Vando memijit pelipisnya. Ia merasa bersalah karena telah mengomeli putranya. Namun, ia tadi terlanjur sebal. Arin, anak gadisnya itu takut dengan ayam, tapi kedua pria yang Vando percayai malah asik berdebat. Coba tadi kalau ia tak ada, entah apa yang akan terjadi dengan anak gadisnya yang satu itu. Untung saja, sejak pengeroyokan yang terjadi pada Arin waktu itu, Vando selalu memata-matai anak-anaknya untuk memastikan mereka sampai di sekolah dengan selamat.
Vando menghela napas kasar. Ia pun menyenderkan punggungnya ke kursi. Mata Vando terpejam. Bayangan raut wajah kecewa Gio mendadak terlintas kembali ke pikirannya. Mungkinkah ini keputusan yang benar dengan menghukum mereka berdua? Tapi kenapa dadanya terasa sakit melihat wajah terluka putranya? Entahlah! Vando sendiri bingung.
"Ada apa?" tanya seseorang membuat Vando langsung membuka mata. Didapati istrinya yang sedang menatapnya bingung. Vando bangkit lalu langsung berhambur kepelukan Ara. Bagi Vando, tak ada tempat ternyaman selain istrinya.
Dahi Ara mengerut. Ia bingung kenapa Vando tiba-tiba memintanya datang ke kantor. Suaminya bilang, ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan. Ara pun membalas pelukan suaminya yang sudah terisak. Apa sebenarnya yang membuat suaminya sampai menangis seperti ini?
"Ada apa?" tanya Ara sambil mengusap lembut punggung Vando, mencoba menenangkan bayi besarnya. "Kamu bangkrut, Alien?"
Vando tak menjawab. Ia masih terisak didekapan Ara.
"Udah gak usah nangis. Harta kan bisa kita cari sama-sama. Aku gak masalah kok, mau kamu jatuh miskin sekalipun aku gak akan ninggalin kamu. Kita bisa usaha bareng-bareng nanti," lanjut Ara.
Vando merengut. Ia pun melepaskan pelukannya lalu menatap istrinya cemberut.
"Gak usah cemberut gitu! Kamu udah tua!" cibir Ara.
"Siapa yang bangkrut sih, Nona?" cetus Vando lalu mengajak istrinya duduk.
"Kamu," jawab Ara. Kini ia sudah duduk di samping suaminya yang masih merengut itu.
"Aku gak bangkrut!" seru Vando.
"Lah terus kamu kenapa sampai nangis gitu hah?" tanya Ara bingung. "Memangnya ada berita penting apa, sampai-sampai kamu nyuruh aku datang ke kantor kamu buru-buru?"
Wajah Vando kembali bersedih. Vando kembali menghela napas panjang. "Aku abis marahin Gio dan hukum dia gak boleh nonton kartun," gumam Vando lirih.
Ara menatap Vando tak percaya. "Sory? Tadi kamu bilang apa? Marahin Gio?"
Vando mengangguk lesu.
Ara bertepuk tangan riang. "Akhirnya kamu bisa marah juga!" seru Ara.
"Kok kamu malah seneng sih, Nona?" tanya Vando bingung.
"Yaiyalah aku senang. Kamu itu emang harusnya kayak gitu sama anak, jangan lebay! Harus tegas!" ujar Ara.
"Tapi aku merasa bersalah, Nona. Bahkan aku ngelarang Erlan buat ketemu sama Arin juga dari hari ini sampai besok," gumam Vando.
"Gakpapa, aku dukung. Sekali-kali mereka memang harus dikasih hukuman," ungkap Ara. "Lagi pula bagus nih waktunya, tadi bunda telepon nyuruh nginep di sana, gimana kamu sama Arin aja yang nginep, aku yang jaga Gio," usul Ara.
Vando menatap Ara ngeri. "Aku ngehukum Gio gak boleh nonton kartun doang, Nona, bukan misahin mereka."
"Siapa yang misahin sih, Alien? Kan cuma sehari. Percuma kalau kamu ngehukum Erlan gak boleh ketemu Arin, tapi Arinnya ada di rumah. Sekali-kali kan ngehukum mereka samaan."
"Kamu kan tau, Nona, Arin sama Gio gak pernah dipisahin. Liat aja sekarang walaupun Arin udah punya Erlan, tapi Gio masih selalu ngintilin Arin ke mana-mana. Terakhir kali kita jauhin mereka, Gio ngamuk dan berujung dengan keduanya sakit. Aku gak mau itu terjadi lagi," tolak Vando.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Nerd #3
Historical FictionLagi-lagi Arin harus pindah sekolah karena di-DO. Arin sih tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah ia dimasukan ke sekolah yang sama dengan Gio dan Erlan. Dua cowok yang sangat, ah sudahlah, nanti kalian juga tau. Tak hanya itu, ia juga terpaks...