Bab. 11 Discussion

31 4 0
                                    

Luusi mengembuskan napas lelah, ia mencoba mengingat petunjuk menuju tengah-tengah Fair Market dari wanita yang ia tolong. Namun, sampai sekarang Luusi masih tidak menemukan panggung besar. Sepertinya ia salah jalan.

Kau memiliki ingatan pendek, Luusi.

Perkataan Elias sungguh menyakiti hati! Padahal Luusi berusaha menemukan jalan ke luar, tetapi seenaknya saja pria itu mengatakan ingatan Luusi pendek. Sungguh tidak berperikerohan! Kalau saja Elias bisa ke luar dari tubuhnya, mungkin ia tidak akan kesulitan mencari jalan pulang karena bisa menyuruh Elias.

“Memang kau tidak bisa menggunakan kekuatanmu untuk membantuku mencari jalan pulang?” tanya Luusi lelah.

Elias menggeleng. Tentu tidak! Mana bisa seorang roh mencari jalan ke luar, lagipula tubuhku terjebak di dunia buatanmu. Diriku saja tidak bisa ke luar dari sini.

Luusi mengembuskan napas kasar. Kesal sekali rasanya, tetapi ia merasa lega bisa menolong orang lain. Matahari pun sudah hampir menghilang, jika ia belum bertemu teman-temannya sampai malam maka perjalanan ini akan terhambat karena dirinya.

Tak mau berputus asa, Luusi kembali menghampiri pedagang buah. Sesampainya di salah satu kedai, ia melihat jika si penjual ternyata seumuran dengannya. “Permisi. Kau tahu di mana panggung besar berada?”

“Kau bukan bangsa Fairy? Pasti kau tersesat, ya?” tanya si pedagang saat melihat perawakan Luusi.

Luusi meringis, “Ya, begitu. Sedari tadi mencari jalan, diriku malah tersesat. Apa kau tahu bagian mana pasar ini?”

“Maksudnya dari arah mata angin?” tebak si penjual. “Jika itu maksudmu, maka kau tersesat cukup jauh dari panggung besar karena tempat kau berpijak sudah memasuki pinggiran pasar.”

Mengetahui kenyataan jika dirinya tersesat cukup jauh membuat Luusi lemas. Jika begini, bisa sampai malam ia kembali.

Ayolah, Luusi. Kau tidak sendiri. Ingat! Diriku bersamamu!

Suara Elias terdengar menggema di kepalanya. Seketika, Luusi merasa kembali bersemangat. Ia juga tidak boleh menyerah begitu saja atau nyawa teman-temannya bisa melayang. Luusi mendongak, menatap penuh harap si penjual berambut merah.

“Bisa kau tunjukan jalan menuju panggung besar?” pinta Luusi memelas.

Si penjual menaikkan sebelah alis. “Boleh saja, tetapi wajahmu sangat pucat. Kau kelelahan?”

“B-benarkah?” Luusi tidak sadar jika wajahnya pucat. Padahal Healer Fairy tadi sudah membuat ia merasa baikan. Apa mungkin berjalan tak tentu arah sampai tersesat membuat ia kelelahan tanpa sadar dan dikendalikan Emotion Control?

“Sebaiknya kau duduk dan makan ini.”

Luusi tertegun. Gadis penjual itu memberikan beberapa apel segar. “Terima kasih. Siapa namamu?”

“Thea. Kau sendiri?”

Keduanya berjabat tangan. “Luusi. Kau seperti seumuran denganku, tetapi sudah bekerja. Hebat sekali.”

“Kebiasaan keluargaku. Ayah selalu mengajariku dan kembaranku untuk menghargai sebuah usaha serta tidak boros. Jadilah kami ikut berdagang. Tidak mudah, tetapi terasa menyenangkan. Bagaimana denganmu, Luusi?”

Cerita Thea begitu menginspirasinya. Orang tua Luusi memang berkecukupan, ia juga tidak diizinkan melakukan pekerjaan seperti Thea. Tetapi tak ada niat untuk bolos. Sepulang dari sini Luusi harus bisa bekerja keras untuk membanggakan kedua orang tuanya sebagai hadiah karena bekerja keras untuknya dan Luzen.

“Orang tuaku seorang pengajar dan pandai besi. Keseharian keluargaku juga sama sepertimu, bertemu banyak pelanggan dan murid. Walau begitu, kehidupan yang kau jalani terlihat menyenangkan saat bertemu dengan banyak orang. Tidak sepertiku, belajar terus menerus. Agak membosankan, tetapi untuk menyenangi kedua orang tuaku, rasa bosan selalu bisa menghilang begitu saja,” cerita Luusi sembari menggigit buah apel.

Bidder Flower [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang