Kuliah Kerja Ngegalau

1.6K 229 42
                                    

Pagi-pagi begini rumah Abah sepi karena penghuni rumah tersisa dua orang—Abah sama Uma doang. Uji ikut lomba 17-an bareng Ican dan temen-temennya yang lain di lapangan dekat komplek. Ketiga anak kembarnya Abah minggu lalu berangkat ke tempat KKN mereka, yah, biasalah menginjak semester akhir.

"Sepi banget ya gak ada anak-anak. Nyulik Nana sama Wawa yuk, Bang?" ngajak nyulik anak kaya ngajak makan gorengan.

Abah yang lagi ngebilas piring terakhirnya ketawa. Setelah selesai, Abah puk-pukin tangannya ke punggung Uma. Romantis? Halah, alasan doang dia mau ngelap tangannya ke baju Uma. "Nanti deh nyuliknya. Kata Joshi, dia sama Ruby yang lagi nyulik Wawa sama Nana. Kita gantian ya."

Kursi roda Uma didorong Abah menuju belakang rumah dan berhenti diberanda tempat bersantai. Kalau dirumah Papi, beranda sering dibuat tempat ngumpul keluarga kadang nyambil liat anak-anak berenang atau Ican yang memang suka main dibelakang rumah. Tapi berhubung ini bukan rumah Papi, rumah Abah ini dibagian belakangnya ada kolam ikan dan jemuran.

"Kenapa tiba-tiba kesini? Liat Ican sama Uji aja yuk!" Uma bicara setelah Abah duduk disofa yang memang sengaja ditaro disini. Sofa ini Abah ambil dari tokonya sendiri. Sekadar informasi, Abah sekarang gak jual ambal doang tapi juga jual sofa dengan kualitas premium. Salut ah sama Pak Aspa.

"Anak-anak bilang mereka mau lanjut S2 di Korea. Udah daftar mereka, tapi baru bilang ke aku setelah daftar." Abah cemberut sambil ngeliat ke arah jemuran. "Mereka pasti daftar tanpa izin dari kita karena tau bakal dilarang."

Uma diem bentar. Sebenarnya, Uma udah tau kalau Mas Nonu ada rencana lanjut S2 tapi Uma gak tau kalau Mas Nonu ngajak kembarannya. "Emang kamu beneran bakal larang mereka lanjut S2?" tanya Uma seteeeeenang mungkin. Tau sendiri Bapak ini rada pundungan.

"Bukan dilarang, tapi aku suruh cari tempat yang deketan dari sini. Ngapain jauh-jauh ke Korea kalau di Depok ada."

"Ya itu kan kemauannya anak-anak, Abah. Ini nih kenapa mereka milih daftar diem-diem daripada harus izin ke kamu dulu. Mereka udah waktunya nentuin apa yang mereka mau. Kalau itu memang jadi pilihan mereka, kita dukung." Uma merhatiin raut wajah Abah yang semakin pundung dan menggengam tangan Abah, "Kenapa? Gak siap jauh dari triplets?"

Abah menggeleng, "Apaan? Biasa aja tuh."

"Halah!" Uma ngegeplak lengan Abah kuat, "Sama anak sendiri kok gengsi."

"Emang kamu siap mereka tiba-tiba gak berisik dirumah ini lagi?" kata Abah agak nyolot sambil ngusap lengannya yang ditabok. Pedes juga ygy.

"Enggak. Sangat enggak siap, Bang. Tapi kita harus bisa kan? Ada saatnya nanti mereka memang harus ninggalin kita, punya keluarga baru, tanggung jawab baru. Kita tinggal berdua, saling mengurusi satu sama lain. Sedih memang kalau dipikir-pikir dari sekarang tapi namanya hidup. Tiap masa ada orangnya dan tiap orang ada masanya."

"Itu yang aku takutin, Sil. Itu yang buat aku ngerasa kalau sekarang ini, mereka belum punya keluarga sendiri kaya sekarang adalah saat yang tepat buat aku ngehabisin waktu sama mereka. Sebelum aku memang harus ditinggal sama mereka. Mereka di kampung orang aja rasanya pengen kususul sekarang." Suara Abah mulai melembut.

"Ini nih yang gengsi sama anaknya sendiri." Uma ketawa dan nyolek ujung hidung Abah, "Lagian waktunya masih lama, triplets juga masih KKN. Tunggu mereka balik dari KKN, kita bicarain bareng mereka lagi. Tapi inget ya, jangan larang apapun keputusan anak-anakku."

Abah ngangguk pasrah. Kalau Paduka Ratu sudah bertitah, yang mulia Abah bisa apa?

"Yuk, liat Ican sama Uji. Nanti ngambek anaknya."




---



Disuatu pedesaan yang cukup jauh dari pusat kota, hiduplah seorang pemuda tampan keturunan Abahnya yang biasanya dipanggil Bang Oci. Gaya bet dah.
Anak-anak Abah itu gak barengan KKN-nya. Mereka KKN di desa yang berbeda-beda tapi masih deketan tapi agak jauh juga sih. jadi ya gitu lah.

SeCaratttTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang