𝑱𝒖𝒔𝒕 𝒇𝒓𝒊𝒆𝒏𝒅, 𝒃𝒖𝒕 𝒊𝒕'𝒔 𝒐𝒌𝒂𝒚☼︎

222 47 104
                                    

Disebabkan oleh motornya dijual hingga ia tak memiliki kendaraan untuk pulang, pun dengan biaya angkot yang ia rasa sayang-sayang lebih baik untuk jajan cilok, berakhir pada gadis itu yang memilih pulang dengan jalan kaki.

Niat hati akan mampir ke toko es krim untuk membelikan Liona, Caramel membelokkan langkahnya pada jalan tikus agar cepat sampai. Pertama kali juga baginya melewati gang sempit yang enggan dilewati para manusia sebab jalannya sulit, becek dan berlubang.

Dinding menjulang tinggi menyertai sepanjang jalan kecil tersebut mengantarkannya pada jalan raya. Padahal gang itu langsung menembus jalan raya besar. Tapi sepi.

Dan sepertinya... ia seorang diri dalam jalan sempit itu. Lalu, sebuah mobil berwarna biru gelap memasuki jalan sempit itu. Membuat jalannya nyaris habis, benar-benar minim celah untuk di lewati.

Pengendaranya turun.

Iyan.

Kaku tegang tubuh Caramel. Hampir tak tegak gadis itu berdiri menunpu bobot tubuh. Padahal, beberapa meter lagi ia akan menapakkan kaki di jalan yang ramai kendaraan.

Lelaki dewasa yang kini berdiri bersandar pada body mobil tersebut menatapnya garang. Tampak sangat-sangat garang kala tatapannya menyayu, menampakkan sleepy eyes.

Kaku-kaku Caramel membalikkan tubuh, hendak berlari terseok-seok dengan jantung yang hampir gagal berfungsi.

Langkah besar Iyan turut menyertai, mengejar Caramel yang berlari mungil. Menggemaskan.

Mudah saja baginya. Langsung ia cekal kasar pergelangan tangan Caramel. Entah apa mau lelaki itu, terus-terus saja mengusik ketenangan Caramel.

"Lepasin, Kak!" Caramel sentak kuat pergelangan tangannya.

Kontak mata keduanya bertemu. Caramel dengan mata berairnya, sedang Iyan dengan tatapan sinisnya. Menukik smirk lelaki itu.

"Sebenernya lo pengen gue apain?" Iyan basahi bibir bawahnya menggunakan lidah setelah melontarkan pertanyaan ambigu itu.

"Apa dengan cara gue nyentuh lo, baru lo bisa diem?"

Lemah. Sungguh, Caramel tak berdaya kini. Mendengar kalimat-kalimat Iyan, ia hanya ingen seketika nyawanya dicabut.

Menggeleng lemah, Caramel tatap Iyan dengan raut harapan Iyan akan iba. Namun, lelaki itu tampaknya kian gencar. Menyengir seram Iyan, seperti psikopat menemukan mangsa.

"Kenapa? Kenapa lo bilang ke Vivi kalo gue pemakai?" Ini alasan lelaki menyeramkan di hadapan Caramel marah. Tapi sungguh, Caramel hanya perduli pada Vivi.

"Kenapa?! Kenapa lo bilang kalo gue pemabuk? Kenapa lo reseh anj*ng!!!" Lagi. Bertubi-tubi Iyan lontarkan pertanyaan pada Caramel.

"Mati-matian gue ajak dia nikah, gue yakinin dia. Karena dia nggak mau, nggak ada cara lain, gue buntingin dia. Tapi lo? Lo hancurin kepercayaan dia ke gue!!"

Mencuat urat-urat besar di sekitar leher Iyan, memerah mukanya, pun dengan cekamannya yang kian mengerat.

"Ah! Kalo dilihat-lihat, tubuh lo ini molek juga." Menjulur lidah lelaki itu, menempel pada bibir bawah.

Lagi-lagi, pecah tangis Caramel di hadapan Iyan. Seperti menyerah pada takdir atas apa yang akan terjadi. Tersedu gadis itu.

"LAWAN MEL!" Fajar.

Berteriak kencang dari arah belakang Caramel berdiri. Gemas melihat gadis manis itu pasrah seolah tak berdaya. Dan saat itu juga kesadaran Caramel kembali.

Seharusnya, ia tak perlu menangisi ketakutannya yang sesungguhnya dapat ia lawan. Seharusnya, ia tak perlu takut atas kegilaan lelaki di hadapannya. Seharusnya, sudah sejak tadi ia lawan.

I'm okay (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang