Bab 10. Seribu

641 57 0
                                    

Dan itu tidak luput dari pandangan para sahabat mereka, anggota inti Arvos dan siswa lainnya yang berada di kantin. Angkasa, Aska, dan Asky dalam hati mereka bahagia, karena bisa melihat momen langkah seperti ini. Mereka yakin Ara benar-benar sudah berubah.
Walaupun aksi yang dilakukan Ara hanya pura-pura, namun aktingnya dapat membuat orang yang melihatnya percaya.

"Itu benaran Ara, Ara bestie kita 'kan?" Vanya mengucek-ngucek matanya.
Yang lain tidak menanggapi pertanyaan Vanya mereka masih fokus dengan adegan didepan mereka ini.

"Ska, akhirnya, itu dua bocah bisa rukun." Aska menatap sekilas pada Maxime dan tersenyum kecil. Ara masih memeluk Shiera, sedangkan Shiera sudah mencaci maki Ara karena terlalu lama memeluknya.

"Ini mau lo kan? tenang gue ikutin," bisik Ara dengan senyum devilnya.

"Lepasin, anjng! gue jijik," geram Shiera.
Ara melepaskan pelukannya, ia dengan sengaja memukul-mukul pelan lengan Shiera disertai cubitan kecil.

"Jangan nangis lagi ya ...." Shiera meringis pelan, sungguh iblis si Ara.

"Ya, udah, gih lanjut makan." Ara kembali ke tempatnya, Shiera langsung duduk kembali, sungguh Shiera sangat kesal, Ara sekarang memang tidak bisa diremehkan.

Setelah kejadian itu mood Shiera menjadi buruk. "Shi, lo kenapa? dari tadi kita perhatiin, lo kaya kesal gitu?"

"Gimana gak kesal coba! si Ara berani- beraninya dia meluk gue."

"Mungkin, dia udah nyerah, jadi mau baikan sama lo." Dyana mencoba untuk berpikir positif.

"Gak, gak segampang itu dia nyerah! dia tadi cuma pura-pura supaya dia gak dimarahi sama Aska." Para sahabat Shiera hanya menyimak apa yang dikatakan oleh Shiera.

"Terima kasih padamu chikguk, jasamu akan kukenang s'lalu, tak pernah lelah tunjuk ajarku, terima kasihku kepadamu chikguk." Ara bernyanyi-nyanyi sambil melompat-lompat di koridor sekolah.

"Garing suara lo, Ra," sarkas Keren.

"Dih, suara bagus kaya gini lo bilang garing? mata lo perlu diperbaiki."

"Otak lo yang perlu di perbaiki, masa iya perbaiki mata, kita itu dengar suara lo itu pakai telinga, jadi yang diperbaiki itu telinga bukan mata." tutur Vanya.

"Bodoh," acuh Ara.

"Emangnya otak lo itu lagi depresot, pe--" Ara merentangkan tangannya sehingga membuat sahabatnya berhenti dan ucapan Salsa juga ikut berhenti.

"Apaan sih, Ra?" tanya Bianca.

Ara tidak membalas komentar Bianca, ia malahan berlari menuju koridor depan. Sahabat-sahabatnya hanya melihatnya yang berjongkok dan mengambil sesuatu kemudian ia berlari kembali pada mereka, tak lupa dengan nafasnya yang terengah-engah saat berlari tadi.

"Apaan tuh, Ra?" tanya Vanya saat melihat Ara yang menyembunyikan sesuatu di tangannya.

"Tadaa! rezeki anak baik." Ara menunjukan sesuatu pada Sahabat-sahabatnya.

Bianca, Keren, Vanya, dan Salsa menjatuhkan rahang mereka, mulut mereka terbuka menampilkan kekejutan. Salsa mengambilnya dan membolak-baliknya.
"Demi ini, lo lari-larian ke sana?" Ara hanya mengangguk dan mengambilnya kembali dari tangan Salsa.

"Ara, demi apa? lo itu anak sultan, seribu rupiah doang, sampai lo harus lari-lari ke ujung koridor?"

"Gak boleh buang-buang rezeki bestie." Ara memasukkan uang seribu tersebut ke dalam saku kemejanya.

Apa ini? Ara yang kayanya udah sampai bisa merayap, harus berlari-lari buat cuma mengambil uang seribu rupiah doang? sungguh membangongkan. Para sahabatnya hanya pasrah dengan kelakuan Ara, mereka sepertinya mulai menerima kegesrekan otak Ara.

Berahli dari Ara dan sahabat-sahabatnya, kini Kenzi dan Victor sedang mencari keberadaan gadis mungil itu. Ara, mereka sedang mencari Ara. Namun sedari tadi mereka belum menemukan keberadaannya. Viktor menatap sekeliling, dan pandangannya berhenti saat melihat target yang sedang mereka cari. Victor memukul pelan pundak Kenzi.

"Hm?" gumam Kenzi tanpa memlihat Victor. Viktor kembali memukul pundaknya

"Apa sih? lagi nyari nih gue." Kenzi masih masih celingak-celinguk mencari Ara. Victor yang mulai kesal, memukul kuat pundak Kenzi.

"Awh, sakit nyet!" Kenzi mengusap pundaknya.

"Lebay," ketus Victor.

"Napa lo mukul-mukul gue?"

"Tu!" tunjuk Viktor menggunakan dagunya.

"Aelah, nih bocil di cariin dari tadi, ternyata disini." Kenzi ingin menghampiri Ara dan bestie-bestienya, namun di cegah oleh Victor.

"Mau ngapain?"

"Mau ngedance, ya mau nyamperin lah."

"Noh, lo liat dia sama bestai-bestainya, mau di kroyok lu?" Kenzi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Terus gimana?" tanya Kenzi.

"Kita ngikutin ajah!" Victor berjalan mendahului Kenzi. Mereka mengikuti Ara dkk.

"Guys, gue ke perpustakaan dulu ya?" izin Ara.

"Mau ngapai?"

"Mau mandi, bye." Ara berjalan menuju perpustakaan, koridor sekolah kini sudah sepi, karena jam pelajaran sudah dimulai. Ketika sedang asik berjalan tiba-tiba dari belakang muncul seorang pria, ia membengkap mulut Ara, Ara ingin menahan nafas tetapi, waktunya tidak tepat, ia terlanjut menghirup obat bius.

"Kenapa dia pingsan?"

"Ya gue kasih obat biuslah."

"Ckckck, gila lo!" Dua pria itupun membawa Ara menuju sebuah ruangan yang lokasinya masih berada di sekolah itu. Beberapa menit kemudian, Ara tersadar dari pingsannya, ia menatap di sekelilingnya.

"Udah sadar?" pria yang memiliki rambut bak opah-opah korea muncul, entah dari mana, diikuti oleh beberapa pria lain. Ara memutar bola matanya malas, dia pikir dia diculik oleh siapa? ternyata lima pria ini.

"Kalian nyulik gue?" tanya Ara, ambigu.

"Gak," ketus Devin. Ya, yang menculik Ara tadi adalah Kenzi dan Victor dan pelaku lainnya adalah Sean, David dan Devin.

"Lah, terus apa dong?" Mereka berlima ingin menendang Ara ke sungai Amazon, karena pertanyaan konyolnya.

"Lah, iyalah Ara, lo itu di culik," sahut Kenzi.

"Owh, tapi kok kalian gak minta izin sama Daddy and Mommynya gue?" polos Ara.
Mereka berlima menghirup udara sebanyak mungkin dan menghembuskannya untuk menghilangkan rasa kesal terhadap Ara.

"Ara, namanya orang nyulik itu gak pernah minta izin, nanti minta izin entar kalau lo dicekik, ditendang, dibunuh," gemas Sean dengan menekan setiap kata. Ara hanya berohiya. Takut mereka kelepasan dan mungkin akan mencekik Ara karena gemas plus kesal, mereka memutuskan untuk meninggalkan Ara begitu.

"Woy! jangan tinggalin gue, gue gak takut gelap," teriaknya. "Eh kok gue jadi ambigu sih?" Monolognya. Dasar yah si Ara, ruangannya terang ke gitu, mewah lagi, masih ajah singgung si gelap, hadeh! Ara yang merasa bosan, karena sedari tadi tidak ada seorang pun yang datang membisuknya.

Dengan tangan yang diikat, Ara tidak dapat berbuat apa-apa, Ara hanya menatap ke bawah, kakinya digunakan untuk menggesek-gesek keramik. Tidak lama kemudian pintu terbuka menampilkan pria berbadan tegak dan tampan, ia berjalan memasuki ruangan itu, Ara melihat ke arah pintu utama.

Matanya membola sempurna, pria itu?

"Lo?"

Transmigrasi Viloona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang