Happy reading!
Caramel melipat rapi alat solatnya setelah selesai melaksanakan solat subuh. Hari demi hari telah Caramel lewati, hidup sebatang kara di rumah orang bukanlah perkara yang mudah, apa lagi bagi Caramel yang masih sangat minim pengalaman. Setiap hari, rasanya ia hampir ingin menyerah, berada di ambang keterpurukan, dan berdiri lemah diatas jembatan tali keputus asaan. Kalau boleh jujur... Caramel lelah. Ingin pulang saja. Namun sampai kini, hari ke 14 ia masih mampu mempertahankan dirinya.
Caramel ingin pulang, tapi bahkan ia tak punya rumah. Mengingat amukan sang bunda yang tak henti-henti serta tak perduli waktu, kini Caramel sadar rumah yang ia anggap rumah kini tak lagi dapat menampung segala keluh kesahnya selayaknya rumah pada umumnya.
Selesai dengan urusannya beribadan pada sang pencipta, kini Caramel mulai membuka pintu kamarnya. Letak kamarnya tidak seperti kamar pembantu yang ada di sinetron yang letaknya berada di belakang di dekat dapur. Letaknya begini, kamar majikannya, kamar Janne dan Ries, kamar anak gadisnya, kamar anak bujangnya beserta adik dari majikan lelakinya, dan pintu selanjutnya adalah kamar Caramel. Meski letaknya di belakang dan bersampingan dengan dapur, Caramel bersyukur karena kamarnya tidak langsung berhadapan dengan dapur.
Bayangkan saja, jika kamarnya berhadapan langsung dengan dapur, subuh-subuh membuka pintu matanya akan langsung tertuju pada wastafel yang dipenuhi piring kotor. Pasti sumpek sekali rasanya. Sungguh, perkara kamar ini membuat Caramel sedikit mendesah lega.
Caramel mulai memunguti baju kotor yang berserakan di sekitar bak kotor, di sekitar bak kotor. Bukan dalam bak kotor. Lalu merendam sebentar baju-baju tersebut didalam mesin cuci.
Selanjutnya Caramel membuka gudang yang letaknya berada di samping dapur, gudang disini lebih mirip dengan lorong panjang yang membentang sepanjang dapur sampai depan rumah. Singkatnya, gudang ini akan timbul di bagian depan, namun sebelah kanan. Setiap malam dan pagi Caramel selalu mengeluar masukkan motor dari pintu gudang depan.
Caramel meraih sapu pink yang dua minggu terakhir ini selalu ia genggam dikala lantai rumah ini kotor. Mulai menyapu sebersih mungkin. Setelah itu ia memutar tombol mesin cuci hingga baju-baju yang ada didalamnya berputar kekanan dan kekiri.
Sembari menunggu tombol mesin cuci kembali pada bacaan off Caramel mulai meraih gagang kain pel. Menggosokkan kain tersebut ke permukaan lantai.
cklek!
Pintu kamar barisan ketiga terbuka. Menampilkan Ira dengan wajah kantuknya.
Reflek Caramel menegur Ira saat ia jalan terburu-buru. Sepertinya ingin buang air kecil. "Ira, awas kepeleset lantainya basah."
Menyadari lantai yang kini dipijaknya basah, Ira melirik Caramel sinis. "Makanya kalo beresan itu dari subuh!"
Kurang subuh bagai mana, coba?!! Sialan. Tau begitu tidak usah Caramel tegur saja agar sekalian terpeleset beneran.
Jam menunjukkan pukul 05.19 saat Caramel selesai mengepel.
Setelah membilas pakaian yang sedang dicuci dan memasukkannya ke mesin pengering, Caramel mengambil panci besar yang tergantung, mengisinya hingga penuh dan merebusnya.
Caramel memisahkan antara tulang-tulang ayam yang berserakan diantara piring-piring kotor dengan piring kotornya, sebelum akhirnya ia mencuci setumpukan piring dan para sahabatnya itu. Hah. Banyak sekali. Pagi-pagi begini Caramel sudah banjir keringat, ingin segera mandi namun...
"MBAK AMEL! MAU SUSU!"
"AKU JUGA!"
Caramel belum bisa mandi bila belum memandikan Janne dan Ries.
Caramel mencuci tangannya yang penuh busa. Cepat-cepat ia menuangkan susu bubuk kedalam dot, telat sedikit bocah-bocah itu tak akan segan memaki Caramel.
Dalam perjalanan singkatnya mengantarkan dua botol dot berisi susu hangat, Caramel berpapasan dengan bu Riska yang sepertinya baru bangun tidur.
Tidak terasa, kini waktu menunjukkan pukul 06.12 Dan ini adalah waktu tersulit bagi Caramel, sebab setiap pagi, selalu ada drama yang membuat Caramel dongkol setengah mati. Yaitu memandikan dan menyuapi Janne dan Ries.
Seperti saat ini...
"Janne, mandi yuk..." bujuk Caramel lembut, entah sudah yang keberapa kalinya.
"NGGAK MAU LOH! DINGIN!" bentak Janne sembari memegang rangkaian legonya.
Mengehela nafas, kini Caramel beralih pada Ries yang sedang menonton.
"Ih anak ganteng, nonton apa?"
"Upin ipin!" ketus Ries. Seperti sudah faham bahwa ia akan dibujuk mandi.
"Eh sponsor tuh, mandi bentar yuk, nanti nonton lagi."
"Mbak ini budek ya? Ngajakin mandi terus udah dibilang nggak mau ya nggak mau!"
Cuih!
Diludahi. Sudah menjadi makanan sehari-hari selama Caramel disini. Bu Riska sempat menegur Ries, namun sepertinya hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri bagi anak balita.
Lelah. Pagi-pagi Caramel sudah merasa sangat lelah, baginya, berberes rumah bukanlah hal yang sulit. Namun untuk mengurus dua balita itu, sepertinya Caramel selalu kalah.
Caramel panas, ingin segera mandi, badannya dipenuhi oleh keringat, ia juga harus pergi kesekolah. Namun seolah orang di rumah ini tidak mau perduli sama sekali pada kesulitannya.
"Siapa yang mau gambar pesawat?"
Seketika Ries menatap Caramel penuh binar sembari mengacungkan jari telunjuknya. "Aku mau, Mbak!"
"Kalo gitu mandi dulu dong, nanti mbak gambarin yang bagus banget!"
"Oke!" Ries langsung berlari kekamar mandi diiringi oleh Caramel.
BYUR!
Ries menyiramkan segayung air ke muka Caramel.
Sialan.
"Airnya kepanasan, Mbak!"
Inilah drama yang Caramel maksud. Selalu ada hal yang membuatnya ingin menangis. Caramel mengusap area wajahnya pelan. Rasanya... Kesal sekali. Caramel kesal, namun tak ada yang perduli. Hhh, memang siapa yang akan perduli pada dirinya yang bukan siapa-siapa dirumah ini? Kini tangan Caramel kembali naik, mengusap air matanya yang sejak tadi ia tahan.
Sabar, Mel.
TBC.
Umur kalian berpa si, ges? Kepo aku tuh...
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Teen FictionOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...