Fungsi g:R -> dan h:R -> R ditentukan oleh g(x)=2x dan h(x)=x²+2
Jika (hog): 27, tentukan nilai xArin menatap deretan soal di papan tulis. Spidol untuk menjawab soal masih tertahan di udara. Mungkin sebentar lagi akan kering karena tak juga ia mengoreskan jawaban di papan tulis. Bukan hanya spidol yang akan kering, tapi sepertinya sebentar lagi ia akan muntah di depan kelas. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Perut Arin mual. Deretan soal itu semakin mengabur dari pandangannya. Demi apa pun, Arin ingin sekali menghabisi seseorang yang telah menemukan soal itu. Memangnya tak ada yang lebih mudah apa? Seperti berapa 2x5!
"Arini," panggil Pak Heru. "Sampai kapan kamu mau diam begitu? Ayo jawab."
"Pak," kata Arin lirih.
"Iya, kenapa Arini?"
"Kalau Bapak ketemu dengan Matematika, bilang sama dia kalau X -nya udah pergi. Jadi, suruh dia move on agar gak bertanya lagi tentang X. Saya benar-benar lelah dan pusing menemukan X nya pak. Kalau gak suruh dia cari sendiri, biar cepat dewasa," ceplos Arin. Ia benar-benar menyerah. Kalau ada kamera mungkin ia sudah melambaikan tangannya.
Pak Heru menggeleng melihat tingkah murid barunya itu. "Yasudah kamu duduk sana!"
"Dari tadi kek, Pak, untung saya belum pingsan di depan, kan repot kalau saya sampai pingsan," kata Arin riang. Ia kembali duduk di bangkunya
"Kalau kau pingsan, tinggal aku gelindingkan ke luar," sahut Pak Heru di sambut gelak tawa murid sekelas. Pak Heru pun menyuruh murid lain untuk menyelesaikan soal tadi. Setelah selesai ia kembali menjelaskan.
Arin menguap. Dia bingung, Pak Heru itu menjelaskan apa malah mendongeng. Tanpa sadar ia pun terlelap.
"Rin, bangun."
Arin membuka matanya saat tidurnya terusik. Didapatinya Chlora sedang menggoyangkan tubuhnya berusaha membangunkannya. Ia kembali menguap. Matanya mengerjap beberapa kali. "Gue ketiduran yah, Chlo?"
"Enggak kok, cuma merem doang tadi," cibir Chlora membuat Arin terkekeh. "Pelajaran Pak Heru udah kelar, tapi ada PR, Tuh catet!"
"Thanks God," gumam Arin. Ia pun mulai menyalin catatan Chlora.
Tak lama kemudian seseorang pun kembali masuk ke kelas dengan membawa biola tepat Arin telah menyelesaikan salinannya. Arin mendongak. Dahinya mengerut melihat orang yang tadi masuk itu.
"Pagi semua," sapa orang itu. "Mungkin kalian bingung siapa saya. Nama saya Gading, bukan Gading Martin apalagi Gading Gajah. Saya guru musik pengganti. Karena masih tahap pengenalan, kita akan membahas tentang musik yang ringan-ringan saja."
Pak Gading pun memainkan biola yang ia bawa. Gesekan biola mengalun, membuat ruang kelas hening seketika untuk menikmati alunan biola itu. Pak Gading menghentikan permainannya. Ia tersenyum menatap murid-murid yang memandangnya takjub. "Ada yang tau tadi musik apa?"
"Simfoni No. 5 dalam C minor op. 67," jawab Arin lugas.
Pak Gading menjentikan jarinya. Senyumnya melebar. "Benar. Kamu tau sejarahnya?"
Arin mengangguk. Ia bahkan hapal di luar kepala. Oma-nya sangat jago dalam bermain biola. Tak jarang Oma pun menceritakan sejarah dari berbagai musik klasik itu. Yaps, Arin lebih tertarik dengan seni dari pada dengan segala macam perhitungan.
"Simfoni No 5 dalam C minor op 67 karya Beethoven. Simfoni ini mestinya nomor satu karena mulai diciptakan pada tahun 1800. Namun, karena baru rampung pada April tahun 1807-1808, membuat nasibnya harus menjadi nomor 5. Anton Schindler, penulis biografi Beethoven menyebut simfoni ini sebagai simfoni takdir." Arin mengambil napas sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Nerd #3
أدب تاريخيLagi-lagi Arin harus pindah sekolah karena di-DO. Arin sih tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah ia dimasukan ke sekolah yang sama dengan Gio dan Erlan. Dua cowok yang sangat, ah sudahlah, nanti kalian juga tau. Tak hanya itu, ia juga terpaks...