"Sebuah goresan mungkin perlahan bisa menghilang, namun tidak dengan luka dan rasa sakitnya."---------
Aluna sedang merapikan barang-barang yang berserakan di atas meja. Mulai dari buku, alat tulis, serta lembaran kertas yang ia gunakan untuk menghitung berserakan di mana-mana. Dia harus segera pulang karena malam semakin larut. Ditambah dengan perdebatan dua orang di depannya belum juga terhenti, membuat Aluna geleng-geleng kepala.
Dia menyela ditengah perdebatan antara Jessica dan Bima untuk sekedar berpamitan. Bima sempat memaksa untuk mengantarnya pulang, tetapi dengan seribu alasan Aluna menolak dan segera pergi sebelum Bima memaksanya lagi.
Kini Aluna tengah berajalan sendirian. Langkahnya sudah semakin jauh dari rumah Jessica. Malam ini jalanan sangatlah sepi. Selain karena memang sudah hampir larut malam, jalanan yang dilewati oleh Aluna merupakan jalanan kecil yang berada dalam gang pinggiran kota. Sebuah gang yang gelap dan terdapat sebuah lorong di depan sana. Hanya ada satu penerangan dengan cahaya remang-remang.
Jalan ini merupakan rute tercepat dari rumah Jessica ke rumah Aluna. Dia tidak melewati jalan raya karena jaraknya lebih jauh. Dia tidak mungkin memesan ojek online. Dia takut. Trauma bersentuhan fisik dengan laki-laki masih terus menghantuinya. Mencari taksi jam segini, di tempat seperti ini? Bisa dipastikan sampai pagi pun Aluna tidak akan menemukannya.
Dia mengecek jam pada layar ponselnya. Sudah hampir pukul sebelas malam dan Aluna masih menempuh setengah perjalanan. Dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemudian mengeratkan genggamannya pada kedua tali ransel miliknya.
Hawa dingin semakin mencekat. Aluna bisa merasakan embusan angin malam yang menerpa permukaan kulitnya. Sebenarnya Aluna takut, sangat takut. Dia ingin kembali tetapi ini sudah setengah jalan. Jalanan yang berhasil ia lewati tadi juga tidak kalah sepi.
Kini Aluna tengah melewati sebuah lorong yang gelap dan sunyi. Dia terus memantapkan langkah untuk mewati lorong tersebut. Namun, tidak seperti yang ia harapkan. Sebelum memasuki lorong itu, Aluna menoleh ke belakang, dia tidak sengaja melihat seseorang memakai hoodie hitam bersembunyi di balik tiang listrik. Aluna semakin tidak tenang. Dugaannya benar, dia telah diikuti oleh seseorang sejak tadi.
Siapa orang itu? pencopet? perampok? atau...
"Alex?" terka Aluna.
Wajahnya memucat, keringatnya mulai menetes di pelipisnya. Rasa dingin yang sejak tadi ia rasakan hilang seketika.
Aluna menggeleng keras. Dia tidak bisa mengenali seseorang berhoodie hitam itu. Yang terlintas di pikirannya adalah Alex. Dia takut itu Alex.
"Tolong..." Ucap Aluna lirih. Nafasnya berat, dia menangis dan berjalan cepat melewati lorong gelap tersebut. Tidak ada yang dia pikirkan selain pergi dari sini.
Aluna tidak tahu orang tersebut masih mengikutinya atau tidak, karena sekarang di sekelilingnya hanyalah kegelapan. Dia takut, sangat takut.
Aluna mengingat pesan Jessica tadi bahwa ia ada apa-apa ia harus menelponnya. Dengan tangan gemetar Aluna mengeluarkan ponsel. Dia bejalan terburu-buru sembari mencoba menelpon Jessica.
"Ha-lo.."
"Jjes-sica.."
"Halo Al"
"Al kenapa? Kok suara lo gak tenang gini?"
"Tt-tolong Jess, ada orang yang ngikutin gue dari tadi."
"Hah?!"
"Lo sekarang di mana?"
"Jalan deket lorong yang sering kita lewatin, tolongin gue Jess, gue takut!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGGAPAI SAMUDRA [END]
Novela Juvenil"Jangan sentuh gue! radius lima meter!" Ucap Aluna kelabakan. Kakinya semakin melangkah mundur hingga punggungnya bertabrakan dengan pohon. Samudra mengangkat alis sambil menampakkan senyum misterius. "Dasar cewek gila!" Balasnya saat Aluna berlari...