Seperti biasa, pukul setengah enam pagi aku terbangun. Usai sekedarnya membersihkan rumah, aku sempatkan mengintip kamar bapak. Ia masih tertidur, kain sarungnya agak tersingkap di bagian paha membuat ku kembali menelan ludah.
Di sebelahnya, anak ku telah bangun. Dia tengah asyik memainkan mobil-mobilannya sambil berbaring. Aku kemudian mandi, sedikit tertegun melihat kaus kumal tadi malam, lalu aku mencucinya.
“Pakk... bapakk...” panggil ku mencoba membangunkannya sambil sedikit menepuk pundaknya.
Matanya mulai membuka.
“Sudah jam setengah delapan pak. Bapak sudah enakan?” ia mengangguk pelan.
’’Tapi masih lemas No, linu-linunya belum ilang. Oh ya Dani mana?’’ tanya bapak.
”Sedang main di luar pak, sudah saya mandikan dan kasih sarapan. Tadi saya belikan bubur ayam di depan, bapak sarapan ya?’’ jawabku sambil menawarkan bubur ayam.
Bapak bangkit perlahan dan duduk di tepi ranjang. Semangkuk bubur dan segelas teh kuletakan di atas meja kecil di dekat ranjang. Aku meninggalkannya. Dan tak lama kemudian kembali aku memasuki kamarnya dan menyerahkan obat.
”Loh, kok gak habis pak?” tanyaku melihat bubur itu masih separuh tersisa.
”Masih pahit No’’ jawabnya.
“Ya udah, bapak minum obat dulu. Air panasnya udah saya siapin di kamar mandi.” bapak lalu meminum obat dengan perlahan.
”Bapak masih pegel No, mau istirahat lagi, ntar aja deh mandinya.” jawabnya.
“Ehmm, kalau gitu saya kompres aja ya pak?” tawarku.
”Gak usah repot...”
Belum usai kalimatnya aku sudah setengah berlari ke dapur. Mengambil handuk kecil dan baskom lalu menuangkan air hangat ke dalamnya.
Bapak sudah berbaring di kasur, ketika aku masuk. Aku mengambil kursi kayu lalu duduk disampingnya.
Meremas handuk dan mulai secara lembut mengusap wajahnya.
“Bapak jadi gak enak nih No, jadi ngerepotin kamu.” katanya.
“Ahh, bapak kan sudah seperti bapak saya sendiri.” jawab ku sambil terus menyeka leher, pundak hingga dada atasnya.
Lalu kedua lengannya, hingga ketiaknya yang putih dan di tumbuhi bulu yang lebat itu membuat kontol ku mulai berulah.
“Bapak bisa tengkurap sebentar?” pinta ku pada bapak.
Namun bapak justru duduk membelakangi ku untuk mempermudah menyeka pungunggnya. Usai leher belakang hingga bahu dan kembali ku nikmati punggung yang kini berbelang merah sampai batas pinggang itu.
Dengan lembut ku usap seluruh permukaan kulitnya dengan handuk hangat tadi dan butiran keringat mulai muncul dari pori-pori kulitnya.
Aku hanya bisa tertawa di dalam hati, menyaksikan beberapa bercak pej*h kering yang mengerak di kulit punggung bapak dan segera ku bersihkan.
Nafas bapak tampak teratur, kali ini sasaranku bagian bawah ketiak dan sisi samping tubuh bapak. Kulihat bulu kuduknya berdiri. Semakin sulit aku mengatur nafas manakala ujung jariku menyentuh sisi dadanya. Entah kenapa dada bapak sangat menggoda dengan puting hitam besarnya, padahal bapak laki-laki sama seperti ku.
Dan seperti sengaja, aku berlama-lama mengusapkan handuk itu disitu.
”Noo...” teguran bapak menyadarkanku.
Namun karena ia tak menyuruhku berhenti, aku lalu memindahkan usapan tangan ku ke bagian depan tubuh bapak yaitu perutnya.
Dan bapak tidak protes. Mula-mula bagian tengah, lalu bagian atas. Kucoba terus mendesak ke atas dengan maksud menyentuh bagian bawah dadanya, namun terhalang tangan bapak yang bersedekap di dada.
Lalu kembali ke tengah perutnya dan terus ke bawah pusarnya, sehingga sebagian jari ku tak sengaja menyelip di bagian atas jembutnya. Tangan bapak jatuh ke bawah mencoba mencegah aksi ku lebih lanjut. Namun mungkin karena panik membuat dadanya tersingkap dan tak membuang waktu masih dengan handuk basah di tangan, ku usap-usap dada bapak yang menggoda itu.
“Noo...” seru bapak dengan suara nyaris berbisik.
”Ssshhh, tenang pak.” desis ku menenangkan bapak yang kini nafasnya mulai tersendat-sendat.
Aku belum melakukan tindakan lebih jauh kecuali mengelap dengan penuh kelembutan di dadanya yang bahkan lebih menggoda dari punya isteriku itu.
Namun degupan jantung dan deru nafas ku yang kian memacu, sudah bisa menggambarkan betapa luar biasanya gairah yang di timbulkan dari tubuh bapak mertua ku. Aku tidak tahu bagaimana perasaan bapak, yang aku tangkap hanya bulu kuduknya yang merinding, lalu tubuhnya agak gemetar dan deru nafasnya yang mulai tak beraturan.
Aku hanya bertindak mengikuti naluri, naluri seorang lelaki yang sekian lama tak merasakan kehangatan saat bercinta. Bapak memegang kedua pergelangan tangan ku, ada sedikit upaya menarik tangan ku dari permukaan dadanya.