"Alien," panggil Ara pelan.
"Apa, Nona?" tanya Vando. Saat ini ia sedang memeriksa kerjaannya di kamar. Malam mulai larut. Namun, matanya belum juga mengantuk.
"Arin kenapa?" tanya Ara balik.
"Lah, emangnya dia kenapa, Nona?" Vando bingung.
"Dari pulang sekolah dia gak kayak biasanya. Kamu tanya gih sana!" suruh Ara.
"Kenapa aku?" protes Vando.
"Kamu lebih bisa ngambil hatinya, Alien," jelas Ara. "Buruan sana! Dia ada di balkon tuh! Udah malam, gak bagus buat tubuhnya nanti. Bawain dia jaket. Terus kamu tanya. Setelah itu suruh dia tidur."
"Cium dulu," pinta Vando.
"Jangan kekanakan, Alien!" ketus Ara.
"Emangnya sejak kapan aku gak kekanakan, Nona?"
Ara menyerah. Dikecupnya pipi Vando sekilas. "Sana buru!"
"Siap, Komandan!" seru Vando sambil memberi hormat. Senyumnya mengembang. Ia pun mengambil jaket lalu menuju balkon.
Arin masih asik menatap langit malam. Seperti Mommy-nya, ia selalu suka suasana malam yang dihiasi oleh lampu-lampu yang menyala. Ia tersentak saat merasakan sesuatu menyelimuti pundaknya. "Daddy," kata Arin saat menengok dan mendapati Vando di sampingnya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Vando lembut.
"Gak ada apa-apa kok, Dad," jawab Arin singkat.
Vando terkekeh. Dicubitnya pelan hidung Arin, membuat pasokan udara ke paru-paru Arin mendadak terhenti. "Kamu gak bisa bohong sama Daddy, Sayang. Ada apa?"
Arin meronta. Ia mendelik sebal saat cubitan Daddy-nya terlepas. "Something, Dad."
"Something apa?" tanya Vando
"Sesuatu, Dad. Masa Daddy gak tau sih?" cibir Arin.
"Astaga! Daddy tau. Maksudnya ada sesuatu apa, Sayang? Kok kamu nyebelin sih?" gerutu Vando. Sebenarnya yang salah siapaaaaa?
"Kan gen dari Daddy," ceplos Arin.
Vando tertawa. Diacak-acak rambut anak gadisnya itu. "Kamu menang. Jadi?"
Pandangan Arin kembali lurus ke depan. Matanya pun kembali menerawang. "Aku lagi mikir, Dad."
"Terimakasih Tuhan. Akhirnya kamu bisa mikir juga," seru Vando riang.
"Emangnya selama ini aku gak pernah mikir apa?" gerutu Arin. Ia kesal! Kenapa Daddy-nya menyebalkan. Memangnya kamu gak menyebalkan Rin? Ingat buat jatuh pasti ke bawah!
"Biasanya kan enggak," jawab Vando. Ia berkata benar kok. Anaknya yang satu itu lebih bersikap ke ceplas-ceplos. Beda dengan si Gio yang terlampau pemikir.
"Daddy, jadi mau dengar cerita aku gak nih?" tanya Arin kesal. Serius! Apa perlu Daddy-nya sejujur itu? Menyebalkan!
Vando mengangguk. Ia siap mendengarkan apa masalah yang membuat anaknya menjadi murung seperti ini.
"Daddy ingatkan aku dimasukin eskul drama sama Mommy?" tanya Arin.
Vando kembali mengangguk.
"Jadi tadi aku ketemu sama anggota eskul drama, Dad. Yang bikin sedih ternyata anggota eskul drama cuma ada 5 orang termasuk aku. Mereka minta tolong sama aku buat cari orang yang mau masuk drama. Kalau dalam waktu sebulan anggota drama belum nambah juga, eksul drama akan dihapus," jelas Arin.
"Kok cuma bisa ada 5 orang doang, Sayang?"
"Katanya semua ini gara-gara Kaila, Dad. Dia selalu bikin pertunjukan drama gagal dan eskul drama jadi bahan bullyan. Akhirnya satu-persatu pun pada keluar dari pada dibully sama Kaila. Aku gak tau kenapa Kaila bisa begitu. Aku bingung," lanjut Arin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Nerd #3
Historical FictionLagi-lagi Arin harus pindah sekolah karena di-DO. Arin sih tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah ia dimasukan ke sekolah yang sama dengan Gio dan Erlan. Dua cowok yang sangat, ah sudahlah, nanti kalian juga tau. Tak hanya itu, ia juga terpaks...