Bro Ican

1.4K 238 37
                                    

Abah kebangun karena suara gedebuk yang kenceng banget. Buru-buru Abah keluar dari kamar dan mengencangkan ikatan sarung dipinggangnya takut-takut kalau salah satu penghuni lantai satu ini sedang dalam masalah. Tau sendiri Bang Oci pernah nekat jedotin kepalanya ke pintu.

Tapi waktu keluar kamar tepatnya dijalan mau ke dapur, bukannya Bang Oci yang berulah justru istrinya. Iya, si Uma. Kursi rodanya udah terbalik dengan posisi roda diatas. Uma duduk dilantai tapi baju tidurnya basah.

"Ya ampun, kamu ngapain?" Abah ngegendong Uma ke ruang tengah.

"Uma kenapa?" Mas Nonu yang ternyata dari tadi udah bangun ikut nyamperin Uma yang duduk disofa.

Yang ditanya cemberut. "Uma pengen minum teh, Nu. tapi jatoh."

"Terus kenapa gak bangunin aku, Sil? Kan aku bisa buatin susu buat kamu. Liat kan, malah kamunya yang jatuh. Ini bajunya basah kena air panas kan? Nu, tolong ambil salep dikamar Oci ya?"

Mas Nonu yang dapet titah begitu langsung pergi ke kamar Bang Oci. Abah kalau lagi khawatir bakal bawel banget.

"Kenapa gak bangunin aku? Hm?"

Uma diem waktu Abah niup tangannya yang memerah karena air panas. "Kamu capek gak sih, Bang, direpotin aku mulu?"

"Enggak."

"Ck, harusnya tuh yang nyiapin minuman kalau pagi aku, bukan kamu. Yang beres-beres rumah aku, bukan anak-anak. " Bibir Uma yang tadi maju karena cemberut jadi melengkung seketika. "Kadang aku ngerasa payah banget jadi Ibu buat mereka. Takut juga gak sebaik kamu dan Kak Tia."

Abah ketawa pelan dan nangkup kepala Uma pakai kedua tangannya terus diputer-puter sambil dibacain. "Hilangkanlah pikiran buruk dari kepala istri hamba ini ya Tuhan. FUH!" setelah berdo'a Abah ngembus ubun-ubun Uma.

"Apa sih?! Jigong kamu nempel nih." Hilih hilih penganten baru, marah secara eksternal namun salting brutal secara internal.

"Sil, kamu kayanya terlalu sayang sama mereka sampai gak sadar kamu banyak kerepotan karena anak-anak. Kamu kalau masak, memang pernah cuma dua macem masakan? Engga kan? Apa yang mereka minta, kamu masakin. Mereka ngajak kamu ngobrol bahkan nyeritain semua yang gak mereka ceritain ke aku sampai larut malam."

"Itu udah jadi tugas aku, Bang."

"Kalau kamu ngerasa itu tugas kamu, beres-beres rumah juga tugas kita, tadi apa? Buatin minum? Itu juga tugas siapa aja. Gak ada yang mengharuskan kamu buat ngerjain semua, Sil. Baik kamu atau Tia kalian sama-sama Ibu yang hebat buat anak-anak, kalian punya cara sendiri buat ngerawat mereka dan ngasih yang terbaik buat mereka. Gak ada yang ngerepotin. Kamu tanya ke Jun, Nonu, Uji sama Oci, mereka seneng kalau kamu minta ngelakuin sesuatu. Itu namanya bukan ngerepotin, Sayang, itu cara mereka berbakti sama kamu." Abah kalo udah angkat bicara auranya mirip pembina upacara.

Uma natap mata Abah. "Makasih ya, Bang."

Abah ngangguk dan berniat ngecup kening Uma tapi tiba-tiba ada tangan yang menjadi penghalang. "Et, et, mundur, Bah, mundur." Bang Oci memposisikan tangannya didepan kening Uma. "Uma! Tadi kata Nonu Uma jatoh?! Kok bisa?!" suaranya tiba-tiba panik dan duduk dilantai menghadap ke Uma sama Abah.

Uma menjawil ujung hidung Bang Oci, "Kebalik dari kursi roda doang, Ci."

"Doang?! Astaghfirullahal'azim."

"Kerja' lembur baghai quda' sampai lupa 'orangtua." Secara random Mas Nonu yang ngebawa kotak P3K nyambung omongan Bang Oci. Nadanya persis kaya yang diiklan Ramayana.

Mas Nonu duduk disamping Bang Oci dan ngulurin tangannya ke Uma. "Uma tuh ya, kalau mau sesuatu bangunin Nonu sama yang lain aja, Uma." Karena istrinya udah ada yang nemenin dan ngobatin, Abah balik ke dapur untuk membereskan cangkir dan kursi roda yang kebalik tadi.

SeCaratttTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang