BAB 2 : Jasson

64 24 7
                                    

"Dimana Dia!"

Suara bertanya namun penuh nada tegas serta kemarahan yang tersirat membuat suasana di direktorat Tipidum menjadi hening. Aku tetap berkutat dengan berkas kasus yang baru aku selesaikan, mengabaikan luka tembakan di bahu kiri ku yang bertambah sakit ketika aku menggerakkannya. Aku tidak ingin tahu siapa yang telah membuat ribut di pagi hari, berteriak-teriak kepada tim ku karena aku tahu siapa orangnya.

"Kamu ngerti prosedur penyelanggaraan penyidikan tidak?"

Aku mengangkat kepala ku dan mata ku langsung bertemu dengan manik hitam legam yang menyala-nyala penuh kemarahan yang di tujukan kepada ku. Sama sekali tidak ada rasa takut dalam diriku ketika diberikan tatapan seperti itu karena bukan pertama kali. Aku bangun dari tempatku dan memberikan hormat, lalu menjawab pertanyaan yang di berikan kepada ku. "Siap, Mengerti!"

"Oh, mengerti. Coba tunjukkan surat izin penyidikan untuk kasus pembunuhan berantai gang motor yang baru kamu tangani," Pintah Direktur Tipidum.

Aku terdiam sesaat, mengetahui kesalahan ku. "Siap,! Tidak ada. Saya punya alasan untuk kesalahan ini." Aku berusaha membela diri. Aku tidak bisa menunggu surat izin karena bukti belum terlalu kuat untuk mendapatkan surat perintah penyidikan.

"Insting?" Tanyanya singkat.

"Siap, Iya Pa. Saya yakin dengan insting saya dan selama ini terbukti bahwa insting saya selalu benar." Aku menatap pimpinan di depan ku yang merupakan ayah ku sendiri. Aku tidak melakukan semua sesuka ku karena pimpinan Tipidum sekarang adalah ayahku. Bukan seperti itu, aku hanya tidak ingin hanya karena surat izin penyidikan, nyawa seseorang melayang. Aku tahu ini terdengar seperti sebuah alasan tapi itu adalah fakta.

"Insting tidak bisa menjadi barang bukti. Ini adalah peringatan terakhir kamu. Sekali lagi kamu melakukan penyidikan tanpa mengikuti prosedur, saya akan membiarkan Biro pengawasan penyidik mengetahui ini. Saya akan menyerahkan kamu dan tim mu seutuhnya ke Biro Pengawasan Penyidik." Peringatan itu terdengar serius. Aku menatap anggota tim ku yang menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, lalu beralih menatap punggung pimpinan hingga menghilang di balik pintu. Aku lalu kembali berkutat dengan berkas-berkas yang harus aku selesaikan hari ini dan segera mempidanakan pembunuh berantai yang aku tangkap kemarin.

"Bagaimana ini?" Tanya Riko sahabat sekaligus anggota tim ku.

"Aku akan memikirkannya," Jawabku. Sampai kapanpun tidak ada yang bisa mengehentikan aku. Aku bisa saja mengikuti prosedur tetapi waktu bagiku adalah segalanya. Terlambat sedikit saja, lenyapnya nyawa seseorang bertambah satu.

"Aku percaya insting kamu, tapi kamu harus bersabar sedikit saja. Ini demi karir kamu dan karir anggota tim kita. Setidaknya pikirkan tentang karir anggota tim mu sama seperti kamu memikirkan nyawa seseorang."

Aku tersenyum ke arah Riko yang terlihat bijak memberikan nasehat kepada ku. Tapi bagaimana bisa karir dan nyawa di katakan sama. Itu hal yang sangat berbeda.
"Akan aku pikirkan." Aku kembali berkutat dengan berkas di depan ku. Aku mendengar samar-samar Riko meminta salah satu anggota timku untuk meminta surat izin penyidikan yang seperti biasa keluar setelah kasus telah diselesaikan dengan tanggal yang diatur pada hari dimana aku dan timku mulai melakukan penyidikan.

Aku tahu tindakanku membahayakan tim ku dan juga karir mereka. Tapi, keegoisan ku akan waktu membuat ku sedikit buta dengan hal itu. Apakah aku harus menghentikan kebiasaan ku ini? Apakah aku harus sedikit mengalah dengan waktu? Argh! Aku tidak bisa membiarkan waktu menghilangkan nyawa lagi.

Tiba-tiba saja kepala ku terasa sakit dan sedikit pusing di tambah lagi dengan luka tembak yang semakin nyut-nyutan.
"Riko, aku akan keluar sebentar tolong kamu melanjutkan sisanya."

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang