Tidur Arin terusik saat merasakan sebuah tangan memeluknya bagaikan guling. Arin mengerjapkan matanya. Sepertinya ia hapal dengan pemilik aroma tubuh ini. Mata Arin sudah sepenuhnya terbuka. Ia pun menatap seseorang yang masih asik memejamkan matanya itu. Senyum Arin mengembang menatap kembarannya yang masik terlelap. Kalau sedang tidur seperti ini wajah Gio terlihat sangat menggemaskan. Arin berdecak saat melihat warna biru di pipi Gio yang belum juga menghilang. Ia ingat bagaimana sang Daddy panik saat melihat wajah lebam Gio dan Erlan. Ia bahkan tidak bisa menahan tawanya saat sang mommy mengompres luka lebam di wajah Gio dengan kesal, membuat daddy-nya memekik panik sendiri. Dengan pelan Arin mengusap luka lebam itu membuat tidur Gio terusik.
"Selamat pagi," sapa Arin saat Gio membuka matanya. "Ayo bangun!"
"Bentar, gue masih ngantuk, Rin," gumam Gio. Ia pun kembali memejamkan matanya.
"Bangun Gio! Sekarang ada upacara, nanti kita kesiangan!" seru Arin.
Gio hanya bergumam tak jelas membuat Arin berdecak sebal. Ia pun menekan luka lebam Gio membuat Gio menjerit.
"Sakit!" Gio mencebikan bibirnya. "Gak bisa lebih kasar lagi?"
Arin terkekeh. Ia pun mengusap luka lebam itu dengan lembut. "Makanya bangun."
"Gue masih ngantuk," rajuk Gio. Ia benar-benar masih mengantuk pagi ini. Mimpi sialan itu membuatnya terjaga sepanjang malam dan ia baru bisa tidur saat memeluk kembarannya itu. Gara-gara kejadian kemarin, rasa takutnya membuat ia gelisah kembali.
"Tadi tidur jam berapa?" tanya Arin. Ia bisa merasakan kalau Gio tidak berbohong kalau dia masih mengantuk, ditambah lagi dengan lingkaran hitam di bawah matanya. "Sampai hitam gini," ungkap Arin sambil mengusap kantung mata Gio.
"Jam 5 pagi," jawab Gio. Ia pun mencoba memejamkan matanya kembali. "Tadi malam gue mimpi buruk mulu, makanya gue gak bisa tidur nyenyak, pas jam 5 tadi gue pun mutusin buat tidur bareng lo aja, eh baru juga merem taunya udah pagi aja."
"Masih mimpi yang sama kah?" tebak Arin.
Gio terseyum tipis. Tanpa ia jawab, Arin pun pasti tau kalau tebakannya benar.
"Lo boleh terluka di masa lalu, tapi bukan berarti lo nutup hati kan? Mau sampai kapan Gio? Lo tau kenapa hati itu bisa patah? Itu karena agar lo bisa menyambungkannya lagi dengan hati yang baru dan yang lebih pas," ungkap Arin.
Gio tersenyum getir. Hati yang baru? Entahlah, Gio tak yakin dengan itu. "Bisa kita gak bahas ini? Bangunin gue lima menit lagi oke?"
Arin mengangguk. Dadanya mendadak terasa sesak melihat Gio seperti ini. Luka yang diberikan masa lalu Gio ternyata cukup dalam, hingga membuat kembarannya itu sulit membuka hati kembali. Di balik sifat konyolnya, Arin tau ada rasa sedih dan kecewa yang dipendam Gio hingga sekarang. Ia sendiri pun tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa berharap nanti Gio menemukan penyembuh lukanya itu.
Sementara itu di luar kamar Arin.
"Nonaaaaaa!!" teriak Vando panik.
Ara pun langsung bergegas menuju sumber suara itu. "Ada apa?" tanya Ara saat melihat Vando mondar-mandir di depan kamar Gio.
"Gio, Nona," kata Vando.
"Gio kenapa?"
"Gio gak ada dikamarnya. Tadikan aku mau bangunin dia, eh pas masuk kamar Gio malah kosong." Vando benar-benar cemas.
Ara memutar bola mata malas. Ia kira ada apa! Sepertinya suaminya itu perlu ditonjok sekali-kali agar menjadi sedikit waras. Iya, sedikit saja gak usah banyak-banyak, kalau kebanyakan soalnya nanti kenyang.
"Kok kamu biasa aja sih, Nona?" Vando cemberut. "Gimana kalau Gio kabur? Gimana kalau Gio diculik? Gimana kalau--," ucapan Vando terpotong saat sebuah bogeman mencium pipinya. Vando meringis. Kalian harus tau kalau tonjokan istrinya itu masih terasa sangat sakit seperti dulu, bahkan bertambah. Vando menelan ludah saat istrinya menatapnya garang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Nerd #3
Fiksi SejarahLagi-lagi Arin harus pindah sekolah karena di-DO. Arin sih tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah ia dimasukan ke sekolah yang sama dengan Gio dan Erlan. Dua cowok yang sangat, ah sudahlah, nanti kalian juga tau. Tak hanya itu, ia juga terpaks...