Bab 8. Tiang listrik

665 64 0
                                    

Ara kini telah sampai di kediaman Steal, ketika memasuki mension itu, suara Aska menghentikan langkahnya.

"Dari mana lu? Ngjalang?" Ara tidak memperdulikan Aska, sedangkan Aska sudah menahan amarahnya, karena di cuekin.

"Woy, gue lagi nanya, setan!" Ara memutar bola matanya jengah, ia berbalik menatap Azka.

"Lo, lagi nanya sama gue." Tunjuk Ara pada dirinya sendiri.

"Gak, sama setan."

"Gue lagi nanya sama lu, Aradhera!" teriak Aska saat Ara pergi karena Ara menganggap benar bahwa Aska sedang bertanya pada setan.

Aska benar-benar jengkel pada Ara, tujuan Aska ingin membuat Ara menangis tapi nyatanya dia sendiri yang dibuat kesal.

Seharian Ini Ara berada di kamar miliknya, namun karena lapar Ara pun pergi ke dapur. Setibanya di dapur, ia mendapati mereka sedang menikmati makanan mereka.

Tapi itu tidak mengurungkan niatnya untuk bergabung bersama mereka. Ara duduk dengan tenang, ia mengambil nasi serta lauk pauk, ia melahap makanannya tanpa ada rasa canggung dan takut.

Mereka menatap heran pada Ara, biasanya saat makan malam seperti ini, dengan semua anggota keluarga yang lengkap di meja makan, apalagi jika di meja makan ada ayahnya. Itu akan membuatnya menjadi minder, ia akan membawa makanannya ke dapur dan melakukan aktivitas makannya di dapur.

Ara yang merasa diperhatikan, langsung menoleh pada mereka.

"Apa? Apa ada yang salah?" Mereka menatap gemas pada Ara, karena ia berbicara dengan mulut yang masih penuh. Namun, tidak dengan. Shiera, ia semakin iri pada Ara.

"Anak siapa nih? imut banget." Asky membatin.

'Gemes deh, pengen di karungin,' batin Aska.

'Imut,' batin Angkasa.

Dengan refleks Veli mencubit pipi Ara saking gemes pada Ara. Semua mengalihkan pandangan mereka, pada Veli. Veli yang ditatap seperti itu dengan segera melepaskan cubitannya.

Ara tersenyum smirk, ternyata mereka tidak sebenci itu pada Ara. Mereka sangat menyayangi Ara namun tidak mereka tunjukan karena gengsi.

Mereka kembali melahap makanan mereka, kali ini situasi yang canggung di rasakan sendiri oleh Veli. Sehingga ia menyudahi makan malamnya dan bergegas menuju kamar. Sedangkan yang lainnya masih setia dengan makanan mereka masing-masing.

***

Saat ini adalah saat yang ditunggu oleh para pekerja keras, apalagi kalau bukan pagi hari, namun itu merupakan saat melelahkan bagi para kaum rebahan. Seperti sekarang, matahari sudah menyinari wajah Ara, namun Ara yang kelakuannya bak kebo tidak memperdulikan gangguan sang surya, justru ia semakin mempererat selimutnya.

Kring!
Kring!

Prang!

Jam beker yang tadi bernyanyi merdu untuk membangunkan tuannya, kini harus diam selamanya, karena di lempar oleh Ara.

"Ganggu ajha lo!" Ara bangkit dari tidurnya.

Matanya melotot, pukul 07.30? Dia sudah terlambat, dengan secepat super boy, ia bersiap-siap ke sekolah.

Tap!
Tap!
Tap!

Ara berlari menurunin tangga.

"Anak gadis, kok tidur kek kebo," sindir Veli.
Ara tidak menanggapi sindiran mommynya, ia tidak berlari menuju pintu utama tetapi menuju mommynya.

Cup!

"Pagi, Mom!" teriak Ara sambil berlari keluar.

Sedangkan Veli mematung ditempat karena mendapat kecupan mendadak dari Ara. Air mata luruh begitu saja, Veli sangat merindukan kecupan yang terakhir kali didapatkan olehnya 7 tahun yang lalu.

Ia merasa bersalah pada putrinya itu, karena berperilaku tidak adil. Ia akan berusaha memperbaiki semuanya.

***

Setibanya di sekolah Ara langsung melempar sembarangan sepedanya.

"Selamat Morning!" teriak Ara, namun tak ditanggapi oleh siswa yang lain, dan itu membuat Ara kesal.

"Woy, gue lagi sapa nih!"

"Owh, lo lagi sapa kita?" Salsa bertanya.

"Menurut, lo?"

"Gak."

"Anak monyet lo." Ara berjalan menuju kursinya.

"Araaa!" teriak Vanya, sambil memeluk Ara.

"Apa sih?"

"Lo, kaya Tarzan tau gak, teriak-teriak," Sergah Keren, tapi di acuhkan oleh Vanya.

"Lo tau g--"

"Gak tau," ketus Ara.

"Gue belum habis ngomong tuyul."

"Okay, silakan." Ara memperhatikan Vanya yang akan mengatakan sesuatu.

"Tadi gue ketem--" Bianca dengan cepat memotong ucapan Vanya.

"Jangan bilang lo baru ketemu sama pria khayalan lo itu."

"Udha gue bilang yah, dia itu bukan khayalan, gue baru ketemu sama dia, dan lo tau Ra, di tampan banget. Mungkin siswa baru." Ara menatap malas pada Vanya.

"Terus?"

"Lah, kita gas ajah, sebelum ada yang ambil."

"Udah yah, gue ke sekolah niatnya buat cari ilmu bukan cari pacar." Ara berdiri sambil memainkan rambut Vanya.

Bianca, Salsa, Keren dan Vanya tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Ara. Sedangkan Ara menampilkan wajah datarnya.

"Bentar deh, kayanya lo butuh suntikan obat rabies, atau lo butuh perbaikan saraf di otak lo?" Kepala Salsa di gampar oleh Ara.

"Diam and duduk, bentar lagi gurunya masuk." Ara mendudukan kembali bokongnya.

"Waduh, lupa lagi gue, belum kerjain tugas, gimana dong?" Vanya gelagapan, karena ia belum mengerjakan tugas matematika.

"Nih!" Karena peka dengan kelakuan Vanya, Keren langsung memberikan kepada Vanya contekan.

"Makasih, emang lo itu bestie ter the best dari yang ter the best dan gak ada yang ter the best kayak lo." Keren dan lainnya menatap malas pada Vanya.

"Giliran dibantu, baru dipuji." Vanya hanya cengengesan, ia pun mulai menyalin tugas milik Keren.

Selang beberapa menit seorang guru wanita masuk dengan kacamata yang bertengger dihidungnya, namanya adalah Ibu Anggrek Liha, nama yang unik bukan?

Ibu Anggrek menyuruh semua siswa untuk mengumpulkan tugas mereka. Semua siswa satu persatu maju dan mengumpulkan tugas mereka.

Saatnya giliran Ara, Ara maju dan memberikan buku tugasnya pada Ibu Anggrek. Ibu Anggrek menurunkan sedikit kacamatanya, matanya sedikit menyempit, setelah itu ia mengangguk-ngagguk.

Pelajaran pun dimulai.

***

"Bulan berganti malam, matahari berganti siang, bera--" nyanyian konyol Ara berhenti saat ia melihat pohon apel itu lagi.

Ia menggeleng kepalanya, tujuannya dari toilet ke kelas bukan pohon apel. Tadi Ara meminta izin untuk ke toilet. Ara berbalik dan

"Aws! kok ada tiang listrik sih disini?" Ara mengusap-usap keningnya, ia mengangkat wajahnya dan netra hitam pekat bertemu dengan dengan netra biru yang indah. Ara terpesona dengan pria yang dianggap tiang listrik tadi, namun ia menepisnya.

"Eh, bambam, lo cowok ngapain di lorong toilet cewek? pake berdiri segala lagi dibelakang gue, nih kening gue memar," alay Ara.

Tidak ada tanggapan, Ara kembali menegakkan badannya. "Lo bisu?" polos Ara "tampan sih, tapi kok bisu?" lanjutnya.

"Bisa- bisanya, lo nyuekin bidadari sekolah ini." Ara mulai kesal karena ucapannya tak ditanggapi sama sekali oleh pria ini.

Pria itu masih setia menatap Ara tanpa berbicara, wajahnya datar kek dinding, udah putih, sifatnya juga ikut diputihin alias dingin.
Ara yang merasa tidak dianggap langsung saja berlenggang pergi.

'Unik.' Pria itu tersenyum smirk.

Transmigrasi Viloona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang