yang ada di hadapannya. Sepertinya membanting barang sudah menjadi candu bagi Lova.
"Kamu boleh sayang sama anak kamu, Mas! Tapi kamu nggak ada hak buat nuduh-nuduh aku!"
Wajah Ledi memerah, sebagai kepala rumah tangga, ia merasa tak pernah dihargai. "Seharusnya pernikahan kita memang nggak pernah ada."
Lova menatap Ledi tak percaya. "Kamu nyesel menikah sama aku?" tanyanya getir, tubuhnya terduduk lemas di kursi.
Amarah menguasai keduanya, hingga tanpa sadar mereka mengucapkan hal-hal yang seharusnya tak boleh diucapkan.
"KAMU NYESEL NIKAH SAMA AKU?!"
Ledi mengepalkan tangannya kuat, matanya terpejam. "IYA! Aku nyesel nikah sama kamu! Aku mau kita cer-"
"AYAH!"
Caramel berlari menghampiri kedua orang tuanya. Dengan kasar ia membanting sepatu yang ada di tangannya.
"Ayah sama Bunda kenapa berantem terus, sih?!" Caramel menatap marah kepada Lova dan Ledi. "Ayah sama Bunda selalu berantem karena uang! Apa uang lebih penting dari keluarga kita, Yah, Bun? Kalian nggak pernah mikirin perasaan aku!" bentak Caramel.
"Rasanya sakit, Yah, Bun... " lirihnya kemudian.
Hiks!
Caramel terisak pilu setelah menyelesaikan ucapannya. Ia menyesali takdir yang membuatnya harus terlahir di keluarga yang hancur.
Lova bangkit dari duduknya, dengan kasar ia mencekam kuat rambut Caramel. "Bunda sama Ayah berantem gara-gara kamu, Mel! Selalu gara-gara kamu!"
"Kamu kenapa selalu nyusahin, sih!" tanya Lova geram, lalu mendorong Caramel kuat, hingga membuat tubuh Caramel terbentur lantai.
"KETERLALUAN KAMU, LOV!" teriak Ledi murka. Murka karena Lova selalu berlaku kasar pada Caramel, murka karena Lova selalu marah pada Caramel, murka atas segala tingkah buruk Lova pada anak mereka.
Dengan kasar Ledi menarik tangan Lova agar menghadap ke dirinya, tangan besarnya terangkat menampar pipi Lova.
PLAK!
"Sakit, Ayah..." lirih Caramel sembari memeluk erat bundanya.
Sebelum tangan besar itu menyentuh pipi Lova, dengan cepat Caramel berdiri memeluk Lova, sehingga tamparan kuat itu mengenai kepalanya.
Tbc.
Gimana puasanya, guys? Kalian bolong berapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Подростковая литератураOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...