Ini Akhir

1.3K 235 102
                                    

Boo keluar dari mobil yang dikendarainya. Matanya lurus ngeliat ke depan dan tatapannya kosong. Sampai tangan Boo digandeng sama seseorang yang ngebuat Boo noleh ke belakang, "Yuk, ke Mami."

Boo ngangguk dan ngebiarin tangannya digandeng oleh Mimi. Disisi kanan Mimi, ada Ican yang ikut ziarah ke makam Mami. Ini bocil selalu minta ikut setiap orang yang mau ziarah ke makam Mami. Terhitung ini udah kali ke tiga Ican ziarah dalam satu pekan ini. Yang pertama bareng Papi dan Mimi, yang kedua bareng Bonon dan Arin dan yang ini yang ketiga kalinya.

"Ada Bang Oci, Mi." gumam Boo yang masih bisa Mimi dengar. Boo sengaja memelankan suaranya karena takut ngeganggu Bang Oci yang keliatan lagi nangis sesenggukan.

"Bang Oci nangis, Mimi." Ican pun ikut memelankan suaranya.

Mimi ngangguk, "Kita tunggu Bang Oci sampe selesai ya,"

Dari tempat ibu-anak itu berdiri, sebenarnya gak jelas apa yang Bang Oci omongin. Cuma dari bahunya yang bergetar, siapa aja bisa tau kalau anak Abah itu lagi nangis.

Udah beberapa menit nunggu tapi kayanya tangisan Bang Oci gak juga reda. Mimi makin gak tega ngeliat Bang Oci nangis segitunya. Mimi berdiri disamping Bang Oci dan ngelus bahu Bang Oci pelan.

Gak disangka Bang Oci justru langsung berdiri dan meluk Mimi erat. Ican ngeliat abangnya sedih. Dia mendingan jadi korban kejahilan Bang Oci dari pada liat Bang Maungnya nangis begini.

"Gapapa, nangis aja, Nak. Onty disini."

Ican mendekat ke Mimi sama Bang Oci dan meluk kaki Bang Oci, "Abang, jangan nangis. Nanti Umi sama Mami sama Bunca sama Mimi sedih. Ican juga mau nangis liat Abang nangis."

Bang Oci ngelepas pelukannya dari Mimi dan jongkok untuk meluk adiknya, "Bakal kangen Abang sama Ican."

"Ican juga,"

Mimi ngehapus air matanya ngeliat dua orang yang biasanya berantem sekarang malah sayang-sayangan. Kepala Bang Oci yang semula bertumpu dibahu Ican, sekarang berada diperut Ican.

"Bang Oci ngelap ingus dibaju Ican ya?"

Bang Oci ngejauhin mukanya dari perut Ican, "Hehe..."

Anak Abah itu berdiri dan pamitan pulang ke Mimi. Mimi ngasih tisu ke Bang Oci, "Hati-hati ya, langsung ke rumah ya, Ci?"

"Iya, Onty." Waktu Bang Oci ngelewatin Boo yang masih berdiri ditempatnya, Bang Oci sengaja meninju bahu adiknya itu, "Dah, anak pungut!"

Boo ngeliatin orang yang melangkah keluar dari area pemakaman. Gak ngerti dia kenapa bisa-bisanya tahan punya abang yang kaya gitu.

"Bang, sini!"

Boo ngedeket ke Mimi yang barusan manggil dia, Ican sendiri sekarang udah ngaduin kelakuan Bang Oci tadi ke Umi. Gatau ngomong apa yang jelas mulutnya maju-maju karena kesal.

"Mau ngomong sama Mami kan? Mimi tunggu disana ya, Bang?"

"Enggak, Mimi disini aja. Nanti kalau Abang nangis gimana?"

Mimi ketawa pelan, "Iya deh, Mimi disini."

Boo ngeliatin batu nisan yang bertulisakan nama Mami. Disana juga tertera tanggal lahir dan tanggal Mimi wafat. Setiap ngebaca tanggal Mimi wafat, Boo selalu ngerasa sesak yang berujung dia nangis.

Kaya sekarang ini, Boo nangis sesegukan sambil tangannya ngusap batu nisan Mami. Mimi ngelus punggung anak sulungnya itu, "Bu Cathy, anak-anak kita ini penyayang banget. Mereka punya cara masing-masing buat nunjukin sayangnya. Makasih udah ngelahirin dan ngebesarin anak-anak dengan penuh cinta. Sebelum pindahan, mungkin ini yang terakhir kita kemari ya? Karena kaya yang dibilang Mas Jo kemarin, besok kita semua mau berangkat ke rumah Mommy sama Daddy. Maaf ya, Bu, karena aku Mas Jo dan anak-anak ninggalin Bu Cathy disini."

SeCaratttTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang