BAB 1: Tessa

105 26 9
                                    

Aku memperhatikan taman kompleks perumahan mewah yang semakin menjauh. Kenangan masa kecilku dengan ibu ku memutar dalam ingatanku. Aku masih ingat teriakan khawatir ibu, bahkan raut wajahnya saat melihat aku jatuh dari sepeda. Ibu bahkan ikut menangis melihat tangan dan kaki yang terluka dan mulai mengeluarkan darah. Jika diingat-ingat itu hanya goresan kecil, tapi luka itu mampu menjatuhkan air mata seorang wanita keras kepala yang sekarang di turunkan kepada ku. Kenangan kecil itu membuat ku semakin merindukan ibu.

Hatiku terasah perih mengingat aku akan pergi jauh meninggalkan setiap sudut kenangan yang aku dan ibu ciptakan di kompleks ini. Jika aku lebih keras kepala seperti ibu aku mungkin akan tetap berada ditempat ini, sayangnya aku hanya mewakili sebagian sifat itu. Air mata ku tak terbendung lagi ketika mata ku tak menemukan kompleks penuh kenangan itu.

"Aku ingin mampir ketempat ibu." Aku menatap lurus kedepan dengan tangan terlipat di depan dada.

"Tidak. Ibumu pasti akan sedih melihat anak kesayangannya dikeluarkan dari sekolah karena merundung siswa lain bahkan ditahan di kantor polisi selama tiga hari."

Sial. Ayah masih saja membahas hal menyebalkan itu. "Jika saja ayah mendengarkan aku, aku tidak akan berakhir di sana." Aku berusaha seketus mungkin kepada ayah. Aku ingin ayah tahu, dia sangat mengecewakan aku. Saat ini dia sudah masuk ke garis finish untuk kategori lomba ayah paling mengecewakan.

Waktu itu hanya kesalah pahaman saja. Aku tidak punya niat untuk merundung gadis munafik itu. Tapi sialnya, si muka dua itu lebih jago manipulasi dibandingkan aku yang polos. Memang salah ku mencari hal dengan gadis yang dijuluki Miss manipulasi, tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur kesal melihat dia merundung salah satu teman ku dan memanfaatkan jurus manipulasinya sehingga teman ku malah yang di salahkan. Melihat keadaan temanku yang saat ini putus sekolah dan selalu murung ketika kami nongkrong bersama membuat jiwa keadilan ku mendidih.

Aku pun memutuskan untuk menghampiri Miss manipulasi itu dan memintanya mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Tapi sialnya, persiapan ku kurang matang untuk menghadapi ular seperti dia. Aku malah dijebak dan hasilnya aku dikeluarkan dari sekolah, di penjara selama 3 hari, dimarahi oleh ayah ku, dan sekarang aku tidak tahu ayahku akan membawa aku kemana.

"Ayah akan mendengarkan kamu juga kamu tidak pernah menciptakan masalah di sekolah mu." Ayah masih saja dengan pendiriannya dan tetap percaya dengan cerita palsu yang dibuat Miss manipulasi dan gang-nya.

"Tapi aku tidak pernah merundung orang." Aku menatap ayah dan mata kami saling bertemu. Aku menatap ayah penuh permusuhan sedangkan ayah menatapku dengan tatapan putus asa. "Aku tidak seonar itu untuk ditatap seperti itu."

Ayah menyimpan iPad-nya dan menatap ku . "Tidak seonar itu? Bolos sekolah, lompat pagar, membohongi ibu kantin, berpura-pura pingsan, mengerjai satpam, mer..."

"Stop. Aku tidak ingin mendengar riwayat kenakalan ku, yang aku inginkan adalah ke makam ibu sebelum aku pergi."

"Tidak." Jawab ayah sesingkat itu dan kembali fokus dengan pekerjaannya yang sedari tadi ayah tekuni di dalam iPad-nya.

Aku sekali lagi menatap ayah memberikannya sorotan tajam. Melihat keadaan aku dengan ayah sekarang, aku sangat ingin ibu berada disini dan seperti biasa menengahi antara aku dan ayah lalu mendamaikan kita. Namun, itu hanya kenangan di masa lalu yang tidak akan pernah terulang sekarang.

"Per-permisi, Tuan. Kita ke makam nyonya atau langsung ke tempat tujuan?"

"Makam ibu."

"Tempat tujuan."

Aku menatap ayah penuh kemarahan.
"Ayah tidak berhak melarang aku menemui ibuku!"

Ayah balas menatap ku. "Kamu tidak berhak memerintah bawahan ayah. Mereka di gaji oleh ayah."

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang