25. Cicak dan Rindu

81 3 0
                                    

Gio bergerak resah di kasurnya. Semalam suntuk ia tidak bisa memejamkan mata dengan nyenyak. Otaknya seakan tak mau berhenti bekerja. Ia terus kepikiran Arin hingga pagi menjelang. Otaknya terus bertanya, apa Arin tidur dengan nyenyak tadi malam? Siapa yang menemani Arin, kalau Arin mimpi buruk? Apa Arin baik-baik saja di sana? Gio mengusap rambut gusar. Ia benar-benar pusing memikirkan itu. Ia sudah mencoba menghubungi Arin, tapi ternyata nomor kembarannya itu tidak aktif. Sepertinya sang Daddy benar-benar marah kali ini.

Gio memeluk gulingnya. Guling yang sama dengan Arin. Guling bergambar kartun Puroro berwarna biru, sedangkan Arin berwarna merah muda. Guling yang telah menjadi kesayangan mereka. Guling kado ulang tahun dari sang daddy saat usia mereka 15 tahun. Aneh kenapa sang daddy memberi guling saat ulang tahun mereka? Memang. Daddy mereka memang aneh! Bahkan masih ada lagi kado ulang tahun teraneh dari sang Daddy saat mereka ulang tahun. Contohnya seperti satu lusin kaus kaki bergambar berbagai macam kartun dan kado yang selalu ia terima akan selalu sama dengan Arin.

"Shit!" umpat Gio. Memikirkan itu membuatnya semakin rindu dengan kembarannya. Apalagi sekarang hari sabtu. Quality time nya bersama Arin. Mereka akan melakukan kegiatan apapun berdua, dan hari minggu adalah quality time Arin bersama Erlan, walau ia selalu merecoki acara mereka berdua.

Gio kembali flashback waktu Arin pertama kali pacaran dengan Erlan. Ia selalu menguntit ke mana pun mereka pergi. Berlebihan? Memang. Ia hanya waspada karena Erlan itu cuek. Ia hanya takut Erlan tak peduli saat kembaranya kenapa-kenapa, jadinya ia bisa bergerak cepat membantu kembarannya. Namun, nyatanya Erlan itu posesif parah. Walau terlihat cuek, sebenarnya Erlan itu pencemburuan apa pun yang menyangkut dengan kembarannya. Dengan dirinya saja Erlan masih suka cemburu.

Gio beranjak dari kasur. Ia benar-benar bosan. Ia pun keluar kamar. Di dalam kamar hanya membuat otaknya semakin suntuk.

"Mau ke mana, Sayang?" tanya Ara saat melihat Gio.

"Aku mau ke rumah Erlan, Mom," jawab Gio.

"Sarapan dulu!" perintah Ara. "Mommy udah siapin kamu sarapan."

"Nanti aja, Mom" tolak Gio. Ia sedang tak mood makan hari ini.

"Gak ada nanti-nantian, Sayang. Kalau kamu sakit gimana? Nanti Arin sedih ngeliat kamu sakit dan akan menyalahkan dirinya," kata Ara.

Langkah Gio langsung terhenti. Benar kata Mommy. Ia berbalik dan melangkah menuju meja makan.

"Good, anak Mommy." Ara terkekeh. Membujuk si kembar sebenarnya sangatlah mudah. Tinggal mendramatiskan salah satu dari mereka saja semua akan beres.

Gio mendengus. Ia pun memakan sarapan yang telah dibuatkan sang Mommy.

"Gio," panggil Ara. "Mommy mau tanya serius sama kamu."

Gio mendongak menatap sang Mommy yang sedang menatapnya juga. "What, Mom?"

"Kelak nanti kalian akan dewasa dan menikah. Lantas, bagaimana kalau Arin menikah lebih dahulu dan tinggal bersama suaminya kalau seperti ini saja kamu udah uring-uringan, Sayang?"

Kegiatan makan Gio terhenti. Ia terdiam.

"Kalian gak mungkin tinggal satu rumah, Sayang," lanjut Ara.

"Kan masih bisa tetanggaan, Mom, kayak Daddy sama Om Ardo," ungkap Gio.

"Mommy tau, Sayang," sahut Ara. "Tapi kalau bisa kalian tinggal berjauhan."

"Kenapa?" tanya Gio dengan ekspresi tak suka.

Ara tersenyum. Dengan lembut ia mengusap kepala anaknya yang telah beranjak dewasa itu. "Kenapa? Agar nanti kelak kamu berumah tangga gak sibuk ngurusin Arin dan sebaliknya, Sayang. Kalian udah punya pasangan masing-masing nantinya. Kamu liatkan, Erlan aja masih suka cemburuan sama kamu, gimana nanti pasangan kamu?"

Bad Nerd #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang