BAB 15: Tessa

18 7 3
                                    

Saat ini kami tengah makan siang di kantin sekolah, tentunya kami dimasukkan keruangan khusus untuk mengikuti kelas table manner. Sungguh sangat membosankan memulai sekolah di sekolah baru tanpa berinteraksi dengan teman baru. Saat di dalam kelas semua murid fokus mengikuti kelas dengan baik, bahkan tidak ada suara sedikitpun dan semua mata tertuju pada interactive smart whiteboard. Aku mengakui cara mengajar guru disini dengan guru disekolah lama ku sangat berbeda. Materi yang diajarkan dijelaskan menggunakan animasi, guru pun mengajar dengan begitu profesional, dan waktu pelajaran yang tidak begitu lama sehingga murid tidak merasa bosan.  Hal yang lebih mengherankan adalah murid dapat duduk di sofa, been bag, bag cahir, yang tersedia di dalam kelas atau tetap di tempatnya.

Aku sempat mewawancarai Stenly tentang konsep sekolah ini. Berdasarkan penjelasan Stenly, sekolah ini sengaja membuat dinding dari kaca agar murid tetap berinteraksi dengan alam sekitarnya yang hijau dan rindang agar saat belajar murid lebih rileks ketika melihat hijau dan indahnya alam. Fasilitas yang disediakan di dalam kelas adalah bonus untuk mengatasi apa bila murid merasa bosan. Salah satu penyebab dari keonaran yang dilakukan murid adalah rasa bosan dengan suasana sekolah yang monoton dan ditambah lagi dengan waktu belajar yang cukup lama.

Aku mengakui sebagai pembuat onar di sekolah lama ku, salah satu alasan aku membuat onar adalah agar suasana sekolah terasa lebih asik. Rasanya membosankan datang ke sekolah mengikuti pelajaran yang dimana gurunya mengajar hanya karena uang bukan untuk mendidik murid. Bahkan ada guru yang masa bodoh dengan keonaran yang aku dan teman-teman lamaku lakukan, bukan karena ia cape menegur tapi karena ia hanya peduli untuk mendapatkan uang. Masih teringat jelas dalam benakku satu kalimat panjang yang berasal dari salah seorang guru di sekolah lamaku.

"Saya tidak peduli kalian mendengarkan atau tidak materi yang saya ajarkan saat ini, yang saya pedulikan adalah saya telah menjalankan pekerjaan saya dan akhir bulan saya menerima gaji. Ingat! Yang rugi bukan saya tapi kalian."

Jika saat ini menjadi guru hanya sekedar untuk mendapatkan uang bukan untuk membagikan ilmu, apakah masih pantas disebut pahlawan tanpa tanda jasa?

"Aku bosan," kesal Sarah memainkan sendok di atas piringnya yang telah kosong.

"Ada ide untuk mengusir rasa bosan?" Tanya Adam.

"Jujur atau nekat?" Aku memberikan ide pertama yang terlintas di benaku.

"Lumayan kuno," komentar Sarah menatap ku tidak suka.

"Ide Tessa bagus. Bagaimana kalau kita hanya memainkan pilihan nekat saja. Mau berinteraksi dengan murid disini 'kan?" Ucap Franklin.

Aku mengangguk setuju dengan pertanyaan Franklin. Aku ingin berinteraksi dengan teman-teman disini tapi semua orang disini sangat membatasi diri mereka dengan murid baru.

"Bagaimana dengan pelajaran table manner?" Tanya Rara melirik seorang tutor yang tengah mengajari cara duduk yang benar ketika berada di meja makan. 

"Persetan dengan dia," ucap Sarah.

"Butuh botol kosong?" Kami menoleh ke arah suara yang terdengar angkuh dan mengejek.

Orang itu adalah laki-laki yang pagi tadi mengejek Lexie dan merupakan pemimpin kelompok lain dari murid baru. Aku melirik name tag yang tertempel di dada kanannya. David Alvarez

"Sudah masuk sekolah ternyata, kasian tidak mendapatkan waktu istirahat." Ejek Sarah tersenyum miring.

"Dasar curang!" Ejek perempuan berambut merah yang dilihat dari name tag-nya bernama Sila Andriani.

"Curang? Itu bukan curang namanya tapi pintar," ucapku membuat Sila geram.

"Kalian murid kelas dua?" Tanya Rara.

Benar juga. Mereka murid kelas berapa? Saat di kelas tadi hanya kamilah murid baru.

"Atau masih kelas satu? Yah! Tahtanya terlalu rendah untuk murid kelas atas seperti kita," ejek Franklin pura-pura kecewa.

