Talia mempercepat langkahnya dengan wajah menunduk. Ia berusaha mengabaikan cibiran dan hinaan yang terdengar di telinganya. Ia tak tau sampai kapan akan bertahan. Rasanya begitu menyakitkan. Hanya karena satu kesalahan yang ia sendiri yakin itu bukan salahnya, sekarang para siswa menghinanya terang-terangnya. Iya, hanya sebuah kata -kata yang terlontar dari mulut mereka, tapi entah kenapa rasanya begitu sangat sakit. Talia termenung saat sudah berada di depan kelasnya. Kasak-kusuk dari dalam kelas bisa ia dengar dengan jelas. Ia menghembuskan napas, mencoba menyakinkan dirinya kalau semua akan baik-baik saja. Namun, langkah Talia kembali terhenti saat baru beberapa langkah memasuki kelasnya. Jantung Talia berdegub saat suasana kelas menjadi hening dan semua mata menatapnya dengan tatapan mencela.
"Masih berani juga dia nampakin mukanya di sekolah."
"Iya! Dasar gak tau malu!"
"Gara-gara dia tuh nama sekolah kita rusak!"
"Cewek tolol! Tempatnya dia tuh di neraka bukan di sini."
"Mati aja sana!"
"Hidup juga dia gak berguna!"
Dada Talia terasa sesak. Dengan sekuat tenaga ia menahan laju air matanya. Ia tak sanggup. Talia pun berbalik dan kembali keluar dari kelas. Ia terus melangkah. Baginya, neraka adalah kelasnya itu sendiri. Talia tak tahu mengapa kakinya membawa dirinya ke atap sekolah. Setidaknya masih ada tempat untuknya di mana ia bisa duduk dengan tenang. Talia menatap ke bawah. Bel masuk belum berbunyi. Para siswa masih berkeliaran di luar kelas. Talia tersenyum getir. Sekarang semuanya telah berbeda. Bahkan sahabatnya selama ini pun ikut menjauhinya.
Talia tertawa pelan. Ia masih ingat kejadian itu. Kejadian di mana semuanya bermulai. Ia tak tau kalau lomba drama yang ia pimpin akan hancur berantakan. Lantas, semua pun menyalahkannya. Bahkan guru pun ikut menyalahkannya, terlebih lagi Bu Ratna. Kata-kata kecewa itu masih terngiang jelas di telinganya. Sampai berapa lama lagi ia harus berpura-pura tegar? Ia lelah.
"Lo harusnya udah gak berada di sini, Talia," kata seseorang membuat Talia tersentak.
Talia berbalik dan mendapati sosok yang masih ia anggap sahabat itu. Tatapan sahabatnya sudah tak seperti dulu. Tak ada lagi sinar hangat itu. Sekarang yang ada hanya tatapan hina yang terlihat.
"Kenapa, Ican?" tanya Talia pelan.
"Kenapa lo tanya?" Ican melangkah mendekati Talia. "Karena lo gue harus kehilangan semuanya! Sekarang lo rasain kan?"
Talia menatap Ican. Otaknya sedang mencerna kata-kata Ican tadi. Otaknya seperti memberikan ia pertanda, walau Talia tak yakin. "Apa lo yang udah bikin lomba drama hancur?"
Ican mendengus. Ia bersedekap. "Iya," jawab Ican dengan kalem.
"Tapi kenapa?" Talia masih tak mengerti.
"Karena gue gak suka!" seru Ican. "Lo rebut perhatian Bagas dari gue! Lo rebut posisi ketua drama dari gue! Gue muak selalu berada di posisi kedua setelah lo mulu!"
"Bukannya kita sahabat?" tanya Talia. Ia masik tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Oh iya yah, kita sahabat yah?" Ican terkekeh. "Tapi sayangnya gue gak nganggep lo sahabat. Lo itu cuma bahan gue agar gue bisa deket sama Bagas dan dapetin posisi ketua drama, tapi apa? Semuanya percuma dan gue udah muak. Jadi sebelum gue tambah muak dan bikin lo tambah menderita lagi, mending lo pergi dari sekolah ini kalau perlu pergi buat selama-lamanya."
Air mata yang tadi ditahan Talia akhirnya menetes. Rasanya sangat sakit saat orang yang kita percayain sebagai sahabat malah menusukkan pisaunya. Bahkan rasanya jauh lebih sakit dari pada hinaan yang di dapat dari orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Nerd #3
Fiksi SejarahLagi-lagi Arin harus pindah sekolah karena di-DO. Arin sih tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah ia dimasukan ke sekolah yang sama dengan Gio dan Erlan. Dua cowok yang sangat, ah sudahlah, nanti kalian juga tau. Tak hanya itu, ia juga terpaks...