Bab 6 : Tessa

32 16 16
                                    

Setelah pemeriksaan yang cukup memakan waktu, kami lalu diarahkan ke sebuah gedung. Gedung ini terlihat tua dan tidak ada nilai estetika seperti gedung-gedung lain. Melihat ada banyaknya jeruji besi, aku yakin bangunan ini adalah bangunan lama bekas penjara para napi. Namun, yang ingin ku pertanyakan adalah kenapa gedung tahap awal harus berupa penjara?

"Ini adalah kunci kamar kalian silakan dipilih sesuka kalian. Dikarenakan tangan kalian masih diperban kalian tidak bisa memanfaatkan chip yang telah ditanamkan dalam tubuh kalian, untuk itu kami menyediakan kunci biasa," Ucap penjaga gedung itu.

"Laki-laki dan perempuan gabung?" Tanya seseorang.

"Ia. Setelah memilih kunci silakan langsung ke kamar kalian sesuai nomor lorong," jelas laki-laki berbadan kekar itu.

Aku mengambil secara acak dan mendapatkan nomor 8 lorong B. Tanpa menunggu yang lain aku langsung menarik koperku dan masuk ke lorong B. Lorong B terdiri dari 5 kamar berukuran 2 x 3 yang menyerupai kamar penjara para napi. Bukan menyerupai tapi ini memang bekas kamar penjara para napi. Setelah menemukan nomor 8 aku langsung membuka pintu kamarku menggunakan kartu yang bertuliskan nomor kamar dan lorong. Suasana kamar membuat ku tercengang. Lampu yang redup, satu tempat tidur kecil berukuran satu orang, satu meja dan satu kursi, toilet, dan shower. Semua itu berada dalam satu ruangan berukuran 2x3—bayangkan betapa sempitnya itu. Apakah kami sedang dipenjara?

Aku melempar koperku ke sembarang arah, lalu keluar dari ruangan sialan itu dan menuju meja si penjaga.

"What the hell is that?" Teriakku kesal. Semua murid baru yang masih sibuk memilah-milah kunci menatap ku bingung. "kamar berukuran 2x3, tempat tidur kecil, toilet dan shower berada di dalamnya juga tanpa sekat. Apakah kami para napi? Kami masuk disini bukan untuk menjadi napi tapi untuk mendapatkan sistem pendidikan kalian, yang sialnya di percayai oleh orang tua kami mampu mengubah perilaku kami."

Semua murid baru gelagapan mendengar ucapanku. Mereka secara ngasal mengambil kunci dan masuk ke kamar mereka sesuai nomor. Beberapa saat kemudian semuanya keluar dengan raut wajah kesal sama seperti ku.

"Orang tua kami membayar bukan untuk ini," ucap Franklin serius. Aku tidak pernah melihat laki-laki itu serius dan tidak pernah mendengar suaranya yang begitu bariton. Biasanya dia begitu lebay dengan suara halus yang dibuat-buat.

"Makan siang akan diantar ke kamar kalian 10 menit lagi. Silakan kembali ke kamar kalian untuk mendapatkan makan siang. Yang tidak mengikuti peraturan tidak akan mendapatkan makan siang." Ucap laki-laki itu tanpa memperdulikan kami lalu masuk ke dalam kantornya yang dibatasi jeruji besi.

"Aku tidak akan masuk ke kamar sebelum mendapatkan kamar yang lebih baik," teriak Sarah kesal.

"Setuju," lantang ku.

"Dih! Ikut-ikutan."

Aku memberikan Sarah tatapan datar lalu duduk di bawah lantai. Melihat ku duduk, semua murid baru pun ikut duduk. Kami semua sepakat untuk melakukan protes atas kamar yang sangat tidak manusiawi. Kami hanyalah anak-anak remaja yang sedang mencari jati diri bukan kriminal yang pantas untuk dimasukkan di dalam kandang parah tahanan. Keberadaan kami di gedung tahap awal ini membuat ku sadar bahwa saat ini kami di samakan dengan parah kriminal tingkat tinggi yang pernah menempati penjara ini.

Waktu makan siang akan dimulai 3 menit lagi. Semua murid baru dipersilahkan untuk kembali ke dalam kamar. Sekali lagi, semua murid baru dipersilahkan untuk masuk ke dalam kamar.

"Kalian yakin tidak mau masuk kamar untuk makan siang?" Tanya Rara. "Kalian lupa kata penjaga tadi. Jika tidak masuk ke dalam kamar tidak akan mendapatkan jatah makan siang."

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang