29. Warlock Forest

35 3 0
                                    

Tim Bidder Flower dan Mr. Jackson pergi menuju  hutan Warlock. Pada akhirnya tim mampu menerjemahkan kode dalam kertas yang diberikan Mr. Jo. Sebenarnya kode ini meski dipecahkan, tetap membuat tim kebingungan. Ketika ingin bertanya pada Mr. Jo, lelaki itu sudah mengusir mereka.

Diusir secara paksa sungguh tidak menyenangkan. Tim seolah dilempar ke tempat yang berbeda, keberadaan mereka muncul di tengah kota—di suatu gang sepi. Beruntung tidak ada yang menyadari kemunculan tim secara tiba-tiba, kalau tidak mereka sudah dianggap penjahat.

“Kita harus ke arah mana?” tanya Valindra bingung.

Amara menaiki sapu terbangnya, kemudian terbang ke langit. Matanya menyipit saat matahari bersinar cukup terang. Ia mengembuskan napas, ternyata berada di kediaman Mr. Jo menghabiskan waktu yang cukup lama. Setelah mengetahui titik ia berpijak, Amara terbang turun. “Kita berada di pinggiran kota.”

“Tidak jauh dari hutan Warlock. Kalian bisa sampai sekitar satu jam berjalan,” kata Mr. Jackson memberitahu.

Tentu saja tim menganga tidak percaya. Berjalan satu jam itu melelahkan! Belum lagi godaan dari pasar atau tokoh di sepanjang jalan atau hambatan tidak terduga, pasti perjalanan makin lama. Apalagi Amara, si gadis tukang makan.

“Apa?” Amara mendelik saat tim memperhatikannya. “Kalian mau apa, sih?”

“Kami mengkhawatirkanmu akan tergoda makanan di pinggir jalan!” seru Tim membuat Amara mendengkus. Sedangkan, Mr. Jackson hanya menggeleng.

Mereka berjalan sesuai arahan Amara, Mr. Jackson tidak mau menjadi pemandu. Ia ingin santai di kotanya ini sembari menaiki alat transportasi dari Mr. Zayan. Sebenarnya tim bisa saja menggunakan FlowerWings, tetapi Amara menyarankan untuk tidak menggunakan benda itu karena jarak antara tempat ini dan hutan Warlock tidak jauh. Menyewa FlowerWings akan membuang uang.

Ke luar gang sempit, mereka disapa oleh keramaian kota. Meski di pinggiran kota sekalipun, tempat ini masih saja ramai dan padat oleh pegunjung. Keempatnya berjalan seperti kereta agar tidak terpisah. Fomasinya dipimpin oleh Amara, Valindra, Luusi, Katrine, dan Mr. Jackson. Teruntuk guru muda ini, ia tidak berpegangan pada pundak Katrine.

Caldenia City menawarkan begitu banyak alat sihir di sepanjang jalan. Semua tokoh memiliki benda beragam dan menarik untuk dibawa pulang. Keempatnya menatap sekliling dengan mata berbinar sampai tidak sadar kalau Amara sudah berjalan menuju sebuah tokoh.

“Eh, kalian ingin ke mana?” Mr. Jackson berdecak sembari mengikuti anak muridnya. Baru berjalan saja sudah tergoda oleh salah satu tokoh. “Anak-anak ini.”

Keempatnya memasuki sebuah tokoh roti dan alat sihir, kedua tokoh ini menyambung. Amara dan Valindra jelas menuju etalase makanan, sedangkan Luusi dan Katrine menghampiri tokoh sihir. Keempatnya sibuk memilih sesuatu seolah tengah berkunjung, mereka lupa oleh misi.

Mr. Jackson masuk ke dalam tokoh alat sihir, ia menemukan dua muridnya sedang memilih sesuatu. “Kalian ini! Ayo, lanjutkan perjalanan!”

Keduanya asik memperhatikan batu sihir, mereka tidak menghiraukan Mr. Jackson. Pria itu menghampiri Valindra dan Amara, ternyata keduanya juga sulit diajak pergi. Akhirnya, Mr. Jackson menggunakan cara terakhir. Ia mengucapkan sebaris mantra, seketika anak-anak muridnya berkumpul dengan wajah cemberut.

“Kau curang, Mr. Jackson!” Amara protes. “Menggunakan mantra penarik agar kami tidak berkeliaran!”

Mr. Jackson tertawa pelan. Ia malas jika harus menariki satu-satu muridnya, sementara mereka tidak memiliki waktu banyak. Lebih baik menggunakan cara praktis agar cepat selesai. Tim kembali berjalan menuju hutan Warlock.

Matahari sudah berada di titik tertinggi, mereka makin cepat berjalan. Tim harus sampai sebelum matahari tenggelam. Perjalanan terasa melambat dan tidak sesauai ekspetasi karena kepadatan penduduk yang memenuhi jalanan. Beberapa kali mereka harus terjebak dalam kerumunan atau ditarik oleh oran lain saat pertunjukan dadakan di jalanan.

Ketika mencapai penyeberangan, mereka berhenti. Hutan Warlock dipisahkan oleh lautan. Agak sulit untuk mencapai tempat itu kalau tidak ada kendaraan. Masalahnya adalah tim tidak memiliki kendaraan lain, sedangkan tempat penyeberangan ini tak ada jasa sewa.

“Jadi, kita salah siapa? Tidak menyewa FlowerWings?” Valindra berdecak. “Sungguh? Kita harus berenang untuk sampai ke hutan Warlock di seberang sana?”

Di antara tim, hanya Luusi yang tidak memiliki sebuah alat atau sayap untuk terbang. Kemungkinan besar Luusi ditarik atau digendong menuju seberang. Tidak ada FlowerWings yang bisa digunakan.

Amara memamerkan deretan giginya. Ia merasa bersalah pada Luusi. Hanya gadis berambut ruby itu saja yang tidak terbang. Ia berpikir, kemudian menghampiri Mr. Jackson. Pria itu asik duduk di atas BotWings sembari mengamati sesuatu.

“Mr. Jackson, tidakkah kau mau meminjamkan Luusi BotWings?” tanya Amara penuh harap.

Alis guru mudah itu naik sebelah. “Kenapa? Bukankah kau menyarankan agar kita tidak menggunakan FlowerWings lagi untuk disewa?”

Amara menggera. Ia seperti disalahkan oleh guru dan teman-temannya. Amara mengeluarkan sapu terbangnya, kemudian menyuruh Luusi duduk di belakang, sementara ia di depan. Namun, sebelum itu, Mr. Jackson menghentikan. “Ada apa?” Amara bingung.

BotWings milik Mr. Jackson sudah kosong, pemiliknya duduk di atas sapu terbang. Luusi diperintahkan menaiki benda itu. Mereka segera menyeberangi lautan. Valindra menggunakan sayap Fairy, Amara dan Mr. Jackson memakai sapu terbang, dan Valindra mengeluarkan sayap Fallen Angel.

“Wah! Lautan ini seperti gemerlap warna-warni! Indah sekali!” pekik Luusi. Ia mengendalikan BotWings agar terbang rendah, sehingga bisa menyentuh air laut. Rasanya menyegarkan.

Mereka bertiga juga melakukan hal yang sama, kecuali Mr. Jackso. Pria itu menggeleng saat para muridnya mulai memperlambat perjalanan lagi. ketika inin menyuruh murid-muridnya kembali, sekelompok lumba-lumba datang.

“Astaga!” pekik Luusi terkejut saat seekor lumba-lumba menyudul BotWings. Ia hampir saja bermain dengan air, kalau hewan laut itu tidak segera menangkapnya. Napas Luusi sudah memburu, ia takut tenggelam. “K-kau membuatku terkejut.”

Entah mengerti atau tidak dengan ucapan Luusi, hewan laut itu mengembalikannya menuju BotWings. Sementara teman-temannya seolah diajak bermain oleh sekelompok hewan ini. Mr. Jackson pun turun tangan.

“Kami akan pergi menuju hutan Warlock, bisakah kau mengantar kami?” tanya Mr. Jackson.

Seekor lumba-lumab biru tua memangus sebagai jawaban. Ia beserta kawannya mengantar Wizard itu menuju hutan Warlock. Namun, sebelum itu, pemimpin lumba-lumba memberi isyarat bahwa tim harus naik ke punggung mereka.

“Kami harus menaiki punggungmu?” tanya Katrine bingung.

Lumba-lumba itu kembali memangus. Satu per satu menaiki punggung lumba, kemudian hewan itu berenang menuju hutan Warlock. Mereka bisa merasakan semilir angin sembari menikmati dinginnya air lautan. Kecepatan hewan ini dalam berenang mempengaruhi waktu kedatangan mereka.

Tak lama, tim sampai di pinggir hutan Warlock. Lumba-lumaba iut mencium masing-masing pipi tim, walau Luusi dan Amara agak geli. Sementara Valindra, Katrine, dan Mr. Jackson nampak biasa saja. Setelah mengucapkan terima kasih, tim memasuki hutan Warlock. Namun, baru selangkah saja, Mr. Jackson sudah terpental.

“Ada apa ini?”

🥀🥀🥀

Bidder Flower [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang