“Ada apa ini?” Mr. Jackson bangkit. Ia mengangkat tangan, seolah menyentuh sesuatu. Tak lama kembali terpental. Sementara, tim sudah panik tidak karuan.
“Apa terjadi sesuatu, Mr. Jackson?” Amara membantu sang guru untuk duduk.
Mr. Jackson meringis. Hutan Warlock seolah menolak kedatangannya, tetapi tidak untuk anak-anak muridnya. Kedatangan mereka seolah sudah diperediksi penghuni wilayah ini. Saat ini Mr. Jackson tidak mungkin masuk ke dalam, ia harus menunggu di luar.
“Penghuni hutan ini sudah menyadari kedatangan kita.” Mr. Jackson memberitahu.
Luusi mengernyit. “Apa maksudmu, Mr. Jackson?”“Artinya hanya kita berempat yang diizinkan masuk, Mr. Jackson harus menunggu di sini,” jawab Katrine. Ia sedikit memahami maksud gurunya. Di Fallen Angel Kingdom tentu memiliki sistem seperti ini, sehingga Katrine mengetahuinya.
“Kita akan meninggalkan Mr. Jackson di sini, begitu?” tebak Valindra.
Amara mengangguk. “Benar.”
Mr. Jackson bangkit. Ia tidak khawatir pada dirinya sendiri, tetapi anak-anak muridnya pergi menghadapi bahaya. Sementara, ia tidak bisa berbuat apapun. Misi harus terus berjalan bagaimana pun caranya. Mr. Jackson mengusap kepala tim satu per satu. “Jangan pernah mendengar sesuatu yang bersifat menuntun. Bisa saja itu adalah jebakan. Mengerti?”
“Mengerti, Mr. Jackson!”
Guru muda itu mengangguk. “Pergilah, bawa kemenangan. Akan kuberi hadiah untuk kalian sepulang dari sini.”
Tim menggangguk, kemudian berjalan memasuki hutan Warlock. Suasana tempat ini memang terasa berbeda, tidak seperti di luar sana. Wilayah ini seolah memiliki pelindung sendiri, tidak ada penjagaan terhadap hutan Warlock karena tempat ini masih ditempati oleh warga Wizard, hanya berbeda status saja.
Jika di Caldenia City dihuni oleh Wizard biasa, maka hutan ini adalah tempat khusus para Wizard berkekuatan hitam yang memiliki sebutan Warlock. Hanya itu sebagai pembadanya. Terkadang para Warlocksenang sekali berbuat jahil pada siapa saja yang datang ke wilayah ini. Maka dari itu Mr. Jackson memberi peringatan di awal. Ia yakin jika Amara bisa menuntun tim menuju jalan yang benar.
Suara-suara di sekitar membuat bulu roma seketika berdiri. Tidak hanya itu, sesuatu seperti memperhatikan mereka, tetapi tidak terlihat. Amara tetap berjalan ke depan tanpa peduli apapun. Ia hanya harus fokus.
“Teman-teman, tolong jangan dengarkan apapun. Kalian harus fokus pada jalan,” peringat Amara tegas.
Tim saling berpegangan seolah tengah menyeberang. Mereka mengikuti langkah Amara. Namun, makin lama berjalan cahaya terasa menghilang. Sekeliling mereka gelap, tim segera berhenti. Mereka saling memunggunggi satu sama lain.
Angin terasa dingin dan koak gagak terdengar di segala penjuru. Amara menggunakan kekuatan untuk menciptakan sebuah cahaya. Mereka kembali berjalan lagi. Luusi bisa melihat dalam remang-remang sesuatu di beberapa pohon. Sebuah gambar topi dan tongkat sihir.
“Apa semua pohon di sini memang memiliki gambaran topi dan tongkat, Amara?” tanya Luusi penasaran.
Amara mengangguk. “Ya, kurang lebih seperti itu. Ini pertama kalinya diriku masuk ke dalam hutan Warlock.”
Seketika tim berhenti lantas menatap Amara tajam. Jika baru pertama kali bagaimana caranya mereka akan sampai? Amara memang ajaib! Bisa saja mereka tersesat di suatu jalan. Walau tim memiliki peta dari Mr. Jo bukan berarti mereka terhindar dari tersesat. Hutan ini cukup luas dalam penggambaran peta. Titik mereka berdiri tidak diketahui di mana letak pastinya. Ini agak merepotkan. Belum lagi kegelapan makin pekat.
Amara meringis. Ini pertama kalinya ini masuk ke dalam sini, tetapi memahami seluk-beluk tempat ini ia merasa cukup. Mr. Jo sudah memberitahunya beberapa hal mengenai tempat ini ditambah beberapa buku sebagai referensi. Hutan ini memang tidak dijaga ketat seperti di gerbang utama, hanya saja tidak ada yang berani mendekati wilayah ini. Itulah alasannya tidak pernah datang ke sini, walau berasal dari negeri ini sekalipun.
“Jangan khawatir begitu. Mr. Jo sudah memberitahuku seluk-beluk tempat ini secara merinci,” kata Amara memberitahu.
Valindra mendesis. “Jika kita sampai tersesat maka semua ini salahmu.”
Amara mengangguk. Mereka kembali berjalan, tetapi kali ini terasa sulit. Suara-suara bisikan makin terdengar mengangguk. Penerangan juga hampir menghilang, tenaga Amara hampir terkuras semuanya. Di tengah perjalanan, mereka berhenti.
Cahaya menghilang, tersisa kegelapangan tak berujung. “Maaf teman-teman. Diriku kehabisan tenaga.” Keringat membasahi kening gadis penyihir itu.
“Bukan masalah, mungki kita harus ….” Ucapan Katrine harus terhenti saat Valindra berdiri dengan tatapan kosong menuju suatu arah.
Luusi bangkit mengejar Valindra, ia menyuruh Katrine agar menemani Amara. Dalam kegelapan, ia kesulitan berjalan, sesekali tersandung oleh kerikil. Luusi mengeluh karena tidak memiliki cara agar bisa meihat sekeliling. “Astaga, di mana Valindra!”
Kau berjalan saja, Luusi. Diriku akan mengarahkanmu. Elias memberitahu.
“Kau mengetahui jalannya?” Luusi mengernyit. “Bagaimana bisa?”
Elias berdecak. Sesuatu yang kau lihat tentu diriku akan melihatnya juga, tetapi kalau penglihatanmu tidak mampu menembus gelapnya hutan, maka diriku tidak akan seperti itu.
Luusi mencibir. “Kenapa tidak sedari tadi saja kau gunakan kemampuan itu? Lututku terasa sakit. Sepertinya terluka akibat—"
Kau ini bodoh atau lupa? Kekuatanmu adalah darah. Seberapapun kau terluka, semua darahnya akan menyerap lagi ke tubuhmu. Elias kesal.
Perjalanan ini membuat Luusi lupa akan kekuatannya sendiri. Ia teringat di awal mengetahui roh darah dalam tubuhnya serta tubuh yang bisa menyerap darah. Entah bagaimana ia bisa lupa fakta bahwa darah dalam tubuhnya tidak akan berkurang, kecuali pada kondisi tertentu.“Baiklah, terima kasih sudah mengingatkanku, Mr. Elias.”
Elias berdecih. Jalan saja, jangan banyak bicara kalau tidak ingin terjatuh lagi.
Luusi mengikuti ucapan Elias, ia berjalan seperti menanjak kadang menurun. Entah bagaimana tanah ini terbentuk, ia merasa dipermainkan oleh topografi wilayah ini. Luusi berhenti saat Elias menyuruhnya diam. Sesuatu di depan sana seperti berbahaya, kata Elias. Namun, ia tidak bisa berhenti.
“Bukan masalah, harusnya Valindra tidak jauh dari ini.”
Elias kembali menyuruh Luusi berjalan. Gadis ruby itu melangkah sepelan mungkin, ia merasakan akan ada sesuatu di sini. Ketika melangkah lagi, kakinya seolah terseret menuju sesuatu. Pikirannya kalut seketika.
Luusi, berpegangan pada akar besar di sebelahmu! Elias memekik tertahan.“Semua ini salahmu, Elias!”
Luusi seperti orang buta, meraba-raba sekitar tanpa tahu apa yang tengah ia tarik. Tubuhnya seolah terisap dalam kubangan lumpur hidup. Luusi mencoba menarik sebuah akar sekuat tenaga, kemudian memanjat dengan akar itu. perlahan-lahan tubuhnya terangkat, tiap detiknya ia lalui dengan jantung berdetak kencang.
Setelah, sepuluh menit mencoba ke luar dari lumpur hidup, akhirnya Luusi bisa ke luar. Jantungnya seolah berpesta ria di dalam sana akibat memacu adrenalin. Luuai tidak tahu mengapa Valindra bisa meloloskan diri dari lumpur hidup ini. Beruntung pakaian misi tidak akan kotor meski ia sudah bermandikan lumpur.
Luusi berjalan lagi, ia harap setelah ini bertemu Valindra. Namun, beberapa langkah ia mendengar seseorang menangis. “Astaga. Valindra, kaukah itu?”🥀🥀🥀
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidder Flower [TAMAT]
FantasyLuusi Lancaster, salah satu murid terpilih dari ras manusia. Ia diundang menjadi murid di Kalzar Academy, yaitu sekolah khusus untuk menampung calon murid dari seluruh ras dengan kekuatan berbeda. Di tahun pertama, Luusi mendapat misi untuk mencari...