Bintang menatap bangunan di depannya. Bangunan di mana tempat ia menimba ilmu. Bangunan yang membuatnya mati-matian belajar agar bisa mendapatkan beasiswa penuh. Beberapa murid menatapnya bingung saat melihat dirinya hanya berdiri di depan gerbang sekolah. Jam sudah menunjukan pukul 06.45 WIB, 15 menit lagi sebelum bel masuk sekolah, tapi Bintang masih belum juga beranjak dari tempat di mana ia berdiri. Untuk kesekian kalinya Bintang menghembuskan napas kasar.
"Semangat," gumam Bintang pada dirinya sendiri. Karena saat kakinya melangkah masuk, semuanya akan berbeda. Percayalah, tak semua murid di sekolah ini menyukai dirinya. Apalagi ia hanyalah siswa miskin yang bisa bersekolah gara-gara beasiswa. Mungkin sebagian dari mereka akan tetap menyapa, tapi percayalah mereka tidak seramah itu. Sapaan mereka hanyalah untuk mencari keuntungan saja, seperti saat ada tugas yang sulit atapun tugas lainnya, dan mereka akan siap menghunuskan pedang mereka saat ia lengah. Mereka yang menyatakan diri sebagai kawan, tapi nyatanya mereka adalah lawan. Namun, ada juga yang terang-terangan membenci dirinya. Bintang hanya bisa berharap ia tidak bertemu dengan mereka, karena ia tak mempunyai cukup tenaga untuk melawan. Namun, harapan tinggalah harapan. Langkah Bintang terhenti saat Lora dan Fia menghadangnya. Dua sahabat yang terlihat sangat jelas membenci dirinya. Bintang hanya tau bahwa Lora dan Fia adalah dua sahabat yang selalu menempati posisi teratas sebelum kehadirannya.
"Selamat pagi. Rakyat Jelata," sapa Fia.
"Pantesan yah tadi hidung gue mencium kayak bau-bau sampah, eh ternyara lo toh yang datang," kata Lora.
Bintang tersenyum samar. Sapaan itu sudah biasa ia dapatkan dari keduanya.
"Yang bau sanpah itu kalian," kata seseorang dari belakang Lora dan Fia.
Lora dan Fia pun menoleh ke sumber suara tersebut.
Nana melangkah menghampiri Bintang melewati Lora dan Fia yang menatapnya tajam. "Ke kelas yuk, Bin," ajak Nana. Ia pun menarik Bintang pergi.
"Cocok sih anak angkat bergaulnya sama rakyat jelata," ceplos Fia. "Harusnya lo harus sadar, Na, lo itu cuma anak angkat dari pemilik yayasan ini, kalau bukan karena itu, lo juga sama kayak rakyat jelata yang satu itu. Jadi jangan belagu!!"
Langkah Nana terhenti. Ia membalikan tubuhnya menatap Fia datar. "Seenggaknya walaupun gue anak angkat, gue dibesarin dengan penuh kasih sayang," sahut Nana. Ia bersenyum sinis. "Jangan kira gue gak tau siapa lo, Fia. Ayo, Bin!"
Nana dan Bintang pun kembali melangkah.
Tangan Fia terkepal. Emosinya sudah berapa dipuncak. Ia tak boleh kalah.
Nana dan Bintang pun memasuki ruang kelas mereka lalu duduk di bangku masing-masing. Tak lama kemudian, Fia dan Lora pun masuk juga.
"Na," panggil Bintang.
Nana menengok. "Apa?"
"Lo gak takut dikucilin karena berteman sama gue?" tanya Bintang hati-hati. Ia takut menyinggung satu-satunya teman yang ia miliki.
"Ngapain harus takut? Lagi pula itu mah urusan mereka," jawab Nana dengan santai. "Gak peduli lo mau hitan, putih, pendek, tinggi, bodoh, pinter, kaya, ataupun miskin, selagi lo baik sama gue, gue juga akan baik sama lo, karena gue adalah cerminan dari orang. Apa yang mereka anggap tentang gue, maka itu lah yang akan mereka rasain."
"Gue gak butuh teman yang munafik, senyum di depan, tapi mencibir di belakang. Gue cuma butuh teman yang mau kalau gue ajak duduk bersama dalam diam, karena ada kalanya gue gak butuh didengarkan, tapi gue butuh ditemani seseorang yang mau duduk bersama gue dalam diam, sebagai bukti kalau gue itu gak sendiri," lanjut Nana.
"Makasih yah," ungkap Bintang dibalas senyuman Nana.
Waktu terus berganti. Bel pulang pun berbunyi. Bintang mulai merapihkan peralatan belajarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Nerd #3
Fiksi SejarahLagi-lagi Arin harus pindah sekolah karena di-DO. Arin sih tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah ia dimasukan ke sekolah yang sama dengan Gio dan Erlan. Dua cowok yang sangat, ah sudahlah, nanti kalian juga tau. Tak hanya itu, ia juga terpaks...