Bel pulang telah berbunyi. Kini Arin tengah berada di ruang drama. Tadi saat istirahat salah satu adik kelas sekaligus anggota drama memberitahu untuk berkumpul di ruang drama saat pulang sekolah nanti untuk membahas lomba drama yang akan mereka ikuti. Hampir saja Arin lupa kalau ia diberi tanggung jawab untuk mengatur lomba drama yang akan dilaksanakan minggu ini. Karena tak mau pusing sendiri, ia pun berhasil menyeret Chlora, Fio, Erlan, Gio, dan Dennis untuk ikut membantunya. Di sinilah mereka sekarang, di ruangan yang cukup luas dengan duduk membentuk lingkaran. Suasana hening. Mereka semua duduk tanpa membuka suara.
Oh, iya, biar Arin jelaskan secara singkat kenapa ia bisa masuk eskul drama padahal hidupnya sudah penuh dengan drama, siapa tau kalian lupa. Jadi, sang Mommy memasukan dirinya ke eskul drama untuk dispensasi rambutnya yang berwarna pink. Mau tak mau, Arin pun menyetujuinya walaupun harus terjadi drama terlebih dahulu. Nahkah? Hidupnya saja sudah penuh dengan drama dan harus ikut eskul drama pula! Memangnya tak ada eskul lain apa? Arin bahkan tak pernah menyangka kalau eskul drama itu berada diambang kehancuran. Anggotanya saja tinggal 4 orang dan itu semua adik kelasnya yang suka rela mengurus eskul drama yang hampir punah. Empat sahabat yang disatukan karena kecintaan yang sama, yaitu dunia seni peran. Hingga Arin pun terjerumus ke dalamnya.
Bu Ratna sendiri katanya percaya kalau Arin bisa menghidupkan kembali eskul drama. Padahal Arin sendiri tak meyakini hal itu. Dan belum lama ini Bu Ratna memberitahu bahwa dia telah mendaftarkan eskul drama lomba. Lagi-lagi Arin dipercaya untuk mengaturnya.Bilang saja Arin gila karena menyetujui lomba itu dengan minimnya anggota, tapi ia paling tak suka bila ditantang. Makanya ia pun menyeret lima anggota dadakan secara paksa. Harga dirinya seperti sedang dipertaruhkan di sini.
"Jadi?" Arin akhirnya buka suara. Kalau tidak, ia yakin mereka akan hanya diam-diaman hingga sore nanti. Arin bersedekap. Ditatapnya satu persatu anggota yang lain. Sudah 10 menit mereka berkumpul, tapi tak ada juga yang buka suara tadi.
Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia mencoba memberanikan diri untuk berbicara, karena ia tau, ketiga kawannya tidak akan berbicara sampai dari salah satu mereka ada yang memulai. "Yang pertama untuk masalah anggota, Kak," ungkap Lulu.
"Gue udah bawa lima anggota tambahan, jadi sekarang anggota kita ada sepuluh orang, cukuplah buat ikut lomba," jawab Arin.
"Untuk masalah naskah, Kak," lanjut Restu.
"Buat naskah biar gue aja yang nulis," kata Arin.
"Tapi ada temanya, Kak," sahut Nanda.
"Apa?"
"Perjuangan."
Oh, pupus sudah harapan Arin untuk membuat drama kartun yang telah ia bayangkan. "Oke, masalah apa lagi?" tanya Arin lesu.
"Masalah perlengkapan, Kak," sahut Rini. "Perlengkapan kita gak banyak, udah gitu dengan anggota yang cuma segini akan dibutuhkan banyak waktu untuk membuat latar dan settingnya."
Arin berfikir sejenak. Benar juga kata Rini, kalau begitu caranya, waktu yang disediakan hanya akan habis terbuang percuma untuk membuat latar dan setting.
"Kita bisa pakai projector infokus," usul Gio. "Jadi kita bisa bikin setting dan latar sekaligus saat latihan nanti. Jadi kita akan Cuma menggunakan perlengkapan yang benar-benar dipelukan."
"Tapi kita gak punya alatnya, Kak," kata Lulu. "Pinjam ke sekolah pun sepertinya tidak akan dikasih."
Gio terdiam. Namun, tak lama kemudian senyumnya mengembang. "Kita bisa pakai projector infokus punya Daddy gue nanti."
Arin bertepuk tangan sekali. Ide Gio benar-benar pencerahan. Lagi pula, sang Daddy tidak akan marah. " Oke, kalau gitu, Gio, lo bagian perlengkapan dan audio sekalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Nerd #3
Historical FictionLagi-lagi Arin harus pindah sekolah karena di-DO. Arin sih tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah ia dimasukan ke sekolah yang sama dengan Gio dan Erlan. Dua cowok yang sangat, ah sudahlah, nanti kalian juga tau. Tak hanya itu, ia juga terpaks...