11. Putus?

128 8 0
                                    

"Gue mau kita putus," gumam Arin. Tadi ia meminta Erlan untuk menemuinya di taman depan rumahnya. Arin menunduk. Ia tak berani mengangkat wajahnya.

Erlan menatap gadisnya tak percaya. "Pu-putus?"

Arin mengangguk.

"Lo gak sakit kan, Seblak?" tanya Erlan tak yakin. Setahunya akhir-akhir ini tak ada perdebatan antara ia dan gadisnya. Tidak mungkinkan gara-gara tadi malam? Tadi malam kan mereka sudah baikan, lalu kenapa tiba-tiba gadisnya meminta putus?

Arin menggeleng. Lidahnya kelu. Suaranya pun seperti tercekat di tenggorokan.

"Jangan bercanda, Seblak. Ini gak lucu sumpah!" desis Erlan. Matanya menatap Arin tajam.

Arin masih tak bersuara. Wajahnya semakin tertunduk. Ia merinding. Di depannya benar-benar Erlan kan? Karena takut ia pun menatap kaki Erlan. Ia menghembuskan napas lega saat kaki Erlan ternyata menapak di tanah. Arin menggeleng mengusir pikiran absurdnya. Ia harus fokus terhadap tujuannnya tadi.

"Kenapa?" tanya Erlan pelan. Erlan memijit pelipisnya. Mencoba menahan emosi yang sudah berada di puncak kepalanya. Gadisnya masih terdiam. Dengan keras ia meninju dinding gazebo yang berada tepat di sampingnya.

Arin terlonjak kaget. Ia tak tau Erlan akan semarah ini. Mata Arin terpejam saat Erlan meremas kedua bahunya.

"JAWAB, SEBLAK! KENAPA?!" bentak Erlan.

Rasanya Arin ingin menangis sekarang. Dengan sekuat tenaga ia menahan airmatanya agar tak jatuh mengalir. Arin meringis membuat Erlan sadar.

"Maaf," sesal Erlan. Ia tak sadar kalau telah menyakiti bahu gadisnya. Erlan menangkup pipi Arin.

"Liat gue, Seblak," kata Erlan lirih. Arin pun menatap Erlan. "Kenapa?"

Arin menyingkirkan tangan Erlan dari pipinya. Ia tak menyangka Erlannya akan sekacau ini. "Gue capek, Santen. Lo terlalu cuek. Kadang gue mikir sebenarnya gue ini pacar lo apa bukan sih? Jangankan cium, pegang tangan gue aja jarang banget. Sekarang lo marah gara-gara gue minta putus. Harusnya gue yang marah karena sering banget diabaikan sama lo. Gue juga pengen kayak yang lain. Saling menunjukan kalau kita itu pasangan, tapi apa? Bahkan si Aryo aja bilang lo itu cuma halusinasi gue doang. Gue capek, Santen, capek! Masa cuma gue doang yang nunjukin kalau lo itu pacar gue, emangnya gue lagi uji nyali. Enggakkan? Sedangkan lo cuek aja, tapi giliran ada yang deketin gue lo marah."

Erlan tertegun. Ia tau itu. Bahkan sangat tau. Gadisnya tak akan pernah meminta ia untuk berubah. Karena ia memanglah seperti itu. Erlan memejamkan matanya sekilas. Ia mendongak menahan laju air matanya. Namun ternyata gagal. Katakan saja kalau ia cengeng, tapi bukankah air mata laki-laki lebih jujur? Ia sangat menyayangi gadisnya, tapi kalau gadisnya tak bahagia, lantas ia bisa apa selain melepaskan gadisnya pergi?

"Oke," kata Erlan singkat.

Kini berganti Arin yang menatap Erlan tak percaya. Erlannya benar-benar terlihat sangat kacau saat ini. "Lo benar-benar biarin gue pergi, Santen?"

Erlan mengusap kasar wajahnya. "Terus gue harus apa, Seblak? Bukannya itu yang lo mau? Gue bisa aja egois dengan menahan lo. Bahkan gue sanggup buat ngiket lo di kamar gue biar lo gak pergi, tapi itu gak bakal gue lakuin. Karena itu sama aja gue nyakitin lo. Sekeras apapun gue coba buat jadi kayak yang lain, gue gak bisa. Karena gue adalah gue. Gue sayang sama lo, tapi kalau lo gak bahagia sama gue, gue bisa apa selain membiarkan lo mencari kebahagian yang lain?"

Sudut bibir Arin terangkat. Dengan tiba-tiba ia pun langsung memeluk Erlan erat. Ditenggelamkan wajahnya di dada Erlan sambil menghirup aroma yang paling ia sukai itu.

"Jangan kayak gini, Seblak. Gue bisa aja berubah pikiran dan benar-benar menyekap lo di rumah gue," ucap Erlan. Ia berusaha melepaskan pelukan Arin. "Lepas, Seblak!"

Bad Nerd #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang