BAB 4: Tessa

39 17 7
                                    

Perhatian, semua murid baru diharapkan untuk segera mengantri di depan ruang administrasi. Sekali lagi, semua murid baru segera mengantri di depan ruang administrasi.

Aku bersama empat orang aneh yang tadi mengajakku membentuk sebuah perkumpulan serta beberapa murid baru lainya berbaris rapi di depan ruang administrasi. Ayah telah pulang ketika aku masuk ke dalam gerbang. Saat ini aku benar-benar merasah sendirian. Ini adalah pertama kalinya aku menjauh dari rumah dan ayah. Aku memperhatikan sekitar ku mengusir rasa bosan dan penasaran ku. Saat ini gedung sekolah belum kelihatan sama sekali. Gedung administrasi ini menjulang tinggi seolah-olah dibangun untuk membatasi pandangan orang dari luar dengan keadaan sekolah di dalam sana. Di kiri dan kanan terdapat tanaman yang difungsikan sebagai pagar, bahkan tinggi tanaman itu hampir menyamai tinggi pagar tembok-membuat pandangan ku menjadi terbatas.

Aku pernah mendengar cerita dari teman-teman lamaku bahwa sampai saat ini tidak ada yang tahu bentuk sekolah ini. Bahkan orang yang pernah bersekolah disini tutup mulut tentang keadaan sekolah, seolah-olah itu adalah rahasia yang harus tetap dijaga.

Seberapa aneh sekolah itu sampai harus ditutup-tutupi?

Satu persatu anggota gangku, ah tidak! Maksud aku, teman baruku masuk ke dalam ruang administrasi dan sekarang tersisa hanya aku dan laki-laki berwajah campuran Indonesia-china itu.

"Nama kamu siapa?" Tanya ku hanya sekedar untuk mengusir rasa bosan karena tidak ada lagi yang perlu aku telisik dari area sekitar ku saking tertutupnya.
Aku menangkap raut wajah kaget yang ditunjukkan oleh laki-laki itu.

"Aku Adam Alexander. Kamu?"

"Oh." Singkatku tanpa menjawab pertanyaannya.

"Kalian silakan masuk," pintah suara tegas dari pria berbadan kekar yang sedari tadi mengawasi kami.

Aku dan Adam masuk ke dalam ruang administrasi yang cukup bersih dan wangi. Ruangan itu dicat berwarna cream membuat ruangan itu terasa cozy. Aku memperhatikan tiga orang pegawai administrasi yang merupakan laki-laki- yang anehnya mereka semua bertubuh kekar dengan bahu yang cukup besar dan dada yang bidang.

"Ada tempat Gym disini, bang?" Tanya Adam terlihat penasaran. Rupanya laki-laki itu juga memperhatikan badan parah pegawai dan penjaga yang begitu kekar.

"Berkas-berkas kamu?" Tanya pria itu yang melayani Adam tanpa menggubris pertanyaan Adam.

Aku mengikuti Adam menyerahkan berkas-berkas ku. Kenapa mereka terlihat begitu tertutup, seperti membatasi diri mereka dengan dunia luar. Satu hal yang aku ketahui dari aku melewati gerbang ini adalah semua orang yang terlibat dengan sekolah ini, membatasi diri mereka dengan dunia luar seperti sekolah ini merahasiakan keadaan di dalamnya dengan dunia luar.

Setelah berkas-berkas kami di verifikasi, kami di arahkan oleh orang lain yang merupakan seorang laki-laki berbadan kekar juga ke ruangan yang terlihat seperti ruangan medis.

"Selamat siang, nona Slovakia." Sapa seorang dokter yang badannya sama seperti parah pria yang aku temui tadi namun dia terlihat lebih ramah. "silakan duduk disini," pintah dokter itu menepuk ranjang rumah sakit.

Aku ingin menanyakan dari mana dokter itu mengetahui nama ku, namun aku urungkan niat ku saat melihat rekaman medisku berada di atas meja dokter itu. Aku jadi ingat kemarin ayah membawaku ke seorang dokter praktek untuk memeriksa kesehatan ku secara lengkap dengan alasan hanya melakukan pemeriksaan biasa. Tanpa rasa curiga sedikitpun aku mengikuti semua proses yang dilakukan.

"Untuk apa?" Aku bingung kenapa aku diarahkan ke ruangan medis dan sekarang aku diminta untuk berbaring di atas ranjang rumah sakit padahal hasil pemeriksaan medisku kemarin aku sehat 98%.

"Saya harus memasang chip implan ke dalam tubuh nona. Tenang saja ini tidak akan menyakiti nona."

Aku terbelalak kaget. Kenapa aku harus memasang chip ke dalam tubuhku? Untuk apa chip itu? Cara kerjanya seperti apa?
Aku perlu tahu semua itu sebelum memasang chip itu ke dalam tubuhku.

"Sepertinya orang tua nona tidak memberi tahu nona bahwa akan ada pemasangan chip. Pemasangan chip menjadi salah satu syarat utama untuk masuk ke sekolah kami. Chip disini berfungsi sebagai kunci untuk mengakses segala fasilitas yang ada di sini termasuk prisensi untuk kelas nona nanti. Walaupun sekolah kami berada di tengah hutan belantara, tapi fasilitas yang kami sediakan menyamai fasilitas sekolah internasional. Bahkan kami lebih unggul 20% untuk fasilitas dan kualitas murid."

Pantasan saja ayah menyetujui pemasangan chip dan sangat mempercayai sekolah ini untuk anak semata wayangnya. Ternyata marketing sekolah ini begitu jago dan tahu dimana letak keraguan pelangganya.

"Cara pemasangannya pun mudah. Kami hanya perlu membela sedikit saja kulit yang berada di antara jari ibu dan jari telunjuk nona, lalu memasukkan chip implan ke dalamnya. Tenang saja chip ini hanya berukuran biji nasi, jadi tidak akan sakit. Sudah selesai. Benarkan tidak sakit?"

What? Aku terbelalak kaget ketika tanganku saat ini telah di perban oleh dokter itu.

"Aku belum menyetujui..."

"Next." Ucap dokter itu acuh terhadap aku yang ingin protes.

Aku menatap tajam dokter itu lalu keluar dari ruangan. Tanpa sengaja aku bertatapan dengan Adam yang raut wajahnya penuh tanda tanya ketika melihat tangan aku diperban. Setelah keluar dari ruangan medis itu aku diarahkan ke ruang tunggu yang langsung di sambut heboh oleh laki-laki yang mempunyai bau parfum perempuan yang begitu tajam.

"Kamu terlihat syok," komentarnya.

Tentu saja aku syok. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang bentuknya aku tidak tahu begitu pun dengan fungsinya, ditanamkan dalam tubuh ku. Dan sialnya, proses penanaman itu aku tidak tahu sama sekali. Dokter sialan!

"Dia 'kan penakut." Komentar gadis itu yang entah kenapa dia selalu sensi terhadap ku.

Aku hanya tertawa sarkas menanggapi komentar perempuan itu lalu duduk disalah satu sofa yang tersedia di ruangan itu.

"Btw, aku Franklin. Tidak pake g."

Aku menjabat tangan Franklin lalu kembali sibuk dengan ponselku. Aku ingin segera protes ke ayah namun ketika aku menelpon ayah nomornya malah tidak aktif. Sudah aku tebak ayah akan seperti ini. Ayah pasti sudah tahu aku akan protes tentang hal ini makanya dia tidak memberitahu ku.

"Bagaimana keadaan kamu?" Tanya perempuan cupu itu terlihat khawatir.

"Namanya Rara," perkenalkan Franklin.

"Aku baik-baik saja, hanya sedikit syok ada sesuatu yang ditanamkan ke dalam tubuhku tanpa pertujuanku," jujur ku.

"Sok dramatis."

"Namanya Sarah," Franklin memperkenalkan lagi. Franklin sepertinya senang sekali memperkenalkan orang lain.

"Sorry. Sedang tidak ingin menggubris makhluk tak kasat mata."

Perempuan menyebalkan yang ternyata bernama Sarah itu terlihat begitu kesal melihat tanggapan ku. Entah kenapa perempuan itu seperti punya dendam terhadap ku. Apakah kami saling kenal?

"Kalian tahu kenapa kita di pasang chip implan?" Tanya Adam yang baru saja bergabung bersama kami.

"Untuk memudahkan kita mengakses semua fasilitas di sekolah ini dan sebagai prisensi untuk kelas kita nanti," jelas Franklin panjang lebar.

"Aku tahu. Maksud aku bukan itu," protes Adam.

"Terus apa?" Tanya Rara bingung.

"Kenapa harus penasaran? Bukankah murid-murid seperti kita ini sudah sepantasnya di pasang hal-hal seperti ini."

Ada benarnya juga jawaban si nenek lampir itu. Aku tidak akan pernah menyebut nama perempuan itu. Dia adalah musuhku sejak pertama dia mengataiku norak.

Sekolah ini berani mengambil resiko hanya menerima murid-murid bermasalah yang sudah pasti akan susah di atur. Sudah seharusnya mereka melengkapi sekolah mereka dengan fasilitas yang memadai seperti para pegawai berbadan kekar seperti yang aku temui tadi, serta chip yang merupakan teknologi canggih yang belum di kembangkan secara masal di dunia ini. Aku jadi penasaran dengan ketua yayasan sekolah ini? Ingin sekali aku bertemu dia suatu saat nanti.

To be continue...

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang