7. Jatuh

192 13 0
                                    

Arin menguap lebar lalu membuka mata. Ditatap langit-langit kamarnya. Ia masih sangat mengantuk saat ini, tapi tunggu dulu! Bukannya ia semalam tidur menemani Daddy-nya di luar? Kenapa ia sekarang berada di kamar? Tidak mungkin ia berjalan sambil tidur. Ah, pasti Daddy memindahkannya saat ia terlelap. Arin tersenyum. Ia sangat mencintai Daddy-nya itu. Arin mengambil jam weker yang berada di nakas. Baru pukul 6.30 WIB. Ia menaruh jam wekernya lalu kembali memejamkan mata. Masih jam setengah tu.... Mata Ari terbuka lebar. Dilihatnya kembali jam wekernya. Ia kesiangan! Dengan gerakan cepat ia melesat ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama, dengan power of kepepet semuanya menjadi serba cepat. Setelah rapih ia langsung turun menuju meja makan.

"Pagi," sapa Arin.

"Pagi, Sayang," balas Vando dan Ara serempak.

"Gio belum bangun, Mom?" tanya Arin saat tak melihat Gio di meja makan seperti biasanya.

"Udah," jawab Ara. "Baru aja berangkat sama Erlan."

"Kok dia gak bangunin aku sih!" protes Arin. "Aku berangkat yah, Mom, Dad," pamit Arin.

"Kamu gak sarapan dulu, Sayang?" seru Vando cemas. Anak-anaknya tak terbiasa bila tak sarapan pagi.

"Nanti gak keburu!" sahut Arin. Sebenarnya ia lapar, tapi dari pada ia berangkat sendiri mending ia tak sarapan. Ia pun berlari berusaha mengejar Gio dan Vando. Arin menambah kecepatan larinya saat melihat kedua punggung yang sangat ia kenali.

"Gio! Santen! Tungguin kenapa!"

Karena terlalu terburu-buru kaki Arin terantuk batu. Arin meringis saat kedua dengkulnya mencium tanah dengan mulus.

"Er, Arin kayaknya jatuh deh," kata Gio.

Erlan tak menjawab. Pasti gadisnya hanya berpura-pura seperti waktu itu.

"Gue liat dulu yah," lanjut Gio lalu berbalik menghampiri Arin.

Erlan mendengus. Pasti tak lama akan terdengar teriakan Gio karena berhasil dikerjai oleh gadisnya. Sudah cukup lama, tapi ia tak juga mendengar Gio meraung kesal. Karena penasaran ia pun berbalik dan mendapati Gio sedang menggendong Arin tak jauh darinya.

"Lo jatuh benaran, Seblak?" tanya Erlan saat Gio dan Arin sudah berada di hadapannya.

"Emangnya ada jatuh bohongan!" ketus Arin. Untung Gio berbalik tadi, kalau tidak mungkin ia akan terus duduk di tanah karena dengkulnya terasa sakit saat ia coba berdiri.

Erlan menghela napas. Hatinya mendadak panas melihat gadisnya digendong oleh Gio. Astaga, Erlan! Gio itu kembaran gadisnya! Harusnya ia berterima kasih, kalau tadi Gio tak melihat Arin mungkin mereka akan meninggalkan Arin dalam keadaan terluka. Ingat itu Erlan!

"Turun, Seblak," kata Erlan.

"Gak mau!" Arin cemberut.

"Gue bilang turun, Seblak," desis Erlan. Ia benar-benar tak suka melihat gadisnya di gendong oleh Gio.

"Gue gak mau, Santen! Kaki gue sakit!" kata Arin sewot.

Gio menggeleng melihat tingkah mereka berdua. Ia lupa kalau Erlan itu sangat pencemburu, apalagi dengan dirinya. Ia pun melepas tangannya yang menahan tubuh Arin membuat tubuh Arin kembali jatuh ke tanah dengan pantat terlebih dahulu.

Erlan melotot tak terima. Untung Gio kembaran gadisnya, kalau bukan sudah ia pastikan Gio pulang dengan tubuh yang tak utuh lagi.

Arin kembali meringis. Dengan kesal ia pun menendang kaki Gio. "Kok lo nyebelin sih!" seru Arin kesal. Pantatnya terasa sangat sakit saat ini. Boleh kah ia menetapkan hari ini hari sialnya?

"Emang, lo baru tau?" kata Gio kalem.

"Santen, Gio tuh," adu Arin.

"Jagoan kok tukang ngadu, malu tuh sama kaca mata," ejek Gio.

Bad Nerd #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang