Abah-Umi

1.7K 234 76
                                    

Kata Johan sama Joshi—yang saat itu belum dipanggil Ayah dan Papi—ngomongin Aspa alias Abah itu selalu gak jauh pembahasannya dari perempuan. Padahal kalau ditilik pada fakta sebenarnya, Aspa muda itu gak sebuaya itu. Hanya saja, beliau ini memang senang berlaku baik kepada semua perempuan hingga tak tega mengabaikan perempuan yang menyukainya begitu saja.

Ya namanya jiwa muda yang penasaran akan cinta, dalam tujuh hari selama satu minggu Aspa bisa memiliki delapan mantan. Tidak, bukan tipe Aspa sekali yang selingkuh-selingkuh gitu. Tapi ya namanya hubungan memang gak ada yang mulus. Begitu juga dengan Aspa dan perempuan yang nggak bisa sepemahaman dengan dia. Hanya bertahan dalam hitungan hari.

Suatu sore dihari Rabu, Aspa baru putus untuk ketiga kalinya dalam minggu ini. Mantannya yang terakhir bernama Melati. Mereka putus diwarung dekat kampus dan Melati ninggalin Aspa gitu aja tanpa bayar makanannya lebih dulu.

Setelah bayar makanannya dan Melati, Aspa kembali ke kampus buat ngambil motornya yang terparkir dibelakang pos satpam. Dari warung ke pos satpam itu lumayan jauh dan kalau sore gini jadinya agak seram karena pohon-pohon besar dari sisi jalan nutupin masuknya cayaha matahari.

Tambah serem lagi waktu Aspa denger suara perempuan ngomong dengan nada agak sedih. "Kamu sedih anak kamu meninggal? Iya? Cup cup cup, gak papa. Dari kehilangan, kita jadi belajar untuk menghargai sebuah kehadiran. Jangan sedih ya, aku disini." Setelah kalimat terakhir, terdengar suara kecupan.

Setan bisa ciuman? Anjay keren. Aspa yang diem-diem ketakutan.

Dari balik pohon besar, Aspa bisa liat ada tanah yang dibuang ke sampingnya seperti sedang menggali sesuatu. Walau takut setengah mampus, Aspa gak ngerti kenapa kakinya jalan ke pohon besar itu.

"Misi, Mbah..." Aspa menatap ke atas, barang kali ketemu sesuatu.

"Mbah Mbah! Matamu Mbah!"

Aspa kontan menatap ke bawah terkaget sampe lompat ke belakang waktu ngeliat perempuan dengan kaus hijau agak longgar dan celana cutbray. Rambut perempuan itu panjang dan ada bandana dikepalanya.

"Lo setan ya?"

Perempuan tadi sontak berdiri. "Elo kali."

Dari bahasanya mudah sekali ditebak, perempuan ini tak terbiasa dengan kata 'elo' seperti yang disebutkanny tadi.

Setelahnya ia kembali duduk dan menggali tanah. Aspa tak beranjak. Ia tetap disana menatap pada kucing betina, anak kucing yang sudah mati dan perempuan yang sepertinya sedang menggali kuburan untuk si kucing.

"Mau gue bantu?" tawar Aspa

Perempuan tadi lantas mengangguk. "Nih," katanya menyodorkan pecahan ubin yang entah didapat dari mana.

Aspa berjongkok disebelah perempuan itu dan menggali kuburan untuk si anak kucing. Karena tidak menemukan benda lain yang bisa digunakan untuk menggali, perempuan berbandana itu membiarkan Aspa sendiri menggali tanah seraya tangannya mengelus kucing betina didekat mereka itu.

"Nama gue Aspa, Teknik Indusri semester enam." Aspa lebih dulu mengenalkan dirinya tanpa diminta.

"Gue ada nanya?"

Aspa justru tertawa. "Hahah! Kalo gak biasa pakai lo-gue, gak papa. Pakai aku-kamu aja. Lo lucu kalo maksain diri gitu."

Perempuan tadi mendecak. "Aku Caratia binti Tiway. Bapakku pengusaha perabotan dirumah."

Aspa tertawa lagi. Lucu sekali, ada pula perkenalan membawa orangtua. "Lo lucu deh. Ahahah! Masa perkenalan pake nama bokap. Tapi gapapa sih, siapa tadi? Caratia?"

Caratia mengangguk.

"Saya terima nikah dan kawinnya Caratia binti Tiway—"

Setelah ngomong gitu, Aspa ditabok sama Caratia.

SeCaratttTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang