4. Sekolah Baru

272 16 0
                                    

Arin menunduk, melangkah di belakang sang pacar. Ini hari pertamanya ia masuk ke sekolah barunya. Arin bisa merasakan murid-murid menatapnya penasaran. Mungkin mereka bingung dengan sosok nerd di belakang Erlan, cowok berwajah dingin itu. Arin memang selalu berpenampilan seperti ini. Kepang dua, kaca mata berbingkai besar, tas gemblok, kaus kaki panjang, dan jam tangan.Yang berbeda dari Arin hanyalah rambutnya yang berwarna pink.

"Selamat pagi, Erlan," sapa seorang siswi membuat langkah mereka terhenti.

Erlan tak menyawab. Ia hanya menghela napas malas, sementara Arin menahan tawanya saat melihat dandanan siswi itu.

"Eh, Cupu! Ngapain lo senyum-senyum gitu?!" bentak siswi itu.

Arin menggeleng. Ia sudah tak tahan lagi. Tawanya pun pecah. "Alis lo tuh tinggi sebelah!"

"Ayo, Seblak!" seru Erlan. Bisa runyam kalau mereka jambak-jambakan karena mulut gadisnya. Erlan melanjutkan langkahnya, meninggalkan Arin yang melotot ganas ke arahnya.

"Santen, lo nyebelin!" Arin meraung kesal. Ia menghentak-hentakan kakinya lalu berlari menyusul sang pacar. "Woy! Santen Basi! Tungguin!"

Arin merengut saat Erlan tak juga berhenti, tapi malah mempercepat langkahnya. Ah! Ia punya ide! Pasti Erlan akan langsung berhenti.

"Aduh!!" ringis Arin keras. Ia sengaja mengencangkan suaranya agar Erlan dengar. Ia pun menjatuhnya dirinya ke lantai.

Erlan langsung berhenti mendengar suara ringisan Arin. Ia berbalik. Matanya melebar saat melihat gadisnya terduduk di lantai. Ia pun langsung berlari menghampiri gadisnya. "Kenapa, Seblak? Apanya yang sakit?" tanya Erlan kelewat cemas.

Arin bersorak dalam hati. Benarkan perkiraannya. Ia tersenyum menatap raut wajah khawatir dari pacarnya itu. Sebuah kekehan pun lolos dari mulutnya. "Lo lucu banget sih, Santen," kata Arin sambil mencubit hidung Erlan.

Erlan mendengus. Ternyata Arin hanya mengerjainya.

"Gak usah merajuk gitu, Santen. Lagian, jalannya cepet banget kayak takut ketinggalan kereta. Kalau gue punya asma gimana? Bisa semaput gue ngejar lo," ucap Arin.

Erlan menghela napas. Benar kata gadisnya tadi. Beruntung gadisnya tak punya penyakit asma. Erlan bangkit lalu mengulurkan tangannya. "Ayo, Seblak."

Arin membalas uluran tangan Erlan. Senyumnya mengembang saat Erlan menggenggam tangannya erat. Sebentar lagi pasti akan ada gosip tentang dirinya. Semakin banyak pula hatersnya nanti. Taukan haters? Itu loh pembantu paling ikhlas gak di gaji, tapi rela ngurusin hidup kita.

"Serius gak ada yang sakit, Seblak?" tanya Erlan.

Arin menengok lalu menggeleng. "Gak kok, Santen. Gue cuma bercanda doang tadi."

Kini mereka pun telah sampai di ruangan kepala sekolah.

"Masuk gih, Seblak!"

Arin mengangguk lalu masuk ke dalam. Ia berbalik saat mengingat sesuatu. Ternyata Erlan sudah melangkah pergi, padahal ia ingin minta Erlan untuk menunggunya. Arin pun kembali ke dalam. Sudah ada seorang wanita di dalam sana.

"Pagi, Bu," sapa Arin.

"Pagi, kamu Arin?"

Arin mengangguk.

"Silakan duduk!"

Arin pun duduk.

"Saya Bu Ratna. Kamu sudah tau kan kalau kamu masuk eskul drama?" tanya Bu Ratna to the point.

Arin kembali mengangguk.

"Kamu masuk eskul drama itu buat dispensasi rambut kamu itu," jelas Bu Ratna.

Bad Nerd #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang