Bab 30

502 46 0
                                    

***
Karena haus, Ara berhenti di depan sebuah mini market untuk membeli minuman. Saat ingin membayar minumannya, ia berpapasan dengan seorang gadis cilik yang sangat imut dan lucu, pipi yang merah dan lembut seperti mochi. Umurnya  sekitar 3 atau 4 tahun, karena tertarik Ara mengurungkan niatnya sebentar untuk ke kasir.

"Hallo, Cil." Gadis cilik itu menatap Ara. Sungguh tatapan polosnya sangat menggemaskan, ingin sekali Ara memasukkannya ke dalam karung dan membawanya pulang.

"Nama aku Ara, kamu?" Ara tersenyum manis pada gadis cilik itu.

"Antik." Ara mengerutkan keningnya karena tidak mengerti dengan ucapan gadis cilik itu, tetapi kemudian Ara mengerti bahwa mungkin namanya adalah Antik.

"Oh nama kamu, Antik?" Gadis cilik itu menggeleng.

"Terus nama kamu siapa?"

"Aya."

"Owh nama kamu, Aya?" Gadis itu menggeleng dan membuat Ara kembali bingung, bukankah tadi dia mengatakannya?

"Aya."

"Iya kan, Aya?"

"No."

"Lah trus? tadi kan kamu sendiri yang bilang, Cil. Nama kamu itu Aya."

"No, Aya!" Ara menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena tidak mengerti dengan ucapan gadis kecil yang berada di hadapannya ini.

"Hehehe, namanya, Kayla." Seorang wanita datang dengan tawaannya, sepertinya itu adalah ibu dari gadis kecil ini. Ara menengadah kemudian berdiri, karena sedari tadi Ara berjongkok untuk menyetarakan tingginya dengan gadis cilik itu.

"Nyonya, Ibunya?" Wanita itu mengangguk. "Dan Tuan, Ayahnya?" Tanya Ara kepada pria yang baru saja datang menghampiri wanita dan gadis cilik itu. Pria itu mengangguk.

"Nama anak saya, Kayla."

"Tapi, katanya, Aya."

Ibu gadis kecil itu tertawa. "Biasanya kalau ada yang nanya, jawabnya Aya, gitu." Ara mengangguk paham. "Ya udah kita gak bisa lama ya, Dek." Wanita itu berpamitan pada Ara.

"Yak, kok mau pergi, padahal mau ngomong sama, Kayla." Pasangan suami itu gemes dengan wajah Ara yang terlihat seperti bayi jika sedih seperti.

"Iya, Dek. Soalnya mau keluar kota juga, jadi gak bisa lama, entar ketinggalan keretanya." Ara pasrah dan mengizinkan gadis kecil itu pergi dengan orang tuanya. Ara mengembuskan napasnya kasar dan membayar belanjaannya. Dalam perjalanan pulang, Ara masih memikirkan gadis cilik itu, sungguh menggemaskan. Hingga membuat seorang Ara, tertarik.

"Ha'ah, gue ke rumah ajah." Ara memutar balik arah perjalanannya, yang tadinya ke kediaman Steal menjadi ke kediaman Swith. Beberapa menit menempuh perjalanan Ara tiba di kediaman Swith. Ara memakirkan motornya dan berlalu masuk ke rumah.
Setibanya di dalam rumah, Ara melihat Aldi dan Ardi yang sedang menonton diruang keluarga. "Hua! Kak Aldi, Kak Ardi!" Ara berlari dan menangis.

Aldi dan Ardi terkejut dengan kedatangan Ara yang tiba-tiba sambil menangis. "Siapa yang udah buat lo nangis?" Ardi terlihat khawatir, Ara menggeleng. "Terus?" Ara berhenti menangis dan menatap ke dua kakaknya itu.

"Ara, tadi ketemu sama satu bocah yang imut banget. Tapi ..., orang tuanya datang dan bawa dia pergi, padahal Ara belum habis ngomong sama dia, hiks!" Two A menjadi lega karena pikir mereka mungkin ada yang jahatin Ara.

"Hahahaha." Ara berhenti menangis saat Ardi menertawakannya. "Terus Kakak mau ngapain?" ucap Ardi di sela-sela tawanya. Ara memikirkan sesuatu.

"Ara mau bocil itu, sekarang!" tegas Ara.

"Princess, itu anak orang, gak mungkin kita ambil." Aldi berusaha berbicara dengan sabar dan lembut pada Ara, tetapi Ara tidak peduli, dia bersih keras untuk bisa mendapatkan keinginannya itu. Two A tidak bisa berbuat apa-apa, karena masalahnya itu adalah anak orang, yang ada mereka akan dipenjarakan karena menculik anak orang.

"Gak bisa Ara!" sahut Two A bersamaan.

"Cie, kompak ..., berarti jodoh." Ardi memukul kening Ara dengan pelan. "Okay, kalau begitu sekarang juga! Two A harus punya Anak." Two A saling pandang dan terkekeh.

"Ara, umur Kak Ardi masih 21 tahun, jadi belum bisa ' kan punya anak?" Ara sejenak berpikir dan kemudian mengangguk. Aldi menatap tajam Ardi yang mengatakan itu, yang ada dia yang akan di paksa oleh Ara.

"Hmm, benar ..., umur Kak Ardi kayaknya belum cukup, karena masih kuliah juga. Tapi Kak Aldi udah bisa." Aldi gelagapan.

"Princess, Kak Aldi belum bisa punya Anak. Kak Aldi masih urusin urusan perusahaan dan Kak Aldi belum punya pasangan."

"Emang kalau mau punya anak, harus punya pasangan dulu?" Two A mengangguk cepat. Sepertinya kepolosan Ara sedang kambuh, pikir mereka. " Terus kegunaan pasangan buat apa? ' kan kita yang mau punya anak?"

Two A menepuk dahi mereka. "Kegunaan pasangan?" tanya Aldi kembali dan di balas anggukan oleh Ara. "Keg-- mmph." Aldi membengkap mulut Ardi dengan tangannya, karena dia tahu Ardi pasti akan mengatakan hal-hal yang dapat merusak kepolosan Ara.

"Yak, Kak Aldi kok ditutup sih mulut Kak Ardi, Ara mau dengar." Aldi masih tetap membengkap mulut Ardi, Ardi terus memukul tangannya, tetapi tak di pedulikan.

"Kak Ardi lanjut ucapannya, Kak Aldi lepasin gak? kalau Kak Aldi gak lepas, Ara bakal nangis," ancam Ara. Aldi melepaskan tangannya dari mulut Ardi karena mata Ara yang sudah berkaca-kaca. "Ayo lanjut!"

"Gini Ara, kegunaan pasangan itu buat membantu menghasilkan anak, Kak Aldi gak bisa ngehasilin anak sendiri, harus ada seorang istri. Tugas Kak Aldi hamilin dan tugas istri Kak Aldi nanti itu, hamil. Udah paham?" Aldi pasrah dengan kelakuan adiknya yang satu ini, tidak pernah filter omongannya, Aldi menghilangkan rasa stressnya dengan meneguk air putih. Ara mengangguk seakan-akan dia mengerti dengan apa yang di katakan Ardi.

"Ya udah, karena Kak Aldi belum punya pasangan ..., hamilin Ara ajah!" polos Ara

Uhuk!

Aldi tersedak minuman yang ia minum sedangkan mata Ardi terbuka lebar, selebar-lebarnya. Sungguh, jika polosnya Ara kambuh maka orang yang disekitarnya akan seperti orang bodoh, karena tidak bisa menjawab ucapan-ucapannya, yang dapat digolongkan ucapan terkonyol.

"Ara, kamu itu adiknya, Kakak, gak mungkinlah. Entar kalau udah pas umurnya, terus udah nikah, baru deh, Ara dihamilin sama suaminya Ara.." Aldi mengertak-gertakan giginya saat berbicara karena ia kesal dengan Ardi yang mengatakan itu hingga membuat pembicaraan menjadi sejauh ini. "Sudahlah, lupakan tentang anak, menikah dan semacamnya!" Aldi pergi meninggalkan ruang nonton.

Ara menjadi cemberut, sebagai Kakak yang baik hati, Ardi menjelaskan semuanya pada Ara. Karena dia takut, Ara akan terjerumus ke hal yang salah. "Gini Ara, biar Kak Ardi lurusin pikiran kamu. Ara boleh hamil, tapi nanti tunggu Ara udah lulus sekolah, dapet kerja, udah puas bujangnya baru deh nikah tapi, nikahnya sama orang yang Ara cintai. Setelah nikah, Ara bisa hamil, dan hamilnya harus sama suami Ara. Gak bisa sama laki-laki lain, walaupun itu Kak Aldi atau Kak Ardi." Ara mengangguk pasrah.

"Jadi, Ara belum bisa dapet anak, seperti bocil yang imut itu?" Ardi mengangguk, Ara mengembuskan napasnya pelan dan berlalu kembali ke kediaman Steal.
Setelah Ara pergi, Arsi tertawa sekencang-kencangnya karena ia mengingat wajah kesal dan geramnya Aldi.

***

Ara kini sedang bercermin sambil mengerikan rambutnya. Ya, Ara barus saja tiba di kediaman Steal, namun karena gerah Ara memutuskan untuk membersihkan dirinya.
Ara yang sedang asik mengeringkan rambut, terkejut dengan seseorang yang tiba-tiba muncul dibelakangnya, entahlah orang itu masuk dari mana.

"Kamu masuk lewat mana?" Orang itu tak menjawab, ia berjalan menghampiri Ara. Dengan mata elangnya, ia menatap Ara. Ara yang ditatap seperti itu, menjadi gugup.

Transmigrasi Viloona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang