[Masih menggunakan pov 1 : sudut pandang orang pertama]
Menggigil. Sesekali tubuhku bergetar kecil kala rasa dingin tak lagi tertahan, padahal tubuhku sudah dibaluti tiga lapis selimut.
Berat nyeri kugerakkan kepalaku, menghadap pada kedua gadisku yang masing-masing tidur pada sisiku yang berbeda.
Damai wajah keduanya. Tak ada lagi murka saat kutatap wajah damai Caramel, aku harus sadar bahwa apa yang aku perbuat itu yang akan tertuai. Tragedi beberapa jam yang lalu contoh kecil yang nyata atas segala yang aku suapi pada Caramel selama ini. Sebelumnya, ia tak pernah seperti monster. Tapi tadi, begitu mengerikan. Lalu aku berfikir, bagaimana dengan aku yang hampir setiap hari seperti itu?
"Maafin Bunda, sayang..." Apa lagi yang bisa aku ucapkan selain itu?
Aku usap peluh yang membasahi dahinya. Tangan lemahnya melingkar pada perutku. Sedikit sembab matanya pun dengan bulu matanya yang bergerak-gerak. Tak lama, air mata menetes dari sudut matanya.
"Nggak apa-apa..." kataku sambil terus mengelus dahinya yang sudah tak berpeluh.
Semakin terbenam wajahnya di sela-sela selimut yang menutupi tubuhku. Anakku terisak, lagi-lagi karena diriku. Padahal, karena sudah terlanjur mencintai ayah serta anaknya, maka dulu aku sampai bersikeras. Nyatanya, persiapanku gagal.
Kala itu, aku berandai-andai akan menunjukkan dunia pada Caramel dengan penuh cinta. Tapi, ternyata justru Caramel yang menunjukkan padaku apa itu dunia, dan bagaimana cinta yang sesungguhnya.
"Bunda nggak apa-apa kok, jangan nangis. Maafin Bunda, ya?"
Mungkin terlalu banyak aku toreh luka dalam hidupnya, hingga, hanya dengan mendengar suaraku pun dia terisak hebat. Ia cekam erat-erat selimut sembari meredam isakannya.
"A—amel yang salah, maafin Amel udah nyekik Bunda. Amel nggak pernah benci Bunda..." Ia menyahuti. Masih dengan posisi membenamkan wajah pada selimut.
Aku mengangguk.
Lama ia terisak, pun dengan diriku yang hanya mampu terdiam sembari merenungi pondasi keluarga kami yang ternyata rapuh. Nyaris rubuh.
Bangun Caramel dari posisi berbaringnya. Masih basah area matanya, namun aku lihat, ia tak lagi menangis. Bergerak tangannya mengecek suhu pada dahiku.
"Badan Bunda panas." Ia memberi tahuku bak dokter yang mengecek pasien. Lalu berjalan keluar kamar.
Setiap hari, selalu ada penyesalan dalam diriku. Entah karena memarahinya, mengabaikannya, atau menampilkan raut tak bersahabatku padanya. Lalu malamnya ku dengar ia menangis. Ku gali apa yang membuatku marah, ternyata keegoisanku sendiri.
Kadang kala ia menatapku seperti orang asing, pernah juga seperti teman seangkatan yang akan membuli dirinya. Ternyata, keegoisanku yang membuatku begitu mengerikan di matanya.
Ternyata, aku berubah menjadi wanita yang kasar serta arogan. Hingga seolah melalui sorot mata dapat ku bunuh siapapun yang menatapku. Padahal, sungguh, aku hanya ingin berbagi dukaku padanya.
Ingin ku katakan, aku sendirian. Aku hidup dalam sepi. Aku diabaikan. Alih-alih membuat Caramel mengerti atas yang ku rasa, aku justru menyiksanya kala aku rasa penyebab semua ini adalah dirinya.
Caramel datang, sebaskom kecil berisi air hangat serta sebuah kain yang terendam di dalamnya kini ia letakkan di meja. Ia peras kain itu, lalu ia lipat hingga kira-kira pas di dahi.
Lihat, meski gadis itu telah menerima ribuan luka, hatinya justru semakin melembut. Seperti anak yang selalu disiram kasih sayang.
Bagaimana aku semakin tak ingin marah? Seharusnya ia melawan, seharusnya ia mencekikku lebih awal agar segera putus nafasku, atau paling tidak, aku bisa lebih introspeksi diri seperti sekarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Teen FictionOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...