31. Eternal Lamp

91 3 0
                                    

"Astaga. Suara ini sungguh menyiksa." Amara menutup telinga.

Kegelapan sungguh membuat suara-suara di sekitar menjadi-jadi. Tidak ada yang tahu apa pun mengenai makhluk tak terlihat yang tengah mengintai.

Bisikan-bisikan halus mulai mengendalikan keduanya. Mereka berpengangan agar tidak terbawa arus suara.

Valindra dan Luusi belum ditemukan, sulit mencari keduanya dalam keadaan gelap seperti ini. Hal pertama yang Amara lakukan adalah mencoba membuat perisai daun. Ia tidak tahu apakah akan berguna atau tidak. Namun, mencoba tidaklah salah.

Batang pohon mulai membesar, lalu membentuk kubah yang melindunginya dan Katrine. Saat ini, mereka berada di dalam batang pohon. Meski begitu, keduanya masih bisa bernapas.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Amara panik.

Katrine memperhatikan sekitar. Ia kesulitan karena tidak ada yang menasihati, Mr. Jo. Gurunya itu seolah sudah ditunggu kedatangannya di wilayah ini  sehingga tidak dapat masuk ke dalam hutan Warlock. Sebagai Senior, hanya dia yang dapat diandalkan.

Saat melihat celah pada batang pohon, Katrinter teringat lampu abadi yang mereka dapatkan. Benda itu berada padanya. Katrine segera mengeluarkan lampu abadi sebelum kekuatan Amara habis.

"Jangan panik. Jika kepanikan menguasai dirimu, maka habislah kita. Cobalah untuk tenang," nasehat Katrine.

Amara mengangguk pelan. Ia memikirkan kedua temannya. Entah bagaimana nasib Valindra dan Luusi. Ia berdoa agar teman-temannya selamat.

Sementara, Katrine mengusap lampu beberapa kali. Pengetahuan mengenai lampu abadi sungguh minim. Sebuah benda berkekuatan tinggi, tidak akan langsung menuruti perintah. Terdapat ujian untuk menilai pengguna agar mengetahui apakah ia layak atau tidak menggunakan kekuatan Lampu Abadi.

Katrine memejam. Hatinya terlalu gelap, meski pelindung Amara cukup menghilangkan suara-suara aneh itu, Katrine masih diliputi rasa takut, cemas, dan egois. Ia mencoba mengembuskan napas perlahan. Menghilangkan semua pikiran buruk agar apa yang diinginkannya berjalan.

"Kumohon, teman-temanku berada di kegelapan tak berujung.  Ketakutanku adalah kehilangan mereka. Cahayamu bagaikan lentera dalam kegelapan.  Muncullah sinar mentari, hilang semua kegelapan yang menguasai tempat ini," gumamnya. Entah bagaimana, ia bisa mengatakan semua itu.

Setelah mengucapkan sebuah mantra, cahaya putih mulai berpendar. Silaunya membuat Katrine dan Amara menutup mata. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Namun, suara-suara halus itu mulai pergi. Perisai batang pohon sudah lenyap oleh cahaya ini.

Kegelapan mulai sirna, Lampu Abadi sangat berguna di sini. Semuanya terlihat jelas, para Warlock yang bersembunyi mulai berhamburan pergi. Ternyata, semua suara halus itu berasal dari mereka. Para Warlock ingin menyesatkan pengunjung yang datang. Pantas saja, tempat ini dikucilkan dari wilayah lain.

"Ayo, kita cari mereka!"

Amara mengangguk mantap. "Ayo!"

Cahaya Lampu Abadi menerangi jalan keduanya. Ternyata, wilayah Warlock tidaklah seseram itu. Keindahan sekaligus seram membuat tempat ini cukup bagus dan menakutkan. Burung hantu berkeliaran, suara air terjun terdengar, lumpur hidup ada di mana untuk menjebak. Sungguh wilayah penuh jebakan dan akan mudah mati saat tidak mengetahui apa pun kalau mengunjungi wilayah ini.

Rimbunnya hutan membuat Katrine dan Amara harus menyingkirkan dedaunan. Beruntung, Amara mampu mengendalikan tumbuhan. Sehingga, mereka tidak kerepotan.

Saat melintasi dia jalur, mereka kebingungan. Amara menyentuh tanah, kemudian memejam. Ia menggunakan kekuatan akar dalam tanah untuk mendeteksi manakah jalan yang harus dipilih dan tidak berbahaya.

Selama semenit, ia sudah tahu jalur terbaik untuk dilewati.

"Belok kanan terdapat hutan mati. Tidak apa pun kecuali kekeringan yang melanda." Amara menjelaskan sesuai penglihatannya. "Jalur kiri, pepohonan rimbun dan segar tengah menunggu. Manakah jalur yang akan kita ambil, Katrine?"

Katrine mendongak. Gurunya pernah mengatakan untuk mengambil jalan yang penuh perbedaan. "Kita ambil jalan sebelah kiri. Tidak ada makhluk yang ingin datang ke sana kalau tempatnya terlalu indah."

"Maksudnya?" Amara tidak mengerti.

"Tidak ada jebakan yang diletakkan pada tempat indah dan segar. Kecuali usaha untuk membunuh."

Amara mengikuti langkah Katrine. Terkadang, pemikiran gadis itu sungguh di luar nalar. Hal-hal yang Amara pikir adalah simpel, berbeda dengan Katrine yang memikirkan segalanya sampai bentuk terkecil.

Mereka melangkah ke jalur kiri. Benar ucapan Amara, mereka ditunggu oleh hutan lebat, segar, dan indah. Burung-burung berkicau, lebah tengah mengumpulkan madu, dan lainnya. Jebakan manis ini terlalu mudah ditebak bagi Katrine yang cukup berpengalaman dalam menjalankan misi.

Saat melintasi sebuah jalan setapak, Katrine menyuruh Amata berhenti. Ia melempar kerikil. Tak lama, kerikil itu terserap ke dalam lumpur hidup. Jebakan manis yang sangat menyebalkan.

"Perhatikan jalanmu. Kita tidak tahu jebakan apa yang sudah menanti." Katrine memberi peringatan.

Amara mengangguk kaku. "Baiklah."

Mereka berjalan lagi. Namun, sesuatu membuat perjalanan keduanya terhenti. Helaian rambut Luusi berada di tanah. Artinya, Luusi dan Valindra tidak jauh dari sini. Mereka harus bergegas sebelum kedua temannya pergi lebih jauh.

Katrine menarik lengan Amara. Katrine menumbuhkan sayap untik terbang, ia membawa Amara terbang ke langit. Gadis Fallen Angel itu berdecak saat ia tidak mampu menembus rimbunya pohon. Akhirnya, Katrine terbang rendah.

Beberapa menit mereka melakukan perjalanan udara, Katrine mulai kelelahan. Ia menurunkan Amara. Mereka beristirahat di batang pohon yang cukup besar. Beruntung, Lampu Abadi tidak redup. Keduanya sangat bergantung pada cahaya benda ini.

Amara memberikan sebotol air pada Katrine. Ia mulai menyentuh tanah, kemudian menyuruh akar di bawah tanah mencari dua gadis. Kekuatan ini sungguh menguras tenaga. Maka dari itu, ia tidak bisa menggunakannya sembarangan. Amara berkonsentrasi agar hasilnya maksimal. Setengah mana-nya mulai menghilang. Napasnya tersengal-sengal. Amara pun menemukan keberadaan Valindra dan Luusi.

"Aku menemukan mereka!" Amara memekik kesenangan. "Arah utara. Sekitar lima menit terbang, mungkin akan sampai!"

Sebuah harapan, Katrine tersenyum tipis saat temannya mampu diandalkan. Katrine bangkit, sisa tenaga akibat terbang cukup lama membuatnya harus mengisi tenaga. Walau tidak sampai seratus persen, setidaknya terbang selama lima menit tidaklah sulit.

Katrine menumbuhkan sayap. Semangat membara membuatnya tanpa sadar melepas kekuatan es. Pijakannya mulai membeku. Ia mengepakkan sayap beberapa kali, kemudian terangkat.

"Ayo, berpegangan pada kakiku."

Amara memegang kaki Katrine, ia dibawa terbang. Amara kedinginan, Katrine mengeluarkan kekuatan tanpa sadar. Murid khusus seperti Katrine sungguh berbahaya kalau tidak mengendalikan kekuatan.

Ketika wajah Amara mulai pucat, mereka menemukan kedua teman yang sedari tadi dicari. Valindra dan Luusi berada di atas batang pohon raksasa. Keduanya berusaha menghalangi Warlock yang datang terus menerus.

"Valindra! Luusi!" Amara melambaikan tangan.

Katrine yang geram, akhirnya menembakkan es pada Warlock yang menyerang adik tingkatnya.  Ia mengucapkan sebuah mantra. Barisan es mulai menyerang. Para Warlock pun kabur.

Akhirnya, setelah perjalanan penuh bahaya, mereka bertemu di titik ini.

"Akhirnya! Kita berkumpul!"

Bidder Flower [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang