Bagian 1

53.6K 631 13
                                    

Kepulan asap dari sebatang rokok menemani lamunan ku siang itu. Deru kendaraan lalu lalang di antara alunan lagu dangdut dari TV pemilik warteg dimana aku menumpang duduk sambil ngopi, tak mampu menggugah pikiran ku yang melayang entah kemana.

“Ngelamun aja lo, kangen bini ya?’’ tegur Karjo, rekan sesama tukang ojek tempat kami bersama mangkal.

Aku hanya membalas dengan senyuman.

“Bu, kopi satu lagi.’’ ujarku kepada pemilik warung.

“Catur, No?” ujarnya.

”Halah bosen, dari pagi main sama si Jajang, entar situ kalah lagi.” Karjo hanya nyengir mendengar jawaban ku.

Siang ini memang pikiranku tengah galau, mengenang peristiwa tadi malam dan pagi hari ini. Aku tinggal menumpang dengan mertua di sebuah rumah sederhana di kampung perbatasan Jakarta. Kami berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Isteri ku terpaksa menjadi TKI di Arab Saudi untuk memperbaiki keadaan. Motor kreditan yang aku pakai untuk mengojek ini juga hasil jerih payahnya.

Kondisi mertua juga sama saja, ayah isteriku adalah tukang bangunan yang gajinya pas-pasan. Bapak, demikian aku memanggilnya, dulu sangat keras menolak pernikahan kami. Wajar, sudah susah kok dapat mantu yang juga susah. Sementara ibu mertua ku sudah meninggal setahun setelah kami menikah.

Dulu aku sempat bekerja di pabrik sebelum akhirnya bangkrut dan aku kena PHK. Pernikahan kami menghasilkan seorang anak usia 3 tahun yang kini diasuh oleh aku dan bapak.

Malam itu hujan sangat deras menghujam bumi. Aku tengah lesehan di atas tikar lusuh menonton TV. Tiba-tiba bapak mertua tergopoh-gopoh keluar dari kamar menuju ke kamar mandi, lalu terdengar suara seperti orang muntah.

Aku menyusulnya, ’’ada apa pak? Masuk angin?” ia mengangguk lemah.

“Saya panggilkan Teh Nur sebelah ya pak?” tawarku.

“Gak usah No, gak enak udah malam begini mana hujan lagi.” jawabnya.

“Kalau gitu saya bikinin teh panas ya pak, saya juga masih punya obat nih.” bapak mengangguk lalu berjalan menuju kamarnya.

Setelah mengantarkan teh dan obat, kembali aku berbaring di ruang tamu sederhana itu sampai akhirnya aku terlelap.

Jam dinding kusam itu menunjukan pukul 01.30 malam ketika aku mendadak terbangun, karena bapak kembali muntah-muntah. Dengan segera aku menyusulnya.

’’Bapak muntah lagi?” tanyaku.

Ia mengangguk lemah dan berkata,
‘’Bapak kalau belum di keroki biasanya belum mempan, tapi mau bagaimana lagi.’’ jawabnya pasrah.

’’Ya udah, biar saya yang ngeroki, bapak tunggu aja di kamar.’’ jawabku.

Dan bapak sepertinya tidak menolak kecuali ia menginginkan muntah-muntah lagi. Aku bergegas menuju dapur, mencari alas gelas dan menumpahkan sedikit minyak, serta uang koin.

Agak sedikit kaget setibanya aku di kamar, mendapati bapak hanya memakai sarung lusuh yang ditekuk sebatas paha. Namun bukan itu saja, walaupun bapak kerja sebagai tukang bangunan tapi badannya terawat. Tidak seperti kuli lainnya yang badanya hitam legam, bapak sungguh berbeda. Di tambah badannya yang gempal dengan pantat dan dada yang besar. Namun pikiran kotor segera kusingkirkan, bagaimanapun ia adalah orang tua isteri ku yang harus kuhormati.

Mulailah aku mengeroki punggungnya dalam posisi bapak duduk membelakangi ku di atas ranjang tua, di mana anak ku juga tengah tertidur di atasnya. Selesai, di bagian pangkal leher dan bahunya, kini gilirang punggung bagian tengah.

Peluh mulai bercucuran di dahiku, bukan hanya karena mengeluarkan tenaga tetapi juga menahan hasrat yang terpendam. Setelah setahun berlalu tanpa sentuhan isteri ku. Paling maksimal aku hanya bisa ngocok untuk sekedar pelampiasan.

“Bapak kalau capek baring aja.” pintaku.

Dan bapak menuruti dengan berbaring tengkurap sehingga aku bisa melanjutkan mengeroki punggungnya, yang tampak berkilauan terkena sinar redup lampu kamar. Belang-belang merah bekas kerokan tak bisa menghilangkan keindahannya. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Aku terus bekerja sampai kemudian kudengar dengkuran halus keluar dari mulutnya.

Dan entah kenapa aku tak serta merta menghentikan kerokan, seolah-olah ingin lebih lama menikmati pemandangan tubuh gempal bapak. Khawatir bapak terbangun tiba-tiba, kini aku hanya memijat-mijat pelan pinggangnya. Terus ke bawah hingga tumpukan daging kenyal pantatnya yang membusung itu.

Mula-mula tanganku gemetar, namun menyadari bapak seolah-olah kian tenggelam di alam mimpinya, aku makin memberanikan diri. Entah setan mana yang mengendalikan ku, usai berlama-lama menjamah pantatnya. Kini ku coba naik kan sarungnya ke atas. Mata ku nanar menyaksikan belahan pantatnya yang ternyata tidak memakai celana dalam.

Desakan batang kont*l ku kian mendesak celana pendek yang ku pakai. Menciptakan semacam tenda kecil di antara selakangan ku. Tentu saja bentuk pantat bahenol itu, bayangan hitam lubang pantatnya dan tumpukan rambut hitam di bawahnya membuat aku kehilangan kontrol.

Ku oleskan sebagian minyak goreng itu di atas pantat bapak, sambil meremas-remasnya. Dengan jantung berdegup, ku turunkan celana pendek ku. Lalu merangkap di atas tubuh tengkurap bapak yang sangat nyenyak tertidur, namun ku upayakan tidak menindihnya.

Ku selipkan batang kont*l ku yang sedari tadi mengeras di antara belahan pantat bapak. Lalu mulai menggesek-gesekan dengan pelan, sehati-hati mungkin agar ia tak terbangun. Tapi sensasi yang kurasakan sangat luar biasa, anda akan paham jika lama tak merasakan kenikmatan bercinta.

Mataku menyaksikan wajah bapak yang damai dalam tidurnya. Ia cukup manis, ingin rasanya ku ciumi pipinya tapi tentu beresiko.

Dan tak menunggu lama ketika aku mengejang lalu semburan demi semburan pej*h hangat ku keluar sangat banyak, hingga di pantat, punggung, bahkan leher bapak.

Lama aku mematung hingga denyutan-denyutan kontol ku hilang dan mulai mengecil, baru kemudian aku beranjak. Kepanikan kecil melanda ku melihat lelehan pej*h ku di atas tubuh bapak. Ku lepaskan kaus kumal yang ku pakai dan ku gunakan sebagai lap menghilangkan jejak tindakan mesum yang kulakukan malam itu.

Dengan terburu-buru kurapikan kembali sarung bapak dan bergegas keluar kamar.

Usai dari kamar mandi kembali kubaringkan tubuh ku.

’’Apa yang ku lakukan.” pikirku.

Namun akhirnya aku terlelap juga dengan rasa puas.

Bapak MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang