Ara memperhatikan halaman belakang rumahnya yang mendadak ramai itu. Dialihkan pandangannya ke Vando yang sedang sibuk dengan berbagai macam makanan. Ara berdecak sebal. Ia ingin sekali membantu, tapi suaminya mengatakan tidak perlu dari pada nanti ada badai tornado datang menghancurkan dapur mereka. Sindiran halus, namun menyakitkan bukan? Kalau saja ia tidak ingat akan kedatangan tamu tadi, mungkin ia sudah melempar wajan ke wajah suaminya itu.
Oh, yah, kalian pasti bingung kenapa kediamanannya ramai saat ini kan? Jadi, kalian pasti masih ingatkan kalau anaknya mengikuti lomba drama? Tanpa ia sangka, bahkan mungkin anaknya sendiri tak akan menyangka kalau drama yang mereka pentaskan kemarin keluar sebagai juara pertama. Saat mengetahui kemenangannya itu, anak gadisnya memberitahu kepada suaminya bahwa dia ingin mengadakan perayaan di rumah, dan dengan mudahnya sang suami menyetujuinya. Ara sih sebenarnya tidak masalah, tapi kalau dadakan seperti itu siapa yang mau menyiapkan semuanya? Akhirnya Vando, sang suami pun menyanggupinya, lalu memutuskan pulang saat jam makan siang untuk menyiapkan semua keperluan perayaan kemenangan eskul drama anaknya. Kalau diperhatikan, malah suaminya yang lebih semangat. Senyum Vando bahkan tidak pudar sejak tadi. Ara menggeleng. Ia pun kembali menatap murid-murid dari eskul drama.
"Ada apa, Nona?" tanya Vando saat sudah berada di samping istrinya.
Ara menengok sekilas. "Gakpapa, cuma jadi ingat masa SMA aja."
"Iya yah, aku juga jadi kangen masa SMA," kata Vando pelan.
"Masa-masa yang sangat sulit buat dilupain," gumam Ara sambil menerawang. " Yang paling aku ingat adalah saat Ardo ngajakin kabur saat kamu, Bima, sama Ray berdebat. Bodohnya jalan yang kita pilih malah jalan buntu. Di saat itu lah aku akhirnya sadar kenapa Ardo bisa berteman dengan kalian, karena kalian gak ada bedanya. Sama-sama sinting. Kamu yang minta balikin aku, Bima yang minta balikin siomay-nya, dan Ray yang minta balikin handphonenya padahal jelas-jelas dia yang kasih hapenya ke aku."
Ara terkekeh pelan. Ia pun mendongak menatap suaminya saat tak ada sahutan dari Vando. Ara bisa melihat perubahan raut wajah Vando. Ara lupa, ia membicarakan hal yang paling sensitive. Diusap lembut lengan suaminya membuat Vando tersadar dari lamunannya.
"Walaupun orangnya udah gak ada, tapi kenangan tentang dia masih ada bukan? Jadi, jangan sedih, Ray pasti gak suka lihatnya," ungkap Ara.
Mau tak mau Vando pun tersenyum samar."Kepergian Ray adalah pukulan telak bukan hanya untuk Bima, tapi untuk aku dan Ardo juga. Aku kangen, Nona. Kangen saat kita masih berempat. Kangen dengan kegilaan yang pernah kita lakuin. Sekarang semuanya benar-benar beda."
Mendadak hati Ara terasa sakit melihat raut wajah suaminya. Ia tau rasanya kehilangan orang yang disayang. Sakitnya jangan ditanya, karena pada nyatanya mereka yang merasa kehilangan hanya bertingkah seolah-olah mereka baik-baik saja, walau pada nyatanya itu hanyalah sandiwara. Dunia ini seperti drama. Semua orang bersembunyi di balik topengnya. Saking seringnya mereka berpura-pura, pada akhirnya mereka lupa kalau mereka sedang berpura-pura. Kalian paham? kalau tidak berarti sama, Ara sendiri tidak paham.
"Jangan nangis! Kamu gak mau kan ngerusak acara anak kita, Alien?" Ara berusaha mengalihkan pembicaraan.
Vando menggeleng. Ini hari bahagia untuk anak-anaknya, ia tidak boleh mengacaukannya. "Bima nanti akan ke sini, Nona, saat ulang tahun Ray."
"Seperti biasanya."
Ara dan Vando pun kembali kepikirannya masing-masing. Namun, lamunan mereka buyar saat mendengar jeritan dari putra mereka.
"Udah lama yah, Nona, rumah kita gak seramai ini," ungkap Vando.
Ara mengangguk. "Bisa kita jangan bahas masalah ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Nerd #3
Fiksi SejarahLagi-lagi Arin harus pindah sekolah karena di-DO. Arin sih tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah ia dimasukan ke sekolah yang sama dengan Gio dan Erlan. Dua cowok yang sangat, ah sudahlah, nanti kalian juga tau. Tak hanya itu, ia juga terpaks...