"Kalian yang berada di sana, silakan kembali k tempat duduk kalian." tegur tutor kelas table manner

"Baiklah, Bu. Kami hanya meladeni murid kelas rendah." Ucap Adam membuat kami semua memanfaatkan kesempatan itu untuk tertawa mengejek mereka.

"Sial!"

"Adam!"

Aku yang hendak duduk menghentikan aksi ku ketika aku melihat Adam jatuh ke lantai bersamaan dengan pecahan botol.

"Brengsek!" Bentak Franklin langsung menarik kerah kerah blazer David dan meninju wajah David.

"Adam" panggil Rara berusaha menyadarkan Adam.

"Darah!" Kaget Sarah terlihat syok.

"Tolong. Ada yang terluka disini," teriakku berusaha mengangkat tubuh Adam.

Aku melihat Stenly datang bersama pengawal dari kelompok David dan langsung menarik Franklin dan David menjauh. "Biarkan mereka! Kalian harus menolong dia."

"Dia akan selamat, yang akan sengsara sekarang adalah mereka berdua." Ucap Stenly masih berusaha memisahkan Franklin yang masih mencoba memukul David.

"Shit!" Apanya yang akan sengsara? Biarkan saja mereka saling memukul satu sama lain, hasilnya pasti hanya akan ada memar di wajah. Bisa-bisanya dia mementingkan perkelahian antara Franklin dan David daripada Adam yang tengah berdarah begitu banyak. Aku bangun dari tempatku dan berlari ke arah pintu untuk meminta bantuan namun ditahan oleh perempuan berambut pendek yang bernama Dinda Azahra terdapat di name tag-nya. "Minggir brengsek!" Bentaku.

Dinda tersenyum miring dan tetap menghalangi alat scan yang ada di pintu. Aku memperhatikan orang sekitarku yang hanya diam melihat kami. Apakah mereka tidak punya rasa kemanusiaan? Aku mencari Lexie diantara semua orang namun laki-laki itu tidak ada di kantin saat ini.

"Minggir!" Bentaku sekali lagi.

"La, kamu dengar ada yang omong?" Tanya Dinda tersenyum mengejek lalu terkekeh kecil.

Aku menarik napas dalam lalu dengan cepat aku menampar Dinda dengan keras.
"Aku bilang minggir ya minggir, brengsek!" Aku menjambak rambut pendeknya yang tersisir rapi dan menariknya menjauh dari alat scan. Setelah pintu terbuka aku langsung berlari keluar untuk meminta bantuan namun petugas UKS telah datang dengan membawa tandu dan Lexie yang mengikuti dari belakang.

"Terima kasih," ucapku menepuk bahu Lexie. Aku bersyukur setidaknya Lexie masih punya rasa kemanusiaan dibandingkan semua orang disini.

Kenapa semua orang disini terlihat tidak memperdulikan semua kejadian yang ada di sekitar mereka? Apakah sistem pendidikan light High School menghilangkan rasa ingin tahu dan rasa peduli parah muridnya?

"Kenapa?"

Aku menatap Lexie bingung. "Apanya yang kenapa?"

"Kenapa kamu harus melakukan kekerasan disini?" Tanyanya terlihat frustasi.

"Bukan aku yang mulai tapi mereka," bela ku. Bukan membela diri tapi itu memang fakta sebenarnya.

"Kenapa kamu harus membalasnya?" Tanya Lexie lagi dengan raut kesal namun frustasi.

"Aku tidak akan membalas jika si brengsek dua orang itu tidak menghalangi pintu keluar dan alat scan," jujurku menatap Dinda dan Sila yang balas menatapku dengan tatapan tajam.

"Kamu seharusnya membiarkan saja."

Aku memberikan tatapan tidak suka ke arah Lexie. "Bagaimana bisa aku membiarkan saja, di saat semua orang tidak peduli dengan darah yang begitu banyak keluar dari kepala Adam!"

"Kamu harus tetap membiarkannya saja."

"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran kamu!" Tajamku hendak melangkah masuk namun Lexie menahan tanganku. "Seandainya kalian semua disini punya rasa peduli aku tidak akan menghajar dua perempuan brengsek itu." Aku menarik tanganku kasar dan menscan untuk membuka pintu.

"Kita bukan tidak peduli tapi terlalu takut untuk peduli."

Aku menghentikan langkahku dan berbalik menatap Lexie bingung. Siapa yang melarang orang untuk peduli terhadap sesamanya manusia?

To be continue...

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang