BAB 29: Tessa

11 6 0
                                    

Setelah semua luka ku diobati oleh Rara, kini kami berahli dari toilet ke tempat tidur. Aku menatap tempat tidurku yang nyaman dan begitu menggodaku. Rasanya seperti sudah lama aku tidak mendapatkan tempat tidur yang nyaman seperti itu, namun tempat tidur model ini telah aku gunakan bertahun-tahun, lalu kenapa aku sangat merindukan tempat tidur ini?

Sekarang hal yang membuatku bingung adalah bagaimana posisi yang benar untuk aku tidur. Jika aku tidur telentang maka akan mengenai luka seret di pinggangku dan luka cambuk di area belakangku. Jika aku tidur telungkup maka akan mengenai luka seret di lututuku. Satu-satunya cara adalah aku harus tidur miring mengorbankan rasa sakit di bahu dan pinggulku.  Aku memperhatikan Rara yang terlihat lelah dan sudah naik di atas tempat tidurnya.

"Ayo. Kamu harus banyak istirahat," pintah Rara sambil menguap kecil.

"Terima kasih," aku melirik tubuhku yang di penuhi perban. Rara membalasnya dengan senyum lalu beranjak dari tidurnya dan membantuku untuk tidur.

Aku menahan sakit ketika lukaku mengenai tempat tidur. Aku tidur miring dengan posisi membelakangi Sarah dan berhadap-hadapan dengan Rara.

"Tahan rasa sakit mu dan cobalah untuk tidur," pintah Sarah menaikan selimut menutupi tubuhku yang hanya mengenakan tank top dan celana pendek. Sebagian tubuhku malah lebih banyak ditutupi oleh perban.

Aku mengangguk lalu mencoba memejamkan mataku menahan rasa sakit dan perih yang aku rasakan.

...

"Beritahukan hal ini kepada profesor sekarang!" Perintah seorang laki-laki berseragam hitam  kepada seorang yang mengenakan seragam yang sama sepertinya.

Setelah orang yang diperintahnya pergi, laki-laki itu membuka pintu jeruji besi yang ditempati oleh seorang perempuan yang tidak asing bagiku. Sarah. Ia, orang itu adalah sarah. Kenapa Sarah berada di dalam jeruji besi?   Aku memperhatikan seorang laki-laki berseragam yang memegang tongkat bisbol di sampingku yang fokus memperhatikan apa yang terjadi didepannya. Aku ikut memperhatikan apa yang terjadi didepanku. Laki-laki berseragam itu mendekati Sarah yang semakin tersudut di sudut ruangan yang sempit itu. Apa yang akan dia lakukan kepada Sarah? Kenapa Ia memegang suntik? Apakah dia akan memasukan cairan biru itu ke tubuh Rara? Aku tidak boleh membiarkan ini terjadi. Tidak! Aku tahu Sarah yang menyebabkan luka di kepala ku, namun ini karena hasil manipulasi Dara dan salah paham diantara kami.

Aku harus menolong Sarah.

Aku memperhatikan laki-laki di sampingku yang terlihat lengah, lalu dengan gerakan cepat aku melepaskan cengkraman tangannya dari bahu ku dan menendang area sensitifnya. Laki-laki itu mengeluh kesakitan memegang area sensitifnya. Tanpa memperdulikannya aku berlari ke arah laki-laki yang saat ini hendak menyuntik Sarah. Aku memberikanya tendangan di area belakangnya namun tendanganku sama sekali tidak memberikannya efek apa pun. Laki-laki itu terlalu kuat untuk tubuhku yang lemah.

Sarah yang melihat apa yang aku lakukan dengan cepat ikut menyerang laki-laki itu namun dengan santai laki-laki itu menghindari tendangan Sarah. Aku melihat  Sarah yang tidak menyerah dan terus berusaha memberikan serangan ke arah laki-laki itu. Melihatnya yang sibuk menghindari tendangan Sarah aku memanfaatkan kesempatan itu dengan menendang tangannya yang memegang jarum suntik. Tendangan ku mengenai sasaran dan jarum suntik itu jatuh menghantam lantai. Tanpa memberikan kesempatan kepada laki-laki itu untuk mengambil jarum suntik itu, aku segera menginjak-injak jarum suntik itu hingga hancur dan cairan biru mengalir keluar.

"Brengsek!" Bentaknya. Laki-laki itu terlihat syok melihat suntik yang telah hancur berkeping-keping dan cairan biru yang mengalir keluar. Pandangannya beralih kepada ku. Tatapannya kejam dan berkobar-kobar seolah-olah dia akan membunuhku. Laki-laki itu menarik kerah blazer ku lalu menampar ku dengan keras.

Tubuhku terdorong menghantam jeruji besi lalu jatuh ke bawah lantai dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi yang cukup kuat. Pipiku terasa perih dan sakit begitu pun dengan lutut dan kedua telapak tanganku yang aku gunakan untuk menopang tubuhku saat jatuh tadi. Aku memperhatikan luka seret dilututku dan di kedua tanganku yang terlihat seperti bekas kelapa di parut. Aku melap cairan yang keluar dari hidungku yang ternyata adalah darah.

"Tessa," lirih Sarah. Sarah yang melangkah mendekati ku di tarik oleh laki-laki itu dan menghantam tubuh Sarah ke arah tembok.

"Sarah," teriakku saat tubuh Sarah jatuh ke bawah lantai dan tidak sadarkan diri.

...

"Sarah!" Teriaku. Aku memperhatikan sekitar ku yang berbeda dari apa yang baru saja terjadi. Apa itu tadi?

"Kamu mimpi buruk?" Tanya Rara yang saat ini sedang memperhatikanku dengan saksama.

"Aku tidak tahu. Mimpinya terlihat begitu nyata seperti pernah terjadi. Mimpi buruk yang sungguh mengerikan," aku menyeka keringat di wajahku dengan tisu yang ada di atas nakas samping tempat tidurku.

"Saat ini aku bisa menarik satu kesimpulan," Rara terlihat berpikir.

"Kesimpulan?" Bingungku.

"Sarah mengalami mimpi buruk, Lexie mengalami mimpi buruk, dan kamu pun mengalami hal yang sama. Maka kesimpulannya adalah semua orang yang pernah masuk ke ruangan pengadilan akan mengalami mimpi buruk yang begitu nyata," jelas Rara.

"Sarah juga mengalami mimpi buruk yang terlihat nyata?"

"Itu yang dikatakannya," jelas Rara.

"Mimpinya terlihat begitu nyata untuk dibilang sebagai sebuah mimpi. Aku rasah itu semua pernah terjadi," kelasku serius.

Mimpi apa yang terlihat begitu nyata dengan gambaran yang begitu jelas? Lalu, kenapa semua orang mengalami mimpi buruk yang sama? Apakah ini efek dari ruang pengadilan? Apa yang mereka masukan ke dalam tubuh kami hingga kami mengalami ini?

"Besok kita harus mencocokkan mimpi kamu dan mimpi Sarah. Jika mimpi kalian sama maka kamu bisa tarik sebuah kesimpulan menarik," jelas Rara.

"Jika mimpi aku dan Sarah sama, maka mimpi itu bukan hanya sekedar mimpi tapi itu adalah hal yang pernah terjadi. Itu adalah kisah nyata," simpulku.

"Bisa disimpulkan seperti itu," ucap Rara mengeluarkan botol air mineral berlogo Light High School yang tersusun rapi di setiap laci kamar kami dan memberikannya kepada kami.

"Baiklah. Ayo kita tidur lagi," ajak ku lalu kembali ke posisi awalku.

"Semoga tidak ada mimpi buruk selanjutnya," ucap Rara memperhatikan ku sesaat lalu kembali ke posisi tidurnya.

"Amin." Ucapku lalu memejamkan mata.

Mata ku terpejam namun pikiran ku tidak bisa tertidur. Luka di tubuhku terasah begitu sakit dan perih. Aku merindukan ibu di saat aku seperti ini. Seandainya ada ibu, mungkin dia akan meniup setiap luka di tubuhku menenangkan ku agar aku bisa melupakan semua ini. Namun, ibu telah pergi untuk selamanya. Dia hanya meninggalkan sebuah kenangan di masah kecilku, dan membiarkan aku tumbuh bersama kenangan itu tanpanya. Aku sendirian disini, meratapi setiap luka di tubuhku yang aku sendiri pun  tak tahu dari mana sebabnya dan apa salahku.

Apakah mimpi itu nyata? Jika aku hanya mendapatkan satu tamparan, luka seret di telapak tangan dan lutut lalu, dari mana asal luka cambuk dan semua bengkak di wajahku.

Ibu...
Aku membutuhkan mu agar lebih kuat menghadapi semua fakta yang akan terungkap nanti.

To be continue...

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang