BAB 30: Tessa

24 9 2
                                    

Aku terbangun karena rasa perih dari semua lukaku dan badanku yang ngilu menyerang ku secara bersamaan. Aku memejamkan mata menahan sakit dan beranjak dari tempat tidurku. Luka-luka itu semakin terasa perih ketika aku menggerakkan tubuhku. Walaupun perih aku akan tetap menggerakkan badanku, aku akan menahan semua sakitnya. Aku tidak ingin kalah dari orang yang menyebabkan luka ini pada ku.

"Tessa!" pekik Sarah yang baru saja keluar dari dalam toilet.

"Ada apa? Mimpi buruk lagi?" Kaget Rara yang kini sudah dalam posisi duduk. Sangat sigap. Aku memperhatikan dua sahabat ku yang mempunyai dua reaksi yang berbeda. Sarah dengan tangan menutup mulut karena kaget melihat ku—entah apa yang Ia kagetkan. Sedangkan Rara terlihat bingung dengan kondisi rambut yang cukup berantakan.

"Tessa, keadaan kamu kenapa bisa separah itu?" Tanya Sarah iba.

"Aku tidak tahu," jujurku. Seandainya aku tahu orang yang menyebabkan semua luka ini, aku akan mencari orang itu dan membalaskan dendam ku.

"Aku kira Sarah mengalami mimpi buruk lagi," ucap Rara beranjak dari tempat tidurnya lalu sibuk mengatur tempat tidurnya.

"Mimpi buruk yang aneh," komentar Sarah lalu mendekati ku memperhatikan lebih dekat setiap luka di tubuh dan wajahku.

"Mimpi buruknya terlihat begitu nyata?" Tanyaku.

"Kenapa kamu bisa tahu?" Sarah yang sibuk memperhatikan luka-luka ku berahli menatapku.

"Karena aku mengalaminya."

Aku memperhatikan raut wajah Sarah yang terlihat kaget lalu berubah menjadi penasaran. "Apa mimpi kamu?"

"Kita berada di sebuah ruangan bawah tanah dan kamu terkurung di penjara sedangkan aku ditawan oleh seorang laki-laki bertongkat bisbol," aku memperhatikan raut wajah Sarah yang berubah syok "lalu ada seorang yang lain lagi membawa sebuah suntikan dan hendak menyuntik mu," lanjutku.

"Lalu kamu berusaha menolongku dan menghancurkan suntikan tersebut. Setelah itu kamu mendapatkan tamparan yang...aku tidak bisa mendeskripsikan tamparan itu karena itu begitu menyakitkan," lanjut Sarah lalu wajahnya berubah kaget.

"Mimpi kita sama," ucap aku dan Sarah bersamaan.

"Apakah luka lebam ini disebabkan oleh tamparan itu?" Ucap Rara menujuk pipi kiriku.

"Hah!" Kaget aku dan Sarah bersamaan lagi.

"Luka lebam yang sudah menghitam di pipimu ini?" Ulang Rara.

"Aku tidak tahu," jawabku masih bingung.

"Menurut kalian, jika tamparan yang Tessa dapatkan di dalam mimpi kalian, Tessa dapatkan di dunia nyata. Apakah luka lebam ini bisa menjadi efek dari tamparan tersebut?" Tanya Rara.

Aku dan Sarah mengangguk secara bersamaan.

"Apakah menurut kamu, mimpi yang aku dan Sarah dapatkan bukanlah mimpi tapi itu adalah hal yang benar-benar terjadi?" Tanya ku.

Rara mengangguk. "Apakah mungkin dua orang mendapatkan mimpi yang sama?"

"Mungkin. Jika dua orang itu mengalami hal buruk secara bersamaan sehingga menyebabkan adanya rasa trauma dan terbawah hingga mimpi. Astaga..." Kagetku dengan jawaban yang aku buat sendiri.

Jadi, penyebab dari luka lebam menyakitkan di pipiku dikarenakan aku mendapatkan tamparan menyakitkan dari laki-laki itu. Apakah seperti itu cara ruang sidang mendidik? Pantesan saja semua orang sangat takut terhadap ruang pengadilan. Apa yang sekolah ini harapkan dari ruang pengadilan yang bukannya mendidik tapi malah menyiksa?

"Berarti, tubuhku yang di lempar Kedinding hingga menyebabkan badan ku yang mulus menjadi lebam dan menghitam itu adalah ulah laki-laki itu?" Tanya Sarah terlihat begitu emosi.

"Mimpi kalian berikutnya akan menggambarkan apa yang kalian dapatkan di ruang pengadilan tergantung dari tingkat  trauma yang kalian dapatkan," jelas Rara yang terlihat begitu tahu banyak hal.

"Jujur, kamu dari sekolah mana?" Tanyaku penuh selidik.

"Bukan sekolah yang terkenal seperti sekolah kalian," jawab Rara lalu masuk ke dalam toilet.

"Apa nama sekolah mu?" Tanyaku lagi.

"Hanya sebuah sekolah di plosok desa," jawab Rara dari dalam toilet.

Plosok desa? Jika berada di plosok kenapa Rara sejak awal terlihat tahu banyak tenyang sekolah ini? Ah! Aku terlalu curiga terhadap hal-hal yang tidak perlu. Mungkin saja sekolah Rara berada di plosok desa dekat hutan ini.

"Darimana kamu mendapatkan luka cambuk ini?"tanya Sarah menyentuh luka cambuk di punggungku.

"Aku tidak tahu."

"Kamu bisa pergi ke sekolah dengan keadaan seperti ini? Dan dengan bentuk muka seperti itu?" Tanya Sarah memperhatikan muka yang aku tahu tidak berbentuk sebab ada banyak lebam yang membengkak.

"Aku tidak tahu." Jujur aku bingung harus ke sekolah atau tidak saat ini. Tapi, aku harus ke sekolah karena aku harus bertemu teman-teman yang lain. "Aku sekolah,"putus ku.

"Astaga!" Kaget Sarah saat bunyi bel pintu terdengar.

Hah? Bel pintu?

Sarah mendekati bunyi yang ternyata berasal dari layar kecil yang tertempel di pintu. Aku memperhatikannya mengotak-atik alat tersebut lalu kembali duduk di sampingku.

"Kamu tidak diperbolehkan untuk bersekolah terlebih dahulu," ucap Sarah kembali sibuk dengan luka-luka di tubuhku yang entah kenapa sejak tadi membuatnya begitu ingin melihatnya.

"Hah! Pengumuman dari sekolah?" Bingungku.

"Bukan. Dari ruang pengadilan light high school," jawab Sarah.

Kenapa mereka tidak memperbolehkan ku untuk masuk sekolah hari ini? Apakah mereka takut semua luka-luka ku ini dilihat oleh semua murid?

"Aku tetap akan ke sekolah!" Tegasku.

"Walaupun dikurangi tiga bintang?" Tanya Sarah.

Hah! Di kurangi tiga bintang hanya karena aku masuk sekolah hari ini? Apakah sebegitu takutnya mereka aku masuk sekolah hari ini? Ataukah mereka takut perbuatan mereka diketahui oleh pihak sekolah karena sudah melewati prosedur? Ah! Tidak mungkin mereka takut akan hal tersebut. Sekolah ini tingkat persaudaraan antara para pekerjanya terlalu tinggi hingga tidak mungkin ada hal seperti ini. Jika mereka takut semua luka ini terekspos ke parah murid maka, haruskah aku melakukannya?

"Haruskah?" Tanyaku kepada Sarah yang terlihat bingung mendengar pertanyaanku.

"Apa yang akan kamu lakukan?" Tanyanya penuh selidik.

"Menurut mu ini ide bagus?" Tanyaku lagi.

"Ide apa?" Tanya Sarah lagi kali ini dengan nada yang sedikit tinggi.

"Merelakan tiga bintangku?" Tanya ku lagi.

"Jangan mencari masalah kepada sekolah ini lagi," peringat Sarah kesal.

"Lalu, haruskah kita menuruti permintaan mereka? Mengalah kepada mereka setelah semua luka ini?" Tanyaku sarkas.

"Tentu saja tidak. Tapi tidak sekarang!" Tegas Sarah.

"Aku tidak bisa menunggu!"

"Dan aku tidak akan membiarkan itu!" Tegas Sarah.

"Berarti kita kalah!"

"Kalah untuk menang tidak akan menjadi masalah," tegas Sarah menatapku tajam.

Bagaimana ini? Aku tidak bisa membiarkan kesempatan yang bagus ini terlewatkan. Namun, apa yang diucapkan Sarah benar. Kalah untuk menang tidak akan menjadi masalah. Aku pun tidak tahu ulahku ini akan terjadi sesuai tujuanku yang ingin membuat parah murid menjadi lebih berani untuk protes atau malah membuat mereka menjadi lebih takut. Aku harus menemui Lexie dan membicarakan tentang semua ini.

"Berapa hari aku di larang sekolah?"

"Sampai semua luka mu sembuh total," jawab Sarah.

Sial! Bagaimana ini? Aku harus segera menemui Lexie dan membicarakan tentang ide keren yang muncul di otaku.

To be continue...

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang