𝑵𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒎𝒂𝒓𝒌𝒆𝒕☼︎

221 47 120
                                    

Terketuk pintu dari luar. Yang di dalam bertanya-tanya, siapa gerangannya? Terus berbunyi dengan tempo teratur, pun dengan suara seorang lelaki yang mengucapkan salam.

Melangkah Lova mendekati pintu, ia intip dulu melalui jendela yang tertutup tirai. "Siapa?" tanyanya membuka pintu. Remaja lelaki yang tak pernah ia lihat sebelumnya, kini berdiri tegak, mengulas senyum sopan.

Sedangkan di balik tubuh Lova, ada Liona yang bersemayam. Penasaran, ia intip pelan-pelan wajah pemuda itu.

"Temennya Caramel, Tante." Fajar menyodorkan tangan kanan terbukanya.

Bingung. Lova sodorkan pula tangan kanan dengan keadaan terbuka. Fajar salami Lova. Pinter banget pencitraan.

"Terus?" Agak sarkas Lova bertanya. Anak perempuannya bahkan tak pernah bercerita bahwa kini ia memiliki seorang kekasih.

Berpacu cepat denyut jantung Fajar. Hampir putus nafasnya, ternyata ngeri-ngeri sedap, ya. Meski begitu, berhasil ia kendalikan segala kegugupannya, cepat tepat tangkas ia merespon Lova.

"Maksud dari kedatangan saya, kalau Tante izinin, rencananya saya mau ajak Caramel ke pasar malem, Tan."

Aktif Liona pasang telinganya, miring kepalanya menatap wajah Fajar di balik tubuh sang bunda.

Terus Fajar tatap wajah Lova, enggan menunduk atau sekedar memalingkan tatapan, begini cara ia berkomunikasi dengan lawan bicara.

Ragu. Terlalu mencolok di raut Lova kala dahinya mengernyit tipis, pun dengan alisnya yang sedikit bertaut.

"Jam sembilan saya pastiin Caramel udah pulang ke rumah, Tante." Cepat-cepat Fajar timpali kalimat menjanjikan itu.

Lova tilik datar pemuda yang berani-beraninya meminta izin langsung untuk membawa anak gadisnya pergi. Galak sedikit mengerikan raut wanita itu menatap, seolah sedang menyeleksi.

"Masuk dulu." Pada akhirnya.

Kabur Liona, masuk bocah itu ke kamar Caramel guna menginformasikan kabar terbaru pada sang kakak.

"Kak Amel, ada cogan di luar." Si pembawa berita tak jelas itu langsung kabur lagi menemui bundanya setelah menebarkan informasi setengah-setengah.

Berbalik tubuh Lova, lebih dulu melangkah, meninggalkan Fajar yang melotot lega serta sempat-sempatnya tangan pemuda itu naik sebentar, menempelkannya di dada.

Keluar Caramel dari kamarnya. Sontak membulat sepasang bola mata gadis itu kala melihat Fajar duduk manis di ruang tamu, pun dengan Lova yang gujuk-gujuk mendatanginya.

"Bukannya Bunda seneng sama drama percintaan kayak gini, tapi ini memang wajarnya anak remaja. Bunda percaya sama kamu, Mel. Tolong jangan rusak kepercayaan Bunda." Panjang lebar Lova berucap, ia usap puncak kepala Caramel dengan tatapan tegasnya, lalu masuk ke kamar.

"Kak Amel, Ona mau permen kapas yang warna ungu, ya!" Masuk juga Liona, mengikuti Lova.

Lambat Caramel mencerna situasi saat ini. Segera saja ia datangi Fajar yang datang tak di undang.

"Kak Fajar, ngapain?" tanya Caramel setengah berbisik. Ia tatap Fajar dengan style rapihnya.

Frustasi melanda Caramel kala pertanyaannya tak dijawab, mendadak saja ia di serang feeling 'sok tau' yang biasanya ia tonton di film-film. "Ini malem minggu, kan? Kak Fajar mau ngapel?" Caramel mencetus dengan percaya diri.

"Siap-siap sana, kita ke pasar malem."

*****

Angin malam menerpa tubuh Caramel dan Fajar yang kini tengah berada di atas motor. Bahagia? Oh, tentu. Bahkan kini kebas Fajar rasakan kala bibirnya sejak tadi tak urung terus melengkung ke atas. Pun dengan Caramel yang masih tak menyangka.

"Dingin nggak, Mel?" Fajar membuka percakapan. Tak enak hati bila selama perjalanan akan terasa membosankan.

"Seger, Kak." Caramel tersenyum terlampau bahagia hingga tampaklah deretan gigi rapihnya. "Kak Fajar nggak susah gitu bawa motor nggak pake kacamata?"

"Aku nggak rabun. Kacamata yang biasa aku pakek di sekolah itu cuman kacamata baca doang." Langsung Fajar klarifikasi.

Empat hari Caramel mendiami serta menghindari Fajar. Bukan tanpa sebab, kala itu ia hanya takut untuk berinteraksi dengan lelaki saat teringat Vivi.

Tapi, malam ini, rasa takutnya tiba-tiba saja hilang, berdekatan dengan Fajar tak semengerikan yang ia kira.

Berhenti Fajar di depan ATM mini, dengan maksud akan menarik uang, tetapi satu hal yang baru ia sadari, Fajar lupa membawa dompet.

"Kita pulang sebentar ke rumah aku, ya?" Fajar tilik raut Caramel, takut gadis itu tak nyaman atau keberatan.

"Kenapa?"

"Dompet aku ketinggalan."

Melaju keduanya ke rumah Fajar. Caramel hirup dalam-dalam segarnya angin malam, sesekali matanya menatap gemerlap bintang serta terangnya bulan.

Berhenti kendaraan matic beroda dua itu di halaman luas. Rumah besar berdiri kokoh di hadapan Caramel, cat berwarna putih gading meninggalkan kesan mewah pada rumah itu. Pun dengan banyak lampu yang mengelilingi rumah tersebut hingga terkesan sangat hidup.

*****

"Mau naik wahana apa?"

AAA. Batin Caramel menjerit keras-keras. Apa-apaan? Ini kah definisi dunia serasa milik berdua? Rasanya ... BAHAGIA BUKAN MAIN. Terkesan klise serta alay, tapi sungguh, ini yang pertama bagi Caramel.

"Rumah hantu?" Caramel minta persetujuan pada lelaki yang sudah membawanya pada tempat ramai menyenangkan ini.

Dimabuk cinta kini keduanya. Fajar yang sebenarnya agak sensitif jika menyangkut soal makhluk halus, mendadak langsung iya-iya saja kala melihat binar bahagia di mata Caramel.

Setelah membeli tiket, mulai mereka pijakkan kaki di wahana makhluk halus jadi-jadian itu. Fajar tautkan tangannya dengan tangan Caramel. Bukan, bukan modus. Hanya saja ia takut.

"Kak... Aku takut." Nah. Sudah terlanjur masuk, bagai mana ini? Tau begitu tadi tidak usah masuk sekalian.

"Nggak apa-apa, ada Kakak." Fajar eratkan genggaman tangannya.

Melangkah pelan-pelan kedua sejoli itu dalam ruangan remang-remang yang dipenuhi dengan suara alay bin lebay haha hihi yang menyeramkan.

"Kak... Tas aku." Maksud hati ingin melepas tautan tangan kala sling bag yang ia sampirkan di pundak merosot ke tengah tautan tangan mereka.

Tak ingin Fajar melepas tautan itu, sungguh, sekali lagi ia tekankan, bukan modus, ia hanya takut. Fajar tarik sling bag Caramel cepat, lalu tangan sebelahnya yang menganggur dengan cepat menyambar sling bag tersebut, jadilah benda itu berpindah tangan.

Tiba-tiba, entah bau apa dan asalnya dari mana, kini bau itu mampir ke indra penciuman Caramel dan Fajar.

"Kak... aku mau keluar aja." Bergetar sudah seluruh tubuh Caramel.

Haish. Salah kaprah sudah keduanya. "Nggak apa-apa, seru kok. Ini tuh wangi parfume paris."

Sejak mencium bau tadi, perasaan Fajar sudah tak enak. Ia telan susah-susah ludahnya kala merasa ada yang meniup lehernya.

Bergetar parah tubuhnya, hingga tautannya dengan Caramel terasa sedikit licin sebab keringat dingin. Ya tuhan, tolong lah, jaga image Fajar. Semakin bergerak gelisah kini kepalanya kala merasa tiupan itu tak kunjung hilang, justru malah berpindah-pindah tempat, masih di sekitar leher hingga tengkuknya.

Tersentak merinding kaget Fajar kala merasakan tangan besar meremas bokongnya. "WOI SETAN SIALAN! SETAN MESUM! KURANG AJAR LO!!!" Reflek Fajar geplak-geplak kuat mengenakan sling bag Caramel pada sosok yang tadi meremas bokongnya.

Berlari sembarang arah Fajar menggandeng tangan Caramel, hingga timbullah mereka di pintu keluar.

"Setan apaan? Setan kok mesum!" Misuh-misuh Fajar menuruni anak tangga.

Terbahak Caramel hingga tak dapat lagi bersuara sangking serunya, sakit perutnya kala hanya mampu tertawa dengan suara ngik-ngik.

TBC!

I'm okay (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